Bisnis
Penerbangan Indonesia Cerah
Arista Atmadjati ; Dosen Aviation Prodi S1 Pariwisata,
Fakultas Ilmu Budaya, UGM
|
SINAR
HARAPAN, 10 Januari 2013
Prediksi pertumbuhan ekonomi tahun 2013 dari pemerintah yang
mencapai 6,8 persen tentunya akan kita sambut utamanya dunia pebisnis
(penerbangan) dengan suka cita.
Walaupun di bisnis penerbangan niaga di
Indonesia sejak satu dasawarsa terakhir ini kenaikannya tiap tahun lonjakan
penumpang udara bisa mencapai angka di atas 15 persen, melebihi pertumbuhan
ekonomi nasional kita sendiri.
Apalagi sejak lahirnya maskapai hemat biaya
(LCC –Low Cost Carrier) pada 2001 yang dipelopori Lion Air hingga saat ini
ada 16 maskapai niaga berjadwal tetap di Indonesia yang melayani perjalanan
rakyat Indonesia ke seluruh penjuru provinsi di Tanah Air.
Dengan jumlah penduduk yang mencapai
sekitar 242 juta orang maka tak pelak jumlah trafik penumpang udara di
Indonesia dalam satu dekade terakhir telah meningkat dengan tajam, bahkan
beberapa analis penerbangan di Tanah Air memperkirakan jumlah penumpang udara
di Indonesia tahun 2015 akan bisa menembus 100 juta orang.
Pasar Daerah dan Nasional
Di pelosok Tanah Air banyak sekali tumbuh
maskapai operator yang kelas komuter seperti Tri Nusa di NTB, Sky Aviation
yang melayani beberapa kabupaten di Kalimantan, namun kurang dikenal di
masyarakat Pulau Jawa.
Kita baru jengah manakala ada beberapa
pesawat Susi Air yang mengalami kecelakaan di Papua belakangan ini dan yang
lebih mengagetkan pesawat turbo propeller itu dipiloti warga negara asing.
Di saat itulah kita baru menyadari kalau
potensi trafik udara di Indonesia saat ini sungguh luar biasa besar, bahkan
pilot-pilot dari Eropa dan Selandia Baru mau bergabung dengan maskapai Susi
Air untuk mencari rezeki di langit Papua, karena pilot asli Indonesia rupanya
lebih memilih gengsi menjadi pilot pesawat bermesin full jet dan maskapai
besar di Indonesia.
Saat ini di Indonesia tenaga pilot sangat
kurang, setiap tahun defisit sekitar 300 pilot baru. Kebutuhan pilot baru 500
orang per tahun, namun produksi dari semua sekolah pilot di Indonesia hanya
mampu “memproduksi” hanya 150 pilot baru.
Otomatis kekurangan pilot baru ini banyak
diisi oleh pilot-pilot asing. Dengan jumlah armada pesawat komersial di
Indonesia sekitar 1.200 pesawat komersial berjadwal dan carter dengan
mengangkut penumpang 62 juta dengan uang yang berputar hanya Rp 7 triliun per
tahun belumlah menunjukkan kekuatan ekonomi kita di bisnis penerbangan.
Sebagai gambaran, Singapura dengan jumlah
penduduk hanya sekitar 5 juta orang, bisa mendapatkan jumlah penumpangnya 10
juta per tahun. Amerika dengan jumlah penduduk 300 jutaan mempunyai armada
3.000 pesawat komersial, Australia dengan penduduk 23 juta, jumlah penumpang
yang diangkut per tahun mencapai 71 juta.
Rasio antara jumlah penumpang dengan
seringnya jumlah penduduk yang terbang per tahun –rata-rata setiap penduduk
akan terbang minimal dua kali setahun. Jadi, idealnya Indonesia dengan jumlah
penduduk 242 juta harusnya jumlah pesawat yang tersedia mencapai 2.000 armada
dengan jumlah penumpang setahun bisa mencapai 500 juta, apalagi mengingat
negara kita adalah negara kepulauan yang memerlukan mobilitas dengan
kecepatan yang hebat di era modern saat kini.
Prediksi jumlah penumpang pada 2015 akan
menembus 100 juta setahun adalah angka yang menurut analisis saya akan dengan
mudah bisa ditembus oleh pebisnis penerbangan niaga di Indonesia. Apalagi
saat ini beberapa maskapai sangat gencar akan menambah armada barunya secara
masif, seperti Lion Air yang telah memesan 230 pesawat baru Boeing 737-900
MAX, Citilink Garuda Indonesia LCC-nya maskapai Garuda juga memesan sekitar
15 Airbus 320.
Seakan tidak kalah, Kartika Airline juga
memesan pesawat komersial keluaran pabrikan Sukhoi Rusia sebanyak 25 pesawat,
belum lagi anak Lion air -Wing Air- juga lebih memilih pesawat turbo
propeller bikinan Prancis ATR 72-700 dan 500 guna menghubungkan kota-kota
kabupaten di Pulau Sumatera dan Sulawesi.
Garuda Indonesia saat ini juga sedang
memilih pilihan armada seater 100 pesawat pabrikan Bombardier CRJ 1000 Kanada
untuk melayani penerbangan feeder-nya. Sriwijaya Air juga tak mau kalah
–malah sudah memesan 15 pesawat baru dari Embrarer, Brasil.
Tak pelak, pabrikan pesawat kelas dunia
untuk small jet seperti Bombardier CRJ 1000 Kanada dan Embrarer E 90 Brasil
pada Agustus 2011 mendatangkan pesawat barunya ke Jakarta untuk melakukan
demo flight ditumpangi dan dicoba oleh karyawan beberapa maskapai itu dan para
CEO operator di Indonesia.
Perusahaan pesawat raksasa dunia Boeing pun
tak segan mengadakan off air seminar short course untuk para staf operator di
Indonesia berkaitan dengan pengayaan perihal prospek bisnis ke masa depannya
di wilayah Asia Pasifik.
Ini semua menunjukkan betapa langit di
Indonesia memang memiliki potensi finansial yang maha dahsyat. Chairman IATA
Mr Tony Tyler pun waktu berkunjung ke Jakarta memprediksi perkembangan market
penerbangan niaga di Asia Pasifik tahun ke depan yang paling besar adalah di
China, India, dan Indonesia. Tak heran sampai dengan 2020 di Indonesia akan
tetap memerlukan SDM baru 2 juta di bidang penerbangan mulai dari pilot,
pramugari, staf mekanik, staf reservasi, staf ticketing, dan karyawan di
bandara di seluruh Indonesia.
Perkembangan pertumbuhan bisnis penerbangan
di Indonesia yang akan tumbuh sangat cepat bukannya tanpa kendala.
Masih banyak tugas yang harus dilakukan
otoritas penerbangan di Indonesia, misal saja operating hours (jam kerja) di
bandara di luar Jawa masih sangat terbatas, hampir semuanya tidak mungkin
dilakukan night flight karena masalah yang klasik seperti kekurangan SDM yang
ada, minimalnya fasilitas di bandara-bandara luar Jawa seperti fasilitas ILS
– Instrument Landing System yang diperlukan untuk penerbangan malam hari di
bandara-bandara tersebut.
Ini sungguh sebuah pekerjaan rumah besar
bagi kita untuk mengoptimalkan pasar potensi bisnis penerbangan di Indonesia.
Faktor Keselamatan
Hal yang perlu diperhatikan dengan semakin
meningkat pesatnya pertumbuhan bisnis penerbangan di Indonesia adalah harus
selalu dijaganya unsur safety, apalagi beberapa bulan terakhir ini cukup
banyak operator dan beberapa pesawat latih sekolah pilot mengalami kecelakaan
fatal.
Sungguh mengejutkan juga, bandara sekaliber
Soekarno-Hatta ternyata mempunyai masalah besar dengan tuanya usia radar
serta tenaga ATC yang minim untuk mengatur lalu lintas penerbangan yang
datang dan pergi.
Anda bisa bayangkan minimnya fasilitas di
bandara-bandara misalnya di Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Sungguh sebuah
ironi besar di tengah geliat dan potensi market bisnis penerbangan di
Indonesia yang sangat prospektif, namun tidak dibarengi pembangunan
infrastruktur pendukung utamanya yakni bandara penerbangan yang memenuhi
standar internasional (standar ICAO).
Semoga “PR” besar tersebut bisa segera
dicari jalan keluarnya, bahkan tidak menutup peluang mengundang investor dari
luar untuk segera membenahi fasilitas kebandaraan sehingga potensi market
bisnis penerbangan di Indonesia akan terwujud dalam waktu tidak lama lagi,
tentu dengan tetap mengutamakan faktor kenyamanan dan keselamatan penerbangan
itu sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar