|
KORAN
TEMPO, 30 Januari 2013
Kongres I
Partai Nasional Demokrat (NasDem) di Jakarta, 25-26 Januari lalu, secara
aklamasi menetapkan Surya Paloh sebagai ketua umum. Di sisi lain, terjadi
aksi pengunduran diri banyak kader partai yang terpicu oleh mundurnya Ketua
Dewan Pakar Hary Tanoesoedibjo, Sekretaris Jenderal Ahmad Rofiq, Wakil
Sekretaris Jenderal Saiful Haq, dan Ketua Bidang Internal Endang Tirtana.
Mereka menolak rencana Surya Paloh tampil sebagai ketua umum karena bertolak
belakang dengan hakikat restorasi.
Sebagai partai baru peserta Pemilu 2014,
perpecahan di tubuh Partai NasDem ini sangat dramatik. Persoalannya bukan
sekadar pecahnya kongsi Surya Paloh dan Hary Tanoesoedibjo, yang sama-sama
berlatar belakang pengusaha dan pemilik media, melainkan jauh lebih kompleks.
Pertama, secara substantif, wacana restorasi atau gerakan perubahan NasDem
dipertanyakan. Hal ini terbatas dari alasan mundurnya faksi Hary Tanoe serta
kader-kader lain di pusat dan daerah.
Kedua, secara teknis operasional, Partai
NasDem kehilangan sumber daya politik, tepatnya finansial dan media politik
strategisnya. Daya syiar partai tentu tidak sehebat kalau kongsi dua tokoh di
atas tidak pecah. Penjelasan lain, ketika faksi Hary Tanoe mundur, struktur
insentif partai bergeser. Implikasinya, proyeksi harapan banyak kader pun
turut bergeser.
Ketiga, publik segera sinis melihat konflik
partai itu. Sinisme itu banyak tertuju pada Surya Paloh, yang teropinikan
sebagai sosok ambisius dan tak mengindahkan etika demokrasi internal.
Keempat, rapuhnya soliditas internal elite NasDem dapat berimplikasi kurang
baik bagi masa depan partai.
Partai baru memang membutuhkan tokoh kuat,
seperti Susilo Bambang Yudhoyono di Partai Demokrat. Tapi ketokohan Surya
Paloh tak sekuat Yudhoyono. Pasca-kongres, faksi dialah yang paling kuat.
Namun, manakala demokrasi checks and balances tidak tampak tecermin optimal
di lingkup internal NasDem, masa depannya cukup riskan.
Ambivalen
Ketidaksolidan NasDem jelas terkait dengan
berubahnya rencana awal penggagas dan penggeraknya. Dulu, ketika NasDem
berdiri, para tokohnya ramai-ramai mengklarifikasi bahwa partai ini tidak
akan berubah menjadi partai politik, melainkan ormas yang bervisi perubahan.
Ketika beberapa aktor organisasi kemasyarakatan berinisiatif mendirikan
partai dengan nama yang sama, publik diyakinkan bahwa Partai NasDem berbeda
dengan yang ormas. Manuver itu cukup membingungkan. Bagaimana mungkin sebuah
ormas dan partai demikian "identik"? Kesan ambivalensi memang tak
terhindarkan sejak awal hadirnya Partai NasDem.
Karena itu, yang menjadi tantangan paling
utama NasDem setelah keluarnya faksi Hary Tanoe ialah menghilangkan kesan
ambivalen yang tidak mudah. Ketika wacana restorasi terkikis oleh kritik dan
resistansi dari para kader yang kecewa, perbaikan citra partai dapat
dilakukan dengan menonjolkan integritas aktor-aktornya. Ikon yang paling
menonjol dari NasDem pasca-kongres ialah Surya Paloh sendiri. Apakah ia mampu
dipandang sebagai sosok yang konsisten dan berintegritas oleh publik?
Jawaban dari pertanyaan itu membutuhkan
penelitian yang saksama. Namun yang perlu diperhatikan dan tidak bisa
diremehkan dalam ikonografi politik adalah derajat protagonis dan antagonis
para aktor. Melalui wacana restorasi atau perubahan, Surya Paloh dan para
tokoh utama NasDem mencitrakan diri sebagai aktor-aktor protagonis. Tapi, toh
publik luaslah yang menilai mereka. Jangan-jangan, derajat antagonisnya yang
mengemuka. Kalau ini yang terjadi, sinetron Partai NasDem tidak menarik sejak
awal.
Kini, apakah NasDem bener-benar telah layu
sebelum berkembang? NasDem sepeninggal Hary Tanoe memang tampak segera layu,
tapi belum tentu tidak bisa berkembang. Para tokoh tersisa masih
berkesempatan mengembangkan partai dengan menciptakan struktur insentif baru
yang tetap kuat daya tariknya. Kemampuan partai menghimpun kader baru yang
populer dan electable merupakan indikatornya. Namun, ketika persaingan
politik demikian tajam, tidaklah mudah merekrut yang populer dan electable
itu.
Bagaimanapun, NasDem adalah fenomena.
Eksperimen politik Surya Paloh dan kawan-kawannya itu merupakan contoh model,
bagaimana sekelompok elite politik membentuk partai dengan metode pendirian
ormas. Dengan bentuk ormas, NasDem merekrut banyak tokoh lintas partai. Para
tokoh yang bergabung banyak yang menyisakan syarat bahwa, jika NasDem menjadi
partai politik, mereka akan mundur. Misalnya, Sri Sultan Hamengku Buwono X
mundur ketika aksi pendirian partai mengemuka. Tokoh-tokoh lain juga banyak
yang sayonara.
Kini publik memang perlu menelisik siapa saja
yang jelas-jelas mau bergabung dengan Partai NasDem. Perlu pula diperjelas
siapa-siapa yang berkiprah dalam ormas-nya. Publik memang agak dibingungkan
oleh eksperimen ormas dan partai ini. Karena itu, agar tidak menimbulkan
kesan Partai NasDem kamuflatif, para aktornya perlu menegaskan kembali
penjelasan di seputar ormas dan partai yang menjunjung jargon restorasi itu.
Masa Depan
Walaupun beberapa hasil polling telah
"menggambarkan", dan perlu dicek lagi kondisinya setelah Hary Tanoe
keluar, sebelum pemilu aktual digelar, NasDem masih prospektif. Asumsinya,
semua partai dipandang prospektif justru karena peluang masih terbuka. Ketika
layar terkembang, kemampuan nakhoda dan para awak-lah yang menentukan,
seberapa cepat laju elektabilitas partai. Nah, apakah Surya Paloh, Patrice
Rio Capella, Ferry Mursidan Baldan, dan kawan-kawan mampu bergerak cepat
dalam berkemudi? Pasca-kongres hingga pemilu adalah ujian yang sebenarnya.
Pilihannya sebagai partai terbuka adalah
salah satu kelebihan. Ia bisa menampung politikus dari partai lain,
spesifiknya dari Partai Golkar. NasDem hadir setelah Surya Paloh gagal
merebut Golkar pada Munas VIII di Pekanbaru pada akhir 2009. Kader Golkar
yang "kecewa" ataupun "tidak mendapat tempat" bisa
memanfaatkan NasDem. Tetapi yang harus dipertimbangkan betul adalah, apakah
mereka mampu meraup potensi pemilih Golkar? Atau, lebih luas, apakah NasDem
mampu secara signifikan meraup pangsa pasar politik catch-all partai-partai
terbuka?
Kalau tidak
cermat, NasDem bisa menjadi partai "keranjang sampah". Tapi
sebaliknya, ia juga berpeluang "menyepuh" sosok-sosok yang
diajukannya sebagai calon anggota legislatif dan tampil sebagai partai
politik yang dipertimbangkan. ●
|
thanks buat artikelnya sob :)
BalasHapus