|
KORAN
TEMPO, 23 Januari 2013
Sebagai sebuah paradigma baru
dalam dunia peradilan pidana, tentu perlu waktu untuk memperkenalkan
restitusi di tengah sistem hukum yang telah diakui secara turun-menurun.
Menarik untuk mencermati
tulisan L.R. Baskoro dalam kolom berjudul "Mendamba
Restorative Justice dalam Kepala Hakim Kita" di Koran Tempo edisi 14
Januari 2013. Namun rasanya tidak adil jika beban tidak efektifnya
pelaksanaan restitusi hanya dilimpahkan pada "niat" dan pemikiran
konservatif aparat penegak hukum kita. Faktanya, kelemahan aturan normatif
yang ada saat ini justru menjadi pemicu utama tersendatnya pemenuhan hak
restitusi bagi korban kejahatan.
Sebagai sebuah paradigma baru
dalam dunia peradilan pidana, tentu perlu waktu untuk memperkenalkan
restitusi di tengah sistem hukum yang telah diakui secara turun-menurun.
Belum lagi pemikiran pragmatis cenderung mendominasi pemikiran aparat penegak
hukum kita. Yakni, sikap ogah menerima perkembangan baru dan lebih
mengutamakan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana bak "kitab
suci" sebagai acuan penegakan hukum.
Berbagai upaya perbaikan dan
pengembangan suatu sistem hukum tentu sangat diperlukan di tengah pesatnya
kejahatan jenis baru yang semakin canggih dan modern. Pengembangan ini
berbanding lurus dengan meningkatnya kapasitas aparat penegak hukum dan kualitas
perangkat hukum normatif yang ada.
Kelemahan Peraturan
Setidaknya ada tiga hal
kelemahan peraturan perundang-undangan mengenai pemberian restitusi terhadap
korban kejahatan. Pertama, ada polarisasi peraturan perundang-undangan yang
mengatur pemberian restitusi kepada korban kejahatan yang cenderung saling
bertentangan. Misalnya, pengaturan restitusi dalam Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang didelegasikan secara
teknis dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian
Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban. Dalam beberapa
hal, aturan itu bertentangan dengan Pasal 98 KUHAP mengenai penggabungan
perkara, khususnya terkait dengan hukum acara yang akan digunakan. Praktis
hal ini membuat penegak hukum cenderung memilih menggunakan ketentuan KUHAP
karena aturan hukumnya dianggap lebih pasti dan aplikatif.
Kedua, tumpang-tindihnya
pengaturan mengenai restitusi terhadap korban kejahatan. Setidaknya ada tiga
peraturan yang mengatur tentang pemberian restitusi terhadap saksi dan korban
kejahatan, yakni PP Nomor 44/2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi,
dan Bantuan kepada Saksi dan Korban; PP Nomor 3/2003 tentang Kompensasi,
Restitusi, dan Rehabilitasi terhadap Korban Pelanggaran HAM yang Berat; serta
UU Nomor 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Ketiga peraturan tersebut mengatur aspek yang sama dengan obyek yang berbeda.
Implikasinya, secara yuridis formal, justru menghambat pelaksanaan restitusi
dan cenderung menimbulkan masalah baru karena tidak ada standar dan prosedur
yang sama serta cenderung memunculkan ego sektoral.
Ketiga, dalam UU Nomor 13/2006,
jangkauan restitusi dapat berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti
kerugian untuk kehilangan ataupun penderitaan, atau penggantian biaya untuk
tindakan tertentu. Sedangkan dalam KUHAP tentang ganti kerugian hanya
terfokus pada kerugian yang nyata akibat tidak pidana. Jadi, dalam
prakteknya, hanya kerugian-kerugian materiil yang bisa diperiksa oleh Hakim.
Tuntutan ganti rugi atas kehilangan bagi korban dianggap sebagai bersifat
imateriil sehingga harus menggunakan mekanisme hukum perdata.
Keempat, lemahnya daya paksa
dan eksekusi pelaksanaan restitusi. UU Nomor 13/2006 tidak mengatur tentang
daya paksa untuk melakukan pembayaran dan lembaga mana yang berwenang
mengeksekusi pelaksanaan restitusi tersebut. Artinya, jika pelaku tidak mampu
dan tidak mau membayar restitusi kepada korban, hal itu tidak berakibat hukum
dan menimbulkan implikasi apa pun bagi pelaku. Praktis hal ini telah
mencederai hak korban untuk memperoleh ganti kerugian.
Keadilan Restoratif
Sebagai sebuah terobosan yang
lahir dari konsep keadilan restoratif, restitusi merupakan angin segar bagi
korban dalam penyelesaian suatu tindak pidana. Sejatinya pendekatan keadilan
restoratif dalam hukum pidana bukan bertujuan mengabolisi hukum pidana atau
melebur hukum pidana dan hukum perdata. Pendekatan keadilan restoratif justru
mengembalikan fungsi hukum pidana pada jalurnya semula, yaitu pada fungsi
ultimum remedium.
Tentu, dalam tataran praktis,
penanganan dan penyelesaian perkara pidana dengan menggunakan pendekatan
keadilan restoratif menawarkan alternatif jawaban atas sejumlah masalah yang
dihadapi dalam sistem peradilan pidana. Penggabungan perkara gugatan ganti
kerugian seperti yang diatur dalam ketentuan Pasal 98 KUHAP merupakan salah
satu bentuk riil evolusi transformasi gagasan keadilan restoratif ke dalam
hukum positif di Indonesia.
Namun, mengutip sistem yang
telah dipraktekkan di negara-negara Eropa, Amerika, dan Asia, pengaruh
gagasan keadilan restoratif justru semakin terlihat setelah dikeluarkannya UU
Nomor 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Undang-undang ini
memberi legitimasi secara hukum kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
untuk dapat menjalankan amanah agar korban dan saksi dapat memperoleh
keadilan serta perlindungan dalam setiap tahapan peradilan pidana.
Seperti diketahui, salah satu
instrumen penting yang menjadi landasan untuk memenuhi kewajiban pemulihan
atau reparasi terhadap korban adalah Prinsip-prinsip Dasar dan Pedoman Hak
Atas Pemulihan untuk Korban Pelanggaran Hukum HAM Internasional dan Hukum
Humaniter (Basic Principles and
Guidelines on the Right to a Remedy and Reparation for Victims of Violations
of International Human Rights and Humanitarian Law 1995); serta Deklarasi
Prinsip-prinsip Dasar Keadilan bagi Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan
Kekuasaan (Declaration of Basic
Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power).
Berdasarkan ketentuan dalam Basic Principles and Guidelines on the
Right to a Remedy and Reparation for Victims of Violations of International
Human Rights and Humanitarian Law dinyatakan bahwa para korban memiliki
lima hak pemulihan atau reparasi, yaitu restitusi, kompensasi, rehabilitasi,
kepuasan (satisfaction), dan
jaminan ketidakberulangan (non-recurrence).
Tentu bukanlah hal yang mudah
untuk dapat mengembalikan fungsi aturan hukum normatif ke makna pemulihan dan
keadilan korban dalam arti sebenarnya. Diperlukan suatu perbaikan yang
sistematis dan terstruktur. Pembenahan di tingkat aturan normatif dipercaya
dapat mengubah pemikiran konservatif aparat penegak hukum kita saat ini.
Kendati
diperlukan perubahan secara sistematis dan terstruktur, tak dapat dimungkiri
perubahan terhadap aturan normatif merupakan tantangan terberat dari
pelaksanaan restitusi bagi korban. Diperlukan juga suatu perspektif yang
restoratif dalam kepala anggota DPR kita selaku pemegang fungsi legislasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar