|
SINAR
HARAPAN, 30 Januari 2013
Badai
politik hebat tengah melanda Partai Nasional Demokrat (Nasdem). Ketua Dewan
Pakar Partai Nasdem Hary Tanoesoedibjo memutuskan untuk mengundurkan diri
dari kepengurusan Partai Nasdem. Langkah pengunduran diri itu diambil setelah
taipan media massa itu merasa sudah tidak lagi seiring jalan dengan Surya
Paloh selaku pendiri partai.
Segera
setelah menyatakan pengunduran diri dari Partai Nasdem Hary Tanoesoedibjo
menegaskan akan memberhentikan penayangan iklan-iklan Partai Nasdem di
seluruh media massa jaringan Media Nusantara Citra (MNC) Group. Sebagaimana
diketahui bersama, Hary Tanoesoedibjo merupakan pemilik MNC Group yang
menaungi sejumlah media massa besar, seperti RCTI, MNC TV, Global TV, dan Sindo
Radio.
Sekilas
pernyataan Hary Tanoesoedibjo itu terdengar biasa-biasa saja. Namun, jika
kita telaah lebih jauh dari perspektif ekonomi politik media pernyataan itu
memiliki arti tersendiri. Pernyataan itu seakan menguatkan dugaan selama ini
jika media massa sering kali digunakan para pemilik modal untuk kepentingan
politik jangka pendek mereka.
Tidak
dapat dipungkiri, dewasa ini media massa telah menjelma menjadi salah satu
bagian penting dalam kehidupan manusia. Tidak sedetik pun momen kehidupan
luput dari pandangan media massa, tak secelah pun informasi terabaikan media
massa.
Media
massa dinilai memiliki kemampuan untuk memengaruhi pola pikir dan persepsi
masyarakat dalam menilai sebuah informasi. Tak pelak lagi posisi vital itu
telah membuat media massa menjadi rentan disalahgunakan oleh pihak-pihak
tertentu untuk melakukan politisasi informasi.
Hegemonik
Dalam
khazanah ilmu komunikasi dikenal teori makroskopik struktural yang memusatkan
perhatian pada bagaimana cara institusi media massa dibangun di dalam
perekonomian kapitalis. Teori ini memfokuskan perhatian pada cara elite
sosial menjalankan media massa untuk mendapatkan keuntungan dan
menyebarluaskan pengaruh di dalam masyarakat.
Mereka
berpendapat bahwa para elite kadang-kadang menggunakan media massa untuk
menyebarluaskan budaya hegemonik sebagai cara untuk mempertahankan posisi
mereka yang dominan di dalam tatanan sosial (Baran dan Davis, 2010: 250).
Bahkan,
Ronald Lembo dan Kenneth Tucker menggambarkan media massa sebagai arena
kompetisi di mana individu atau kelompok mengekspresikan kepentingan yang
berlawanan (Lembo dan Tucker, 1990:
97-116).
Ruang
Publik
Salah
satu pendiri Mazhab Frankfurt, Jurgen Habermas, pernah mengemukakan gagasan
mengenai ruang publik. Menurut Habermas, ruang publik memiliki peran yang
cukup berarti dalam proses demokrasi. Ruang publik merupakan ruang demokratis
atau wahana diskursus di mana warga negara dapat menyatakan opini-opini,
kepentingan-kepentingan dan kebutuhan-kebutuhan mereka secara diskursif.
Ruang
publik merupakan syarat penting dalam demokrasi. Ruang publik adalah tempat
warga berkomunikasi mengenai kegelisahan-kegelisahan politis warga. Selain
itu, ruang publik merupakan wadah di mana warga negara dapat dengan bebas
mengemukakan sikap dan argumen mereka. Untuk itu ruang publik harus bersifat
bebas, terbuka, transparan, dan tidak ada intervensi.
Dalam
konteks itu, media massa dapat juga dikatakan sebagai bentuk dari ruang
publik karena ia merupakan sarana masyarakat untuk memperoleh informasi dan
menyatakan pendapat mengenai isu-isu publik yang sedang berkembang.
Selain
itu, pemberitaan dalam media massa dapat memengaruhi opini publik dan diskusi
di dalam masyarakat mengenai sebuah isu publik. Karena itu, media massa harus
bebas dari intervensi pihak manapun, termasuk pemilik modal.
Pemilik
Modal
Namun,
saat ini independensi pemberitaan media massa mulai diragukan. Tidak jarang
sebuah pemberitaan di media massa merupakan “pesanan” dari pihak tertentu
untuk memperlancar kepentingan mereka.
Rivalitas Metro TV dan TV One merupakan contoh
dari penyalahgunaan media massa untuk melakukan politisasi informasi. Pemilik
dua stasiun televisi swasta itu, Surya Paloh dan Aburizal Bakrie, dikenal
sebagai konglomerat media massa yang sering kali memiliki posisi politik
berseberangan.
Nuansa
politik sangat kental terasa di hampir setiap pemberitaan Metro TV dan TV One. Hal itu tentu
tidak dapat dilepaskan dari intervensi masing-masing pemilik demi satu
tujuan, yaitu melakukan pemberitaan yang menguntungkan langkah politik
mereka. Hal ini tentu dapat memengaruhi sikap dan persepsi publik.
Masih
segar dalam ingatan kita ketika menjelang musyawarah nasional Partai Golkar
bulan Oktober 2009, kedua stasiun televisi tersebut berlomba-lomba menokohkan
bos mereka masing-masing sebagai calon ketua umum Partai Golkar. Saat itu, Surya
Paloh dan Aburizal Bakrie tampil sebagai dua kandidat kuat calon ketua umum
Partai Golkar. Dapat dipastikan bahwa tayangan berita yang ditampilkan kedua
televisi itu sarat dengan muatan politik.
Stasiun
televisi TV One yang notabene
merupakan milik Aburizal Bakrie tentu akan mengopinikan bahwa Aburizal Bakrie
merupakan sosok kandidat yang didukung mayoritas kader Partai Golkar di
seluruh Indonesia. Sebaliknya, stasiun televisi Metro TV sebagai bagian dari
Media Group all out mempromosikan
sosok Surya Paloh sebagai kandidat terkuat calon ketua umum Partai Golkar.
Kemudian
dalam pemberitaan mengenai kiprah Partai Nasdem bentukan Surya Paloh, Metro TV melakukan hal itu secara
masif di setiap program berita mereka. Demikian pula dengan media massa
jaringan MNC Group ketika Hary Tanoesoedibjo masih bergabung dengan Partai
Nasdem.
Lebih
Kompleks
Akhirnya,
pengemasan pemberitaan yang cenderung mengabaikan prinsip cover both side secara
perlahan-lahan akan menggerus kepercayaan publik terhadap kredibilitas media massa.
Padahal, independensi pemberitaan media massa memiliki arti penting guna
menghindari pengaburan objektivitas informasi yang disampaikan kepada publik.
Pada
era keterbukaan seperti sekarang ini politisasi informasi sangat mungkin
terjadi mengingat karena tidak ada satu lembaga pun yang dapat melakukan
intervensi terhadap sajian berita media massa sebagaimana terjadi di masa
Orde Baru. Apabila pada masa Orde Baru media massa digunakan sebagai alat
untuk melanggengkan kekuasaan pemerintah, pada masa reformasi media massa
dikendalikan para konglomerat yang memiliki tujuan lebih kompleks. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar