Senin, 21 Januari 2013

Sekolah Sederhana Ajarkan Kesederhanaan


Sekolah Sederhana Ajarkan Kesederhanaan
Ahmad Baedowi ;  Direktur Pendidikan Yayasan Sukma Jakarta
MEDIA INDONESIA, 21 Januari 2013



'PAK, saya merasa lega sekarang dengan keluarnya putusan MK soal RSBI. Itu artinya sekolah kita akan terlepas dari belenggu label dan tuntutan sebagai sekolah internasional’. Demikian bunyi short message service (SMS) salah seorang kepala sekolah kepada saya. Saya balas, ‘Sejak kapan label membelenggu sekolah kita? Rasanya dengan atau tanpa label internasional pun sekolah kita tetap jalan di atas prinsip dan visi yang jelas dan terukur’. Dia pun menjawab cerdas, ‘Benar kata Bapak, sejak lama sekolah kita memang berjalan di atas kesederhanaan berpikir seperti sering Bapak ajarkan ke kami. Thanks, Pak’, imbuhnya mengakhiri dialog melalui SMS.

Penggalan dialog tersebut ingin menggambarkan tidak semua sekolah sesungguhnya senang dengan label internasional yang mereka sandang. Hanya karena kebijakan berkata lain, beberapa sekolah negeri dan swasta rela dan bersedia menyandang label internasional tanpa menghitung risiko psikologis dan pedagogis yang harus ditanggung guru dan manajemen sekolah. Karena itu, keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengharuskan Kemendikbud menghapus program RSBI dan SBI ditanggapi beragam, baik yang setuju maupun tidak setuju. Satu hal yang pasti ialah label tertentu terhadap sekolah sangat bergantung pada bagaimana sekolah memaknai sebutan tersebut dengan rumusan visi sekolah yang sehat.

Saya teringat pada penyebutan kata ‘unggulan’ ketika memulai operasional sekolah Sukma Bangsa di Aceh. Para pengurus Yayasan Sukma ketika itu memanjangkan kata Sukma menjadi ‘sekolah unggulan kemanusiaan’. Namun saya berdalih, kata unggulan jelas akan membebani pihak sekolah karena kita belum tahu bagaimana visi dan misi sekolah disepakati, assessment for learning dilakukan, kurikulum dikembangkan, dan proses belajar-mengajar dijalankan. Karena itu, akhirnya kita sepakat untuk membiarkan kata ‘Sukma’ kembali ke habitat awalnya, yaitu roh atau spirit yang akan mewadahi setiap gerak dan langkah sekolah.

Dari semangat itulah kemudian sekolah Sukma Bangsa memilih untuk menjadi sekolah biasa, sekolah yang akan mengajarkan kesederhanaan tentang hidup dan berpikir (plain living, plain thinking). Hal itu tergambar dengan jelas dari visi-misi yang disepakati, yaitu keinginan untuk membuat sekolah menjadi tempat yang nyaman dan aman bagi seluruh komunitas sekolah, hubungan antarsiswa dengan siswa berlangsung harmonis, siswa dengan guru saling menghargai, serta guru dengan manajemen sekolah saling menghormati dan saling percaya.

Tak mudah memang meyakinkan semua pihak bahwa sekolah haruslah menjadi fundamen yang kukuh tentang sikap jujur, toleran, dan saling menghargai sebagai penanda kesederhanaan. Sebagai sebuah pilihan, kesederhanaan dalam berpikir akan menuntun setiap guru dan siswa untuk berpikir hal yang sama, yaitu mencari lembarlembar kesederhanaan secara bersama dan melakukan kesepakatan untuk secara konsisten melaksanakannya. Dalam terminologi Rick Weissbourd, “Most adults, including most teachers, don't see themselves as engaged in their own moral growth.“ Karena itu, memberi teladan dan membiasakan hal-hal kecil yang sederhana seperti mengucapkan terima kasih kepada siswa dalam setiap akhir sesi belajar merupakan cara untuk meneguhkan karakter anak melalui pembiasaan.

Sekolah yang memiliki distingsi dan kesadaran luas tentang pendidikan pasti tak akan terpengaruh oleh status dan label tertentu. Jika komunitas sekolah memiliki keinginan kuat untuk memberi contoh dan teladan yang baik, muara dari pendidikan agama, moral, dan etika di sekolah pasti akan menjelma menjadi semacam virtue (kebajikan) dalam diri seorang anak. Filsafat pendidikan Aristotelian (1995) dengan jelas mengonfi rmasi, “The most important thing to be learned is virtue or excellence of character, and the only way that this can be learned is by witnessing exemplary members of one’s community as they enact the virtues.” Karena itu, kita semua bertugas untuk memastikan, separah apa pun kondisi sosial masyarakat dan negara, pendidikan harus memiliki cara yang benar dalam mentransfer virtue ke dalam relung hati anak didik kita.

Penting bagi sekolah untuk mempraktikkan hal-hal kecil dan sederhana seperti mengucapkan kata maaf, terima kasih, dan minta tolong, agar tercipta situasi saling menghargai (respect) satu sama lain. Untuk mengukur tingkat kesederhanaan sekolah, lihatlah bagaimana sekolah menciptakan level of responsibility. Jika di sebuah sekolah banyak sekali kasus bulliying, praktik kekerasan, dan sejenisnya, dapat dipastikan sekolah tersebut berada pada level nol karena tak ada perilaku bertanggung jawab. Situasi sekolah tidak sehat karena di antara guru, siswa, dan orangtua begitu banyak beredar rumor tentang kejelekan seseorang dan saling mengganggu satu sama lain.

Sebuah sekolah berada di level 1 menandakan level of responsibility hanya dilakukan sebagian kecil komunitas sekolah. Di level 2, sekolah telah mencoba melakukan praktik bertanggung jawab, tetapi selalu dalam posisi high alert karena baik siswa maupun guru baru melakukannya jika diingatkan saja. Pada situasi tersebut, baik keteladanan maupun praktik saling menghargai baru dirasa ada jika, misalnya, kepala sekolah atau guru secara berulang kali selalu mengingatkan.

Sekolah dengan karakter yang baik berada di level 3 dan 4. Di level 3 telah muncul kesadaran untuk bertanggung jawab dari sebagian besar komunitas sekolah dan praktik saling menghargai serta menghormati tecermin pada hampir seluruh siswa dan guru. Di level 4, suasana sekolah tidak hanya lebih nyaman dan aman--setiap siswa dan guru secara sadar selalu dalam posisi saling menghargai (respect) dan bertanggung jawab (responsible) pada kewajiban masingmasing--tetapi juga tampak kerukunan dan kekompakan untuk selalu saling membantu satu sama lain (help others). Terserah kita, mau pilih sekolah internasional atau sekolah sederhana? ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar