|
SUARA
KARYA, 30 Januari 2013
Kondisi buku-buku di mayoritas
perpustakaan kita, jauh dari lengkap dan menyedihkan.
Di dalam film Good Will Hunting (1999),
tokoh utama Will Hunting, diperankan Matt Damon, yang meraih Oscar untuk
Skenario Asli Terbaik, membuat mati kutu mahasiswa Harvard dalam perdebatan
soal perekonomian kapitalis di sebuah bar. Ia pun mempermalukan telak sang
mahasiswa dengan kalimat, "Sayang sekali kau menghabiskan puluhan ribu
dolar uang orangtuamu untuk ilmu yang bisa engkau dapatkan secara gratis di
perpustakaan umum!"
Nah,
di tengah pendidikan yang kian mahal di negara ini, kutipan di atas tak pelak
memberikan inspirasi untuk menjadikan perpustakaan sebagai basis untuk
memberdayakan warga negara. Bahkan lebih jauh lagi, dan ini kerap terluput
dari perhatian para pengambil kebijakan, peran perpustakaan sebenarnya bisa
digairahkan sebagai sarana untuk memajukan perekonomian masyarakat. Singkat
kata, perpustakaan punya peran strategis dalam upaya pembangunan ekonomi.
Life-Skills
lama
ini, perpustakaan identik dengan ruangan suram penuh buku yang membosankan
atau hanya berkutat pada kegiatan akademis semata. Paling jauh, perpustakaan
hanya diposisikan sebagai tempat ngobrol atau tempat untuk tidur sejenak.
Padahal,
perpustakaan sebenarnya dapat diposisikan sebagai balai keterampilan untuk
melatih pengunjung dengan keterampilan hidup (life-skills) yang bermanfaat
bagi siapa pun untuk menjalani realitas kehidupan sehari-hari.
Dalam
konteks ini, pengunjung melalui perpustakaan diberdayakan tidak sekadar
dengan pengetahuan tapi juga dengan keterampilan yang dapat digunakan untuk
hidup atau bahasa gampangnya 'cari duit'.
Caranya,
perpustakaan dapat memberi pengunjung pelatihan gratis atau berbiaya murah
lewat dana perpustakaan sendiri atau lewat kemitraan dengan perusahaan yang
ingin menyalurkan program corporate social responsibility (CSR) mereka.
Pelatihan
yang dimaksud bisa berfokus pada bidang-bidang yang beririsan dekat dengan
dunia baca-membaca dan dunia intelektual, seperti pelatihan menulis novel
atau skenario film, berbicara di depan publik (public speaking), membuat dan menulis blog, menyutradarai film,
pemanfaatan media sosial untuk pemasaran (Twitter,
Facebook dan lain-lain) dan banyak pilihan lainnya.
Sudah
banyak contoh sosok yang mampu menafkahi diri dengan kegiatan intelektual
terkait tulis-menulis atau baca-membaca. Misalnya, sastrawan Ajip Rosidi,
kini mengajar sastra Indonesia di sebuah universitas di Jepang, hanyalah
lulusan SMA yang hidup semata dari karang-mengarang. Sebagaimana diceritakan
Ajip, ia mendapatkan ilmu mengarang ini dari sebuah perpustakaan di
Majalengka.
Atau,
Arswendo Atmowiloto. Dia juga hanya memiliki ijazah SMA, namun sukses
menggeluti hidup dengan modal membaca di perpustakaan dan menulis. Arswendo
kini terkenal sebagai novelis, pembicara seminar, sutradara sinetron dan
berbagai profesi lain yang dipelajarinya secara otodidak lewat berbagai
sarana, salah satunya adalah perpustakaan.
Dengan
berfungsi sebagai balai pelatihan, perpustakaan tidak lagi sekadar tempat
membaca tapi juga menjadi wahana untuk memberdayakan masyarakat sekaligus
menciptakan lapangan pekerjaan. Alhasil, perpustakaan jadi memiliki peran
sebagai alat perekayasa ekonomi.
Sebab,
terciptanya lapangan pekerjaan identik dengan terciptanya penghasilan (income
generation) bagi masyarakat, yang pada gilirannya mendongkrak daya beli serta
melesatkan angka-angka pertumbuhan ekonomi.
Kembang-Kempis
Sayangnya,
memang, bukan itu yang terjadi sekarang. Kondisi perpustakaan di negeri kita
masih jauh dari ideal. Betapa tidak, bahkan perpustakaan dengan dokumentasi
rapi seperti Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin kembang-kempis dan
terancam habis riwayatnya.
Kemudian,
hanya ada segelintir perpustakaan umum pemerintah dan swasta yang buka setiap
hari (termasuk Sabtu-Minggu) atau hingga malam hari.
Belum
lagi, jika kita melihat kondisi buku-buku di mayoritas perpustakaan kita.
Jauh dari lengkap dan menyedihkan! Artinya, dengan kondisi sedemikian rupa,
jangankan menjadi balai keterampilan hidup yang mampu memberdayakan
perekonomian, berfungsi sebagai tempat membaca yang nyaman pun masihlah jauh
panggang dari api.
Berdasarkan
kondisi di atas, jelas dunia perpustakaan kita saat ini tak akan mampu
menjalankan fungsi pembelajaran dan pemberdayaan masyarakat secara optimal.
Karena itu, peran pemerintah - sebagai organ utama yang diberikan mandat
untuk mensejahterakan bangsa - untuk mendorong peran perpustakaan lewat
politik penganggaran dan kemitraan dengan pihak swasta yang berkepentingan
menjadi suatu keniscayaan. Sebab, perpustakaan jelas merupakan wahana
strategis dan cerdas bagi pemerintah untuk mencapai pembangunan ekonomi yang
lebih berkualitas. Semoga! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar