|
KOMPAS,
28 Januari 2013
Setelah dinyatakan lolos dalam verifikasi
administratif dan faktual, sepuluh partai politik peserta Pemilu 2014 kini
mulai sibuk menyusun daftar calon anggota legislatif. Beberapa partai politik
bahkan secara terbuka mengundang putra-putri terbaik bangsa menjadi calon
anggota legislatif. Mungkinkah kualitas parlemen menjadi lebih baik?
Secara internal, setiap partai politik
sebenarnya telah memiliki mekanisme perekrutan calon anggota legislatif.
Sejak Pemilu 2004, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, misalnya, sudah
mempunyai sistem skoring dan pembobotan untuk mengetahui rekam jejak para
calon anggota legislatif dan atas dasar itu daftar calon anggota legislatif
disusun pimpinan partai.
Partai Golkar sejak lama memiliki instrumen
PD2LT (prestasi, dedikasi, disiplin, loyalitas, dan tidak tercela) sebagai
prasyarat dasar dalam menilai calon anggota legislatif. Partai politik lain
memiliki mekanisme internal serupa dengan variasi berbeda-beda pula.
Pada umumnya partai politik juga membuka
diri dengan memberi jatah sekitar 10-20 bagi orang luar nonkader sebagai
calon anggota legislatif.
Yang menjadi persoalan, mekanisme internal
ini tidak sepenuhnya berjalan di lapangan. Hak istimewa ketua umum atau
segelintir pemimpin partai politik sebagai pemutus akhir acap kali
mengecewakan kader partai politik sendiri.
Di sisi lain, sistem kaderisasi yang
semestinya menjadi kerja rutin partai politik tidak berjalan di sebagian
besar partai politik. Akibatnya, partai politik sering kali terperangkap
mencalonkan mereka yang memenuhi tiga kategori, yakni memiliki hubungan
nepotis dengan pimpinan partai politik, populer secara publik, dan mempunyai
modal finansial yang cukup.
Keluarga para petinggi partai politik,
artis, dan para pengusaha akhirnya lebih berpeluang menjadi calon anggota
legislatif.
Dampak melembaganya oligarki partai politik
adalah tidak adanya standar kompetensi dalam perekrutan calon anggota
legislatif. Sistem proporsional daftar terbuka dengan mekanisme suara
terbanyak justru cenderung semakin memperburuk kualitas para legislator. Hal
ini tecermin dalam rapat-rapat komisi DPR yang hanya diramaikan oleh beberapa
gelintir anggota. Sebagian besar anggota parlemen lainnya cenderung diam
alias tidak bersuara selama lima tahun menjadi anggota DPR.
Menurut tracking media yang dilakukan
Charta Politika, hanya 10-15 persen anggota DPR yang aktif bersuara dan
didengar media (Kompas, 21/1). Implikasinya, produktivitas legislasi DPR
umumnya di bawah 40 persen dari target tahunan, sedangkan kualitasnya sering
digugat berbagai kalangan melalui uji materi (judicial review) di Mahkamah
Konstitusi.
Sistem Tidak Terbangun
Apa yang salah? Sulit dimungkiri, pada
umumnya partai politik hanya sibuk dan akhirnya ”panik”, termasuk dalam
perekrutan calon anggota legislatif setiap menjelang pemilu. Kerja politik
rutin partai politik berupa kaderisasi, latihan dasar kepemimpinan, dan
pembekalan wawasan kebangsaan dan pemerintahan yang seharusnya berlangsung di
antara dua masa pemilu relatif tidak berlangsung.
Semua kerja politik yang semestinya menjadi
rutinitas partai politik akhirnya dilakukan secara instan dan ad hoc.
Kecenderungan kerja instan yang sama
dilakukan partai politik dalam relasi dengan konstituen di daerah pemilihan.
Kerja partai politik secara institusi untuk merawat dukungan konstituen di
daerah pemilihan amat minim dilakukan. Hanya sebagian kecil anggota DPR yang
secara individu benar-benar rajin merawat dukungan mereka di daerah
pemilihan.
Implikasi kecenderungan ini adalah tidak
stabilnya dukungan konstituen terhadap partai politik dalam setiap pemilu di
Indonesia. Hasil Pemilu 1999, 2004, dan 2009 memberi gambaran jelas, dukungan
pemilih terhadap partai politik bersifat sangat ”cair”. Akibatnya, suatu
partai politik yang memenangi daerah pemilihan tertentu pada pemilu
sebelumnya belum tentu bisa mempertahankan kemenangan itu pada pemilu berikutnya.
Secara singkat dapat dikatakan, sebagian
besar partai politik yang berkuasa di negeri ini gagal membangun dan
melembagakan organisasi partai politik sebagai pilar demokrasi kita, terutama
dalam mewadahi proses kaderisasi serta regenerasi kepemimpinan politik.
Setelah memperoleh kursi legislatif dan
eksekutif, para petinggi partai politik lebih sibuk memburu rente dengan cara
mengutak-atik dana publik (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) untuk disalahgunakan ketimbang kerja
”kering” merawat dukungan konstituen di daerah pemilihan masing-masing.
Berbagai kasus korupsi yang diungkap Komisi
Pemberantasan Korupsi yang melibatkan anggota parlemen, kepala daerah, hingga
menteri mengindikasikan hal itu.
Berita Buruk
Kesediaan partai politik membuka diri bagi
orang luar nonpartai politik untuk menjadi calon anggota legislatif di satu
pihak mungkin dapat dipandang sebagai ”berita baik”.
Artinya, berbagai elemen masyarakat yang
selama ini kritis terhadap partai politik memiliki kesempatan untuk terjun
langsung sebagai legislator. Namun, di pihak lain, pemberian kesempatan bagi
publik menjadi calon anggota legislatif tersebut sekaligus juga merupakan
berita buruk bagi perkembangan demokrasi bangsa kita atas dasar beberapa argumen.
Pertama, undangan terbuka bagi orang luar
nonkader sebagai calon anggota legislatif dapat dipandang sebagai pengakuan
tidak langsung kalangan partai politik atas kegagalan mereka dalam
memproduksi calon anggota legislatif yang kompeten untuk pemilu mendatang.
Kedua, karena proses perekrutan bersifat
instan, tidak ada jaminan bahwa calon anggota legislatif nonkader lebih
kompeten dan berintegritas dibandingkan calon anggota legislatif dari
kalangan internal partai politik.
Ketiga, proses politik instan cenderung
menghasilkan komitmen dan tanggung jawab yang serba instan pula sehingga agak
sulit membayangkan hal itu berdampak positif bagi peningkatan kualitas
kinerja para legislator khususnya dan kualitas lembaga-lembaga perwakilan
rakyat pada umumnya.
Karena itu, semangat berburu calon anggota
legislatif yang dilakukan partai politik mengingatkan kita pada lukisan
Djokopekik yang menggambarkan momen jatuhnya Soeharto pada 1998. Lukisan cat
minyak yang dahsyat itu berjudul ”Indonesia 1998, Berburu Celeng”.
Semoga saja partai-partai politik kita
tidak salah berburu sehingga benar-benar memperoleh calon anggota legislatif
yang menjanjikan, bukan ”celeng”, yakni mereka yang akhirnya mengkhianati
diri sendiri dan rakyat yang diwakilinya. ●
|
Anggota legislatif yang menjanjikan tanpa target yang target pencapaian yang tertulis dan terukur akan menghasilkan celeng. Target harus secara berkesinabungan di review( timbang?) dan dikuti dengan langkah perbaikan, dan diganjar dengan penghargaan atau hukuman. Bangsa ini tidak mengenal budaya malu jadi target krusial dalam mensejahterakan bangsa ini. Pak Budi, sila mampir di http://politik.kompasiana.com/2013/03/03/legislatif-dan-eksekutif-berebut-kue-apbn--539605.html. Terimakasih dan Tabik.
BalasHapus