Setelah RSBI
Dibubarkan
Sutrisno ; Guru SMPN 1 Wonogiri,
Mahasiswa
Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS)
|
MEDIA
INDONESIA, 10 Januari 2013
MAHKAMAH Konstitusi (MK) membatalkan Pasal 50 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas)
yang mengatur penyelenggaraan rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI)
dan sekolah bertaraf internasional (SBI). Hakim konstitusi menyatakan
memahami konsepsi SBI untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
Namun, menurut mereka, amanat undang-undang untuk
mencerdaskan bangsa tidak semata-mata dilakukan dengan mewajibkan penyediaan
fasilitas untuk menghasilkan peserta didik dengan kemampuan setara dengan
siswa di negara maju.
MK tidak menafikan pentingnya bahasa Inggris, tapi istilah
internasional sangat berpotensi mengikis kebudayaan dan bahasa Indonesia. MK
juga menilai output pendidikan yang dihasilkan ialah siswa berprestasi,
tetapi tidak harus berlabel berstandar internasional. Selain terkait dengan
masalah pembangunan jati diri bangsa, RSBI membuka peluang pembedaan
perlakuan antara sekolah RSBI/SBI dan sekolah non-SBI.
RSBI merupakan cikal bakal SBI, sebuah terobosan dalam
dunia pendidikan di Indonesia yang secara konsep sebenarnya patut mendapat
apresiasi. Sekolah itu menyaring siswa dengan kemampuan di atas rata-rata
agar lebih optimal dalam menyerap pelajaran. Pelaksanaan RSBI itu merupakan
amanat UU No 20/2003.
Dalam Pasal 50 ayat (3) UU 20/2003 itu disebutkan,
pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu
satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi
satuan pendidikan bertaraf internasional.
Awal dibentuknya RSBI bertujuan menjadi tolok ukur
keberhasilan peningkatan level mutu dan kualitas di dunia pendidikan. Namun,
sejauh ini konsep itu melenceng. Bahkan, itu justru menjadi ajang eksploitasi
sekolah untuk menaikkan biaya dengan iming-iming mutu pendidikan dan
pengajaran RSBI. Yang juga menjadi pertanyaan ialah benarkah RSBI mampu
memberikan pendidikan yang memuaskan sehingga para siswa bisa cerdas?
Benarkah RSBI dapat mendongkrak mutu pendidikan Indonesia secara keseluruhan?
Sangat sulit menarik benang merah yang rasional antara
RSBI dan peningkatan mutu pendidikan. Bahkan kalau mau mencermati
implementasi RSBI di lapangan, ia sangat potensial memerosotkan mutu
pendidikan yang sudah ada dan menggerus identitas pendidikan nasional.
Tujuan mewujudkan satuan pendidikan di Indonesia yang
setaraf dengan sekolah-sekolah bagus di negara maju memang amat positif. Namun,
perlu dilihat lebih lanjut, apakah sumber daya pengajar serta fasilitas yang
dimiliki sudah benar-benar memenuhi standar sebuah sekolah yang menawarkan
program bilingual. Kemampuan berbahasa asing ialah salah satu elemen penting
dalam penyelenggaraan sekolah bertaraf internasional. Namun, sayangnya, bahasa
Inggris yang dipakai sebagai bahasa pengantar untuk sebagian pembelajaran di
RSBI bukanlah bahasa kedua (second
languange) di Indonesia, tidak seperti di Malaysia, India, atau Filipina.
Bahkan, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed
Joesoef menentang sistem pembelajaran RSBI dan SBI. Menurut Daoed, sekolah
bertaraf internasional seperti diamanatkan Pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas
menggunakan metode pengajaran dengan menggunakan bahasa asing (Inggris) yang
jelas-jelas melanggar Pasal 36 UUD 1945 yang menyatakan bahasa negara ialah
bahasa Indonesia dan telah mengkhianati semangat Sumpah Pemuda 1928. Ia
khawatir cara pembelajaran yang `khas' internasional di RSBI dan SBI akan berdampak
negatif bagi peserta didik karena anak didik menjadi minder, bermental inlander,
dan hilang kebanggaan nasionalnya, padahal mereka menjadi andalan eksistensi
NKRI di masa depan.
RSBI masih merupakan produk sekolah bersifat `eksperimen'
yang tentu saja tidak selayaknya orang miskin `taklid' terhadap apa yang
dilakukan komunitas elite. Namanya juga produk eksperimen, kelayakan kualitas
output-nya, khususnya proses pembelajarannya, mau ke mana dan dikemanakan
lulusannya, masihlah menjadi pertanyaan besar. Eksistensi RSBI justru menjadi
sebuah pilot project pendidikan yang menggunakan acuan kurikulum dan metode
pembelajaran ala sekolah negara maju, dengan lulusan tetap berkarakter lokal.
Dalam skema proyek pendidikan unggulan, RSBI menyedot
alokasi anggaran yang besar untuk kegiatan yang sesungguhnya lebih bersifat
artifisial, seperti menjalin kerja sama dalam model sister school dan studi
banding. RSBI tidak mampu merumuskan definisi dan aktualisasi definisi
`kualitas' dan standar `internasional' dalam laku pembelajaran agar dapat
meningkatkan kompetensi siswa. Problem artifisial RSBI, yang konon disebut
minimnya guru berijazah S-2, juga terkesan antiakal sehat.
Oleh karenanya, RSBI bukan sebuah jaminan bahwa para siswa
akan mendapatkan pelayanan pendidikan yang berkualitas. Faktor yang mendorong
para siswa dapat dan bisa belajar secara maju bergantung pada inisiatif tiap
pribadi, walaupun lingkungan juga memiliki peran sangat strategis dalam
keberhasilan para siswa kendatipun tidak begitu dominan. Dengan demikian,
mitos RSBI yang dianggap paling hebat dalam mendidik para siswa tidak mesti
diyakini seratus persen.
RSBI juga lebih banyak dimanfaatkan siswa dari keluarga
kaya sehingga dianggap sebagai liberalisasi pendidikan. Beasiswa hanya
disediakan untuk menampung anak-anak sangat cerdas yang jumlahnya tidak
banyak. Liberalisasi pendidikan jelas sangat merugikan rakyat kecil yang
selama ini tidak mendapat hak pendidikan dari negara secara adil dan merata.
Padahal, pendidikan berkualitas seharusnya bisa dinikmati semua. Terlebih
lagi terhadap pendidikan dasar, sepenuhnya harus dibiayai negara sebagaimana
diamanatkan Pasal 31 ayat (2) UUD 1945.
RSBI merupakan kesalahan besar dalam pembangunan
pendidikan nasional dan tidak sejalan dengan pembukaan UUD 1945, yakni
mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan putusan MK yang membatalkan Pasal 50
ayat (3) UU Sisdiknas, eksistensi 1.300-an RSBI di seluruh negeri bubar
karena kehilangan dasar hukumnya. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan harus
melaksanakan putusan MK itu dan harus mematuhi semuanya.
Apalagi, putusan MK itu bersifat final dan mengikat.
Setelah RSBI dibubarkan, kita mendesak Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk segera menjalankan putusan itu
dengan melakukan penataan ulang keberadaan RSBI. Diharapkan, pembubaran RSBI
tidak sekadar namanya, tapi harus dimaknai tidak ada lagi konsep RSBI lain
dan roh diskriminasi dalam dunia pendidikan. Terpenting, Kemendikbud wajib
merevisi regulasiregulasi terkait dengan RSBI serta menyosialisasikan pada
masyarakat terkait dengan putusan itu. Putusan MK juga berimplikasi besar
terhadap masyarakat luas. Secara otomatis akses masyarakat ke sekolah unggul
terbuka lebar karena sekolah itu kembali jadi milik publik, bukan sekolah
milik siapa yang kuat bayar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar