Selasa, 15 Januari 2013

Tantangan Perbankan Syariah


Tantangan Perbankan Syariah
Herman ;  Ketua Syariah Economic Institute (SEI) Jakarta
SUARA KARYA, 14 Januari 2013



Perkembangan perbankan syariah di Tanah Air akhir-akhir ini cukup menggembirakan. Hal ini bisa kita lihat dari jumlah asetnya yang terus meningkat, persebaran kantor-kantor bank syariah yang semakin meluas, dan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat untuk menggunakan produk-produk bank syariah di seluruh Indonesia.
Kesadaran masyarakat ini juga tidak terlepas dari dorongan peraturan UU No 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang memberikan kepastian hukum dan keyakinan bagi masyarakat untuk menggunakan produk-produk dan jasa perbankan syariah.
Berdasarkan catatan Bank Indonesia (BI), aset perbankan syariah hingga akhir Oktober lalu mencapai Rp 178,6 triliun. Angka ini sudah termasuk unit usaha syariah (UUS) dan juga BPRS. Jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, telah terjadi kenaikan sebesar 36 persen. Sementara market share perbankan syariah dalam peta perbankan saat ini sudah mencapai 4,3 persen per Oktober 2012 dengan jumlah rekening (pembiayaan dan DPK) di bank syariah mencapai 13,4 juta rekening.
Ini merupakan perkembangan yang sangat luar biasa dimana pada usianya yang masih 20 tahun perbankan syariah terus menunjukkan eksistensinya sebagai pilihan yang tepat bagi masyarakat untuk menggunakan jasa atau produk perbankan syariah.
Di tingkat internasional perkembangan keuangan syariah juga patut kita syukuri dengan hadirnya lembaga-lembaga keuangan syariah internasional, seperti AAOIFI, IDB, IFSB, dan IIFM. Ini semua merupakan respon positif yang bisa menjadi pendorong agar industri keuangan syariah terus mengalami pertumbuhan di tingkat global.
Namun, di tengah peluang yang terbuka lebar, sejumlah industri keuangan syariah harus bisa menjawab sejumlah kendala yang mana jika tidak diatasi dengan baik akan menjadi duri bagi perjalanan perbankan syariah baik di tingkat global maupun Indonesia sendiri.
Cecep Maskanul Hakim (2011), mengemukakan ada empat faktor yang menghambat perkembangan bank syariah di Indonesia. Pertama, pemahaman publik tentang perbankan Islam. Penyebab utama lambannya perkembangan bank syariah di Indonesia adalah ketidakpedulian masyarakat Indonesia terhadap kontrak Islam (fiqh muamalat) pada umumnya dan praktik bank Islam pada khususnya. Kedua, kurangnya jaringan. Artinya bahwa keberadaannya hanya di wilayah yang terbatas di mana cabang-cabang bank syariah berdiri, masyarakat dapat menyimpan dana mereka. Ketiga, masalah regulasi (peraturan). Keempat, sumber daya manusia. Sebagian besar kalangan praktisi dengan keahlian yang bagus dalam bidang perbankan, namun tidak ada satupun yang dilengkapi dengan pengetahuan syariah.
Tantangan di atas perlu mendapatkan perhatian serius dari semua pihak, baik pemerintah, ulama maupun institusi pendidikan agar tidak mengganggu perkembangan perbankan syariah ke depan. Jangan sampai potensi yang dimiliki bangsa ini dalam industri keuangan syariah terhambat oleh masalah regulasi, minimnya SDM dan pemahaman masyarakat yang masih minim terhadap perbankan syariah.
Karena itu, berangkat dari kendala tersebut, maka strategi ke depan perbankan syariah agar pengembangan bank syariah di Indonesia bisa dilihat dari beberapa strategi. Pertama, memberikan pemahaman kepada masyarakat luas tentang kelebihan bank syariah dibandingkan bank yang berbasis bunga dengan terus melakukan sosialisasi kepada masyarakat. Sosialisasi ini bisa dilakukan di masjid-masjid atau di majelis ta'lim dan hendaknya melibatkan pelbagai pihak, baik dari kalangan ulama, akademisi, pebisnis, dan seluruh lapisan masyarakat. Dengan strategi ini diharapkan pengetahuan masyarakat bisa bertambah tentang keuangan syariah, sehingga memacu mereka beralih untuk menggunakan jasa dan produk yang ada di perbankan syariah.
Kedua, dalam jangka pendek untuk mengatasi masalah SDM bisa dilakukan dengan mengadakan pelatihan bagi praktisi atau karyawan bank syariah. Namun, untuk jangka panjang kekurangan hanya bisa dilakukan dengan edukasi atau pendidikan. Dalam hal ini perguruan tinggi Islam maupun umum memiliki peran yang strategis dalam mencetak SDM yang berkualitas dengan membuka jurusan ekonomi Islam atau perbankan syariah. Pendidikan ini bisa dilakukan secara formal atau informal di lingkungan kampus, seperti mengadakan kajian yang khusus membahas masalah keuangan Islam.
Dengan demikian, institusi pendidikan benar-benar dituntut untuk menghasilkan output yang professional dan berkualitas. Lulusan perguruan tinggi harus memiliki kualitas yang memenuhi kualifikasi sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan industri keuangan Islam saat ini.
Ketiga, melakukan studi banding ke negara-negara lain yang sudah memiliki pengalaman dalam industri perbankan syariah, seperti Malaysia, Iran, dan Bahrain. Studi banding ini sangat penting sebagai kaca perbandingan serta untuk lebih memacu perkembangan perbankan syariah di Tanah Air dalam menghadapi persaingan industri keuangan syariah secara global.
Dengan beberapa strategi itu, diyakini pengembangan industri keuangan syariah di masa yang akan datang akan mengalami perkembangan yang lebih pesat, baik di tingkat nasional maupun tingkat global.
Selain itu, diyakini pula bahwa Indonesia mampu menjadi kiblat bagi pertumbuhan keuangan syariah dunia jika potensi yang dimiliki bangsa ini bisa dikelola dengan baik dan bisa mengatasi kendala-kendala yang selama ini menjadi penghambat pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar