|
KOMPAS,
29 Januari 2013
What
is in a date? Apalah arti sebuah tanggal? Sebagai
penanda berganti (mata) hari, atau peristiwa-peristiwa yang kita selebrasi
secara global?
Tanggal tetap sebuah hal
yang abstrak dan kosong. Hal yang sepanjang sejarah kebudayaan mati-matian
mau dimaterialisasi. Pikiran yang memiliki anggapan demikian. Seolah waktu
bisa kita tundukkan, lalu kita kerat dalam potongan atau satuan tertentu.
Waktu (mungkin) adalah
entitas yang berlangsung melalui diri sendiri. Manusia tak bisa menjangkau,
mengendalikan, apalagi membagi-baginya dalam kalender atau buku agenda. Yang
terjadi sebaliknya, manusia teperdaya dan dikendalikan waktu.
Karena itu, makna 31
Desember atau 1 Januari tidak berbeda dengan 3 Agustus atau 16 Juli. Tahun
Baru pun sudah tidak punya konteks dengan kita, terlebih mengingat ini
perayaan yang ditiru dari agama pagan. Ia mendapat arti ”baru” semata untuk
menghargai Julius Caesar—penggubah kalender Masehi—yang dipadankan dengan
Dewa Janus, asal kata Januari.
Ia pun sesungguhnya tidak
berhubungan dengan agama, bahkan Kristen. Betapa pun Paus Gregorius pernah
menetapkannya sebagai kalender liturgi, dan zaman pertengahan mengaitkannya
dengan kelahiran Yesus pada 25 Desember, Tahun Baru tetap tinggal sebagai
hari ”biasa”. Tahun Baru tinggal semata sebagai produk industri, di mana
masyarakat global merayakan dengan membelanjakan uang. Inilah puncak
kekalahan kesadaran manusia atas logika terhadap nafsu industri yang
gigantik.
Limbah Kebudayaan
Tahun Baru sesungguhnya
berpeluang besar ketika masyarakat dunia dapat digerakkan untuk menyadari
realitas kekinian (kontemporer)-nya. Dunia kini berada dalam momen
kontemplatif itu karena realitas kontemporer sudah memberi desakan
kedaruratan yang memberi ancaman tidak ringan bagi keberlangsungan peradaban,
bahkan kemanusiaan itu sendiri.
Kita harus membuat seruan
bahwa momen global yang tidak tertandingi ini (kecuali oleh olimpiade dan
piala dunia sepak bola) harus kita daya gunakan untuk penciptaan dunia
mental, intelektual, dan spiritual baru. Setidaknya agar kita tidak menjadi
pandir dan nir-adab karena hanya meladeni nafsu hedonis. Kesenangan bukan
sebuah dosa, tapi kontemplasi akan memberi kita makna, termasuk untuk apa
kesenangan itu ada.
Selama ini sesungguhnya
kita melihat berbagai masalah dalam kehidupan global ini. Remaja yang
membunuh ibu kandungnya sendiri, ayah yang menggauli putri kandung hingga
hamil, penembakan yang menewaskan ratusan anak sekolah di Amerika Serikat,
hingga pemerkosaan atas mahasiswi kedokteran sampai meninggal di India. Semua
ini menjadi alarm kuat bahwa peradaban sedang berjalan ke arah yang
menghancurkan.
Manmohan Singh, Perdana
Menteri India, menegaskan perlunya perubahan sosial (juga mental) di dalam
masyarakat India. Begitu pun PM Perancis Dominique de Villepin menyerukan
perlunya mengubah cara berpikir orang Perancis, bahkan memperhitungkan
kembali prinsip-prinsip dasar Revolusi Prancis akibat kerusuhan hebat di
Banlieus.
Pemimpin-pemimpin (negara)
besar dunia kian menyadari, di samping desakan-desakan hidup yang membuat
mereka menjadi sangat pragmatis, ada persoalan-persoalan idealistis yang jika
tidak segera diantisipasi akan membuat semua perhitungan pragmatis sia-sia.
Betapa pun dunia mencoba menghindari, tetap bisa terjadi munculnya pemimpin
yang megalomania, bahkan maniak, dan memulai sebuah perang global.
Sebuah kegilaan yang
berdampak dalam hitungan detik, dalam kurs, harga minyak, distribusi barang,
dan berbagai nilai atau kegiatan vital lainnya.
Tanpa fakta itu pun kita
semua menyadari, cadangan energi yang menipis tidak akan mengurangi nafsu
untuk terus mengeksploitasi. Namun, kebutuhan energi-tak-terbarukan yang
meningkat membuat banyak negara krisis. Pada masa itu, kita mungkin akan
bertempur—dengan parang atau pistol—demi sekaleng bensin atau air bersih.
Sebuah laporan yang
dilansir Newsweek menjelang kematian edisi cetaknya memperlihatkan kepada
kita, bagaimana kenaikan suhu dunia 1º Fahrenheit saja membuat kemerosotan
produksi bahan pangan utama dunia (jagung, gandum, dan beras) hingga 20
persen. Kejadian kecil pada cuaca membuat pedagang tempe kita blingsatan
beberapa waktu lalu.
Baiklah kita sadari dan
renungi bersama, hidup bukan melulu soal terompet tahun baru, Shahrukh Khan,
James Bond, Sinchan, atau Gangnam Style. Bukan hanya ritus membanjiri outlet
atau mal-mal untuk menyerbu diskon merek ternama. Dunia global juga adalah
limbah kebudayaan dan sampah peradaban, yang menumpuk-menggunung tanpa kita
siap menghadapi itu semua.
Jawaban Kebudayaan
Maka celakalah sebuah
bangsa, sebuah negara, jika para pemimpin atau calon pemimpinnya tidak memiliki
kesadaran, visi, bahkan imajinasi yang cukup lapang mengenai
tantangan-tantangan kritis di atas. Kebesaran sebuah bangsa diukur dari
seberapa adekuat bangsa itu—dihela para pemimpinnya—merespons semua persoalan
yang kini berdimensi global itu.
Perlukah penyelesaian
bersifat universal untuk kemudian diterapkan di tingkat lokal? Atau kita
mengakselerasi dunia lokal untuk memberikan jawaban ke dunia global?
Bagaimana visi sebuah negara-bangsa, apa strategi kebudayaan yang harus
mereka susun dan tetapkan?
Akan jadi bencana bila
sebuah bangsa atau negara justru diisi oleh para pemimpin dan kandidat yang
melulu sibuk, mengeluarkan miliaran bahkan triliunan rupiah, hanya untuk
mempersolek dan memoles gincu urat malunya. Akan menjadi kenistaan sejarah
(historic embarrassment) jika kita, satu bangsa, membiarkan pemimpin dan
calon pemimpin dengan hasrat kekuasaan di bibir, membiarkan anak dan cucu
kita menghadapi tantangan berat di zamannya, tidak dengan bekal yang kita
cukupkan, tapi justru dengan sisa sumber daya yang keropos.
Tidak perlu gosip murahan
atau speculative analysis dari para peneliti atau pakar bodong asing yang
menyatakan ada peradaban besar atau kejayaan kebudayaan di negeri ini pada
masa lalu. Indonesia, tetap perlu menyadari, sebagai sebuah negeri—sebelum
menjadi negara atau bangsa—tetap sebuah peradaban yang tidak bisa diremehkan.
Ratusan tradisi hebat masih bertahan dan menjadi bukti di dalamnya.
Karena itu, di sini,
Nusantara yang bahari ini, adalah naif jika kita merasa tak mampu menemukan
jawaban atas semua persoalan di atas. Jutaan rakyat dan ratusan tradisi
sesungguhnya telah menjawab lewat cara mereka melakoni hidup, survive, dan
tetap tumbuh. Kenaifan, mungkin kebebalan juga, justru terasa di kalangan
elite atau para penentu kebijakan publik, yang tidak mampu menemukan jawaban
kebudayaan.
Krisis terjadi atau kian
parah justru dari kalangan yang paling menikmati surplus dari negerinya
sendiri. Ia melahirkan sebuah mekanisme yang sistemik, yang menggaransi comfort zone dari hedonisme bermuka
baru itu. Politik seperti itu bukan politik yang ideal-reflektif, tapi
cenderung banal-destruktif. Memang, terlalu bodoh dan hina jika persoalan
sebesar ini diserahkan hanya kepada politisi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar