|
REPUBLIKA,
26 Januari 2013
Ilmu komunikasi
memberi banyak kontribusi dalam memahami pola interaksi manusia, di antaranya
dengan memperkenalkan teori-teori yang menggambarkan hubungan antara penguasa
dan rakyat. Salah satunya adalah Hypodermic
Needle Theory. Teori yang berkembang pada 1930-an ini menganggap bahwa
media memiliki kecerdikan, kepintaran, kejelian, serta kemampuan untuk memengaruhi
penerima pesan sehingga selalu menerima berita apa adanya.
Khalayak, oleh teori
ini, dianggap hanya sekumpulan orang yang mudah terpengaruh dan selalu
menerima apa pun yang dikabarkan media. Teori ini pada masanya berhasil
membentuk opini, bahkan konon membuat Spanyol dan Amerika terlibat perang,
padahal jika berita yang disampaikan tidak dilebih- lebihkan peperangan bisa
dihindari.
Kisah lain yang
diangkat sebagai sebab musabab lahirnya teori ini adalah pemberitaan mengenai
invasi makhluk asing ke bumi yang sempat menggemparkan Amerika. Meski tidak terbukti,
namun pesannya memengaruhi khalayak dan membuat panik. Hypodermic Needle Theory juga dikenal dengan teori jarum suntik.
Teori ini telah dikembangkan dalam banyak teori komunikasi lainnya.
Karena itu, sebagian ahli komunikasi tidak lagi menggunakan teori ini. Teori
jarum suntik dapat dipahami dalam ilustrasi sederhana. Media berperan sebagai
jarum dan khalayak sebagai pasien yang akan diobati dengan cara menyuntik.
Perumpamaan ini menyerupai berita-berita tentang DPR yang cenderung melekatkan
citra negatif. Jika anggota DPR tampil kritis disebut pencitraan dan
bila lunak dijuluki penakut.
Ada banyak contoh
berita tentang DPR yang tidak berimbang meski (harus diakui) sebagiannya
merepresentasikan kebenaran, tapi tidak sedikit juga ditulis tanpa bukti
akurat bahkan cenderung mengada-ada. Misalnya, beberapa waktu lalu salah satu
koran nasional menulis bahwa fasilitas gedung baru DPR ada tempat spa dan
pijat. Berita ini menyebar ke mana-mana dan segera membentuk opini
negatif. Padahal, tak satu pun fasilitas itu ada dalam rencana. Bahkan,
dalam rapat- ra at internal pembangunan gedung, tak satu kata pun yang
menyangkut spa dan pijat dibicarakan.
Ada lagi berita yang
tak kalah heboh, yaitu tentang 10 oknum anggota DPR yang "memeras"
BUMN. Nama-namanya kemudian dirilis dan sontak membuat anggota DPR (yang
disebutkan namanya) menjadi bulan-bulanan. Tanggapan di media muncul
dengan caci maki dan hujatan.
Dari sini muncul
pertanyaan penting bagi media, mengapa sejumlah berita yang tidak jelas
sumbernya tersebut bisa begitu mudah dikutip dan menjadi headline di banyak media, bahkan tidak sembarang media yang
menulisnya. Padahal, kode etik jurnalistik telah menggariskan bahwa
wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.
Bohong berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai
hal yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi.
Fitnah berarti tuduhan tanpa
dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat buruk. Sadis berarti kejam
dan tidak mengenal belas kasihan. Cabul berarti penggambaran tingkah laku
secara erotis dengan foto, gambar, suara, grafis, atau tulisan yang
semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi. Dan, dalam penyiaran gambar
serta suara dari arsip, wartawan mencantumkan waktu pengambilan gambar dan
suara.
Sayangnya kode etik
tidak muncul dalam sajian berita. Terkadang demi kepentingan media, berita
tanpa akurasi itu tampil bebas tanpa sensor. Kritik terhadap media bukan
berarti pembelaan diri atau upaya lari dari fakta bahwa terdapat perilaku
buruk anggota DPR, bukan pula ajakan persekongkolan. Tapi, kritik justru
dalam kerangka membangun sinergi agar ada keseimbangan. Media tidak boleh
tutup mata terhadap keterlibatan oknum anggota DPR dalam tindak pidana
korupsi, sejumlah skandal, dan perilaku menyimpang. Namun, bukan berarti
menulis dalam bahasa generalisasi seolah-olah seluruh anggota terlibat.
Mestinya, kasusnya dilihat satu per satu, orang per orang, agar rakyat tahu
mana yang bersih dan mana yang jahat. DPR saat ini seperti akuarium, dapat
dilihat dari sudut mana saja. Ini membuktikan bahwa DPR adalah institusi
negara yang terbuka untuk di- akses dan dipublikasi. Kondisi ini juga menyadarkan
anggota DPR bahwa sorot media selalu mengarah padanya.
Namun, anggota DPR
juga manusia, kelemahan dan kealpaan pasti ada. Berita tentang anggota
tertidur saat sidang atau merespons telepon (sms) saat rapat adalah sejumlah
sisi buruk yang perlu dihindari meski itu manusiawi. Sekali lagi bahwa
perilaku politisi adalah sesuatu yang perlu ditampilkan media, tapi tetap
dengan prinsip keseim- bangan. Politisi berperilaku buruk harus dicatat
sebagai perilaku perseorangan yang memanfaatkan jabatan sebab belum tentu
orang lain dengan jabatan yang sama akan berbuat hal serupa. Begitu pula
dengan prestasi seorang politisi, hendaknya juga ditulis dan disajikan terang
benderang agar masyarakat tahu apa saja yang telah dilakukan selama menjabat.
Saatnya media dan DPR bekerja sama mempromosikan berita keberhasilan dan
mengungkap penyimpangannya secara terbuka dan adil. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar