Tantangan
Perbankan Syariah
Herman ; Ketua Syariah Economic Institute (SEI) Jakarta
|
SUARA
KARYA, 14 Januari 2013
Perkembangan perbankan syariah di
Tanah Air akhir-akhir ini cukup menggembirakan. Hal ini bisa kita lihat dari
jumlah asetnya yang terus meningkat, persebaran kantor-kantor bank syariah
yang semakin meluas, dan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat untuk
menggunakan produk-produk bank syariah di seluruh Indonesia.
Kesadaran masyarakat ini juga
tidak terlepas dari dorongan peraturan UU No 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah yang memberikan kepastian hukum dan keyakinan bagi masyarakat untuk
menggunakan produk-produk dan jasa perbankan syariah.
Berdasarkan catatan Bank Indonesia
(BI), aset perbankan syariah hingga akhir Oktober lalu mencapai Rp 178,6
triliun. Angka ini sudah termasuk unit usaha syariah (UUS) dan juga BPRS.
Jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, telah terjadi kenaikan
sebesar 36 persen. Sementara market share perbankan syariah dalam peta
perbankan saat ini sudah mencapai 4,3 persen per Oktober 2012 dengan jumlah
rekening (pembiayaan dan DPK) di bank syariah mencapai 13,4 juta rekening.
Ini merupakan
perkembangan yang sangat luar biasa dimana pada usianya yang masih 20 tahun
perbankan syariah terus menunjukkan eksistensinya sebagai pilihan yang tepat
bagi masyarakat untuk menggunakan jasa atau produk perbankan syariah.
Di tingkat
internasional perkembangan keuangan syariah juga patut kita syukuri dengan
hadirnya lembaga-lembaga keuangan syariah internasional, seperti AAOIFI, IDB,
IFSB, dan IIFM. Ini semua merupakan respon positif yang bisa menjadi
pendorong agar industri keuangan syariah terus mengalami pertumbuhan di
tingkat global.
Namun, di
tengah peluang yang terbuka lebar, sejumlah industri keuangan syariah harus
bisa menjawab sejumlah kendala yang mana jika tidak diatasi dengan baik akan
menjadi duri bagi perjalanan perbankan syariah baik di tingkat global maupun
Indonesia sendiri.
Cecep Maskanul
Hakim (2011), mengemukakan ada empat faktor yang menghambat perkembangan bank
syariah di Indonesia. Pertama, pemahaman publik tentang perbankan Islam.
Penyebab utama lambannya perkembangan bank syariah di Indonesia adalah
ketidakpedulian masyarakat Indonesia terhadap kontrak Islam (fiqh muamalat)
pada umumnya dan praktik bank Islam pada khususnya. Kedua, kurangnya
jaringan. Artinya bahwa keberadaannya hanya di wilayah yang terbatas di mana
cabang-cabang bank syariah berdiri, masyarakat dapat menyimpan dana mereka.
Ketiga, masalah regulasi (peraturan). Keempat, sumber daya manusia. Sebagian
besar kalangan praktisi dengan keahlian yang bagus dalam bidang perbankan,
namun tidak ada satupun yang dilengkapi dengan pengetahuan syariah.
Tantangan di
atas perlu mendapatkan perhatian serius dari semua pihak, baik pemerintah,
ulama maupun institusi pendidikan agar tidak mengganggu perkembangan
perbankan syariah ke depan. Jangan sampai potensi yang dimiliki bangsa ini
dalam industri keuangan syariah terhambat oleh masalah regulasi, minimnya SDM
dan pemahaman masyarakat yang masih minim terhadap perbankan syariah.
Karena itu,
berangkat dari kendala tersebut, maka strategi ke depan perbankan syariah
agar pengembangan bank syariah di Indonesia bisa dilihat dari beberapa
strategi. Pertama, memberikan pemahaman kepada masyarakat luas tentang
kelebihan bank syariah dibandingkan bank yang berbasis bunga dengan terus
melakukan sosialisasi kepada masyarakat. Sosialisasi ini bisa dilakukan di masjid-masjid
atau di majelis ta'lim dan hendaknya melibatkan pelbagai pihak, baik dari
kalangan ulama, akademisi, pebisnis, dan seluruh lapisan masyarakat. Dengan
strategi ini diharapkan pengetahuan masyarakat bisa bertambah tentang
keuangan syariah, sehingga memacu mereka beralih untuk menggunakan jasa dan
produk yang ada di perbankan syariah.
Kedua, dalam
jangka pendek untuk mengatasi masalah SDM bisa dilakukan dengan mengadakan
pelatihan bagi praktisi atau karyawan bank syariah. Namun, untuk jangka panjang
kekurangan hanya bisa dilakukan dengan edukasi atau pendidikan. Dalam hal ini
perguruan tinggi Islam maupun umum memiliki peran yang strategis dalam
mencetak SDM yang berkualitas dengan membuka jurusan ekonomi Islam atau
perbankan syariah. Pendidikan ini bisa dilakukan secara formal atau informal
di lingkungan kampus, seperti mengadakan kajian yang khusus membahas masalah
keuangan Islam.
Dengan
demikian, institusi pendidikan benar-benar dituntut untuk menghasilkan output
yang professional dan berkualitas. Lulusan perguruan tinggi harus memiliki
kualitas yang memenuhi kualifikasi sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan
industri keuangan Islam saat ini.
Ketiga, melakukan studi banding ke
negara-negara lain yang sudah memiliki pengalaman dalam industri perbankan
syariah, seperti Malaysia, Iran, dan Bahrain. Studi banding ini sangat
penting sebagai kaca perbandingan serta untuk lebih memacu perkembangan
perbankan syariah di Tanah Air dalam menghadapi persaingan industri keuangan
syariah secara global.
Dengan beberapa strategi itu,
diyakini pengembangan industri keuangan syariah di masa yang akan datang akan
mengalami perkembangan yang lebih pesat, baik di tingkat nasional maupun
tingkat global.
Selain itu, diyakini pula bahwa
Indonesia mampu menjadi kiblat bagi pertumbuhan keuangan syariah dunia jika
potensi yang dimiliki bangsa ini bisa dikelola dengan baik dan bisa mengatasi
kendala-kendala yang selama ini menjadi penghambat pertumbuhan perbankan
syariah di Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar