|
SUARA
KARYA, 30 Januari 2013
Tak ada hujan tidak
ada angin, tiba-tiba saja dengan gagah berani Bank Indonesia (BI) dan pemerintah
menyatakan akan memberlakukan kebijakan redenominasi rupiah. Dengan demikian,
kelak diterbitkan mata uang rupiah baru dengan penghapusan angka tiga nol.
Maka, mata uang Rp 1.000 saat ini akan diganti dengan Rp 1 mata uang baru.
BI dan pemerintah (selanjutnya BI)
mengklaim kebijakan redenominasi sangat banyak manfaatnya dan tidak sama
dengan "pemotongan uang" (sanering). Tetapi sayang, tidak
dijelaskan bahwa kebijakan itu juga merupakan "paksaan inflasi" (force inflation) karena daya beli
golongan menengah ke bawah akan terpotong akibat kenaikan harga setelah mata
uang baru diterbitkan.
Biasanya, pemotongan uang atau sanering
atau redenominasi dilakukan ketika inflasi di satu negara sangat tinggi (hyper inflation) dan ekonomi sedang
dalam krisis. Langkah itu terpaksa dilakukan untuk stabilisasi ekonomi
seperti banyak dilakukan negara di Amerika Latin, termasuk Indonesia pada
1966 ketika inflasi mencapai di atas 1.000 persen sehingga pemerintah
terpaksa memotong uang dari Rp 1.000 uang lama menjadi Rp 1.000 uang baru.
Namun, saat ini ekonomi Indonesia stabil,
inflasi terkendali, mengapa dilakukan redenominasi? Sulit dipahami, kalau
tidak hati-hati bisa menjadi sumber ketidakstabilan baru. Manfaatnya pun
tidak jelas. Padahal BI punya tugas yang jauh lebih penting, yaitu menurunkan
net interest margin (selisih bunga kredit dan simpanan) yang kini tertinggi
di dunia (6-7 persen) dan berdampak mengurangi daya saing produk Indonesia.
Yang penting sebenarnya adalah stabilitas
mata uang. Justru negara yang berhasil memacu pertumbuhan ekonomi dan
industrinya sengaja memilih kebijakan mata uang lemah (weak exchange rate policy). Contohnya, Jepang pada 1950-1970 yang
berhasil tumbuh di atas 10 persen, atau China pada akhir 1980-an hingga 2010
juga berhasil tumbuh double digit. Kebijakan itu secara tidak langsung
melindungi ekonomi dalam negeri dan meningkatkan daya saing produk ekspor
mereka.
Negara-negara
yang berhasil memacu ekonominya tumbuh tinggi dan meningkatkan kesejahteraan
rakyatnya menolak tekanan internasional untuk memperkuat mata uangnya. China
menolak mentah-mentah menaikkan nilai tukar yuan, kendati tiga Presiden
Amerika Serikat sejak Clinton, Bush, hingga Obama datang ke Beijing untuk
menekan Negeri Tirai Bambu. Sebaliknya, Jepang akhirnya menyerah dan setuju
menaikkan nilai tukar yen sesuai dengan kesepakatan Plaza Accord di New York
tahun 1986, setelah mendapat tekanan kuat dari Amerika dan Eropa yang
khawatir produknya kalah bersaing. Sejak itu, ekonomi Jepang berubah dari
ekonomi tumbuh tinggi (di atas 10 persen) menjadi ekonomi tumbuh rendah
(kurang dari 2 persen).
Negara-negara
dengan pertumbuhan tinggi tidak perlu mengambil kebijakan redenominasi. Mata
uang mereka otomatis akan menguat sendiri seiring dengan kemajuan ekonomi
mereka. Seperti nilai tukar yen terhadap dolar Amerika (sekitar 350 yen/dolar
AS) pada 1950 terus menguat menjadi sekitar 70 yen/dolar AS tahun 2010.
Proses penguatan itu terjadi secara alamiah tanpa kebijakan pemotongan uang
ala BI yang bersifat semu (artifisial) dan merugikan golongan menengah bawah.
Karena itu, BI segera menghentikan
rencana kebijakan redenominasi yang tidak ada urgensinya, tidak bermanfaat,
dan merugikan daya beli mayoritas rakyat Indonesia. Kalau BI ngotot
memaksakan redenominasi, akan timbul pertanyaan tentang kemungkinan adanya
konflik kepentingan pejabat BI dengan pemasok kertas baru (fine papers). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar