RSBI, Kasta
dalam Pendidikan
Amich Alhumami ; Antropolog,
Penekun kajian
pendidikan PhD dari University of Sussex, UK
|
MEDIA
INDONESIA, 21 Januari 2013
MAHKAMAH Konstitusi (MK) akhirnya memutuskan
bahwa keberadaan rintisan sekolah bertaraf internasional dan sekolah bertaraf
internasional (RSBI/SBI) bertentangan dengan konstitusi sehingga tidak lagi
punya basis legal untuk terus beroperasi. MK mengabulkan gugatan sekelompok
warga negara yang mengajukan judicial review dan membatalkan Pasal 50 UU No
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), yang menjadi
landasan hukum pemerintah dalam membentuk atau mendirikan RSBI/SBI. Kebijakan
pemerintah dalam membangun RSBI/ SBI merujuk pada amanat UU No 20 Tahun 2003
Pasal 50 ayat 3, yang menegaskan bahwa ‘Pemerintah dan/atau pemerintah daerah
menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang
pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf
internasional’.
Selaku penekun kajian pendidikan, saya--juga
banyak pihak yang lain--tidak menemukan alasan yang masuk akal dan
pertimbangan yang logis mengapa diktum yang tertuang dalam Pasal 50 tersebut
bisa diakomodasi di dalam UU Sisdiknas. Pendirian RSBI/SBI sesungguhnya lebih
menggambarkan obsesi berlebihan untuk membangun sekolah berorientasi
internasional tanpa melihat situasi dan kondisi nyata masyarakat Indonesia
sendiri. Pemerintah memang memikul tanggung jawab besar untuk memberikan
layanan pendidikan yang berkualitas dan dapat diakses oleh seluruh lapisan
masyarakat tanpa membedakan latar belakang sosial-ekonomi-budaya, bahkan
orientasi ideologi politik setiap warga negara. Dalam hal ini, keputusan MK
sejatinya merefleksikan aspirasi masyarakat yang melihat ada tendensi
perlakuan tidak adil pemerintah terhadap masyarakat dalam memberikan layanan
pendidikan melalui penyelenggaraan RSBI/SBI. Sebab, penyelenggaraan RSBI/ SBI
dalam kenyataannya telah membatasi peluang kelompok masyarakat berkemampuan
ekonomi lemah untuk dapat mengakses layanan pendidikan bermutu.
Berbagai kalangan, mulai dari ahli dan
praktisi pendidikan sampai orangtua murid dan masyarakat umum, telah
melancarkan kritik terhadap penyelenggaraan RSBI. Argumen yang kerap mengemuka
dalam perdebatan publik dapat diringkas dalam rumusan kritis: dengan
mengembangkan RSBI, pemerintah telah menciptakan kasta dalam pendidikan, yang
menimbulkan praktik diskriminasi dalam layanan pendidikan.
Pangkal kritik
masyarakat ialah layanan pendidikan melalui RSBI memerlukan biaya sangat
mahal sehingga tidak semua kelompok masyarakat dapat menjangkaunya. RSBI
dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk unaffordable
education service. Dengan demikian, kebijakan RSBI dinilai telah
mengingkari prinsip paling elementer dalam memberikan layanan pendidikan,
yaitu pemerataan (equity). Simak
doktrin umum dalam kebijakan publik terkait layanan pendidikan, `one of the basic tenets of education
service is equity; this principle asserts that educa tion should be
accessible for everyone regardless of his/ her social, cultural, and economic
backgrounds'.
Akses Terbatas
Dalam konteks kebijakan publik, dana publik
yang dihimpun melalui pajak harus didistribusikan untuk kepentingan umum
sehingga basic social services
dapat dinikmati semua kelompok masyarakat. Pelayanan publik, termasuk
pendidikan, yang didanai melalui pajak harus memberikan manfaat bagi seluruh
lapisan sosial di masyarakat dan demi mencapai kemaslahatan bersama (al-mashlah al-ammah, the common good).
Namun, fakta menunjukkan hanya kalangan berpunyalah yang dapat menikmati
pendidikan bermutu melalui RSBI. Masyarakat yang tidak punya kemampuan
finansial memadai terhalang untuk dapat mengakses sekolah de ngan sarana dan
prasarana serta fasilitas pendidikan lengkap.
Dengan dana publik, pemerintah berinvestasi
untuk RSBI sebagai public school.
Namun, tidak semua warga negara bisa memperoleh manfaat dari sekolah model yang menjadi unggulan ini. Maka, keberadaan RSBI memunculkan pertanyaan sangat fundamental: basis moral apakah yang mendasari pemerintah dalam mengalokasikan dana publik, untuk menyelenggarakan suatu sekolah yang secara praktis menciptakan limitasi bagi warga negara untuk mengaksesnya? Apakah secara moral absah dan secara etika dapat diterima bila dana publik dibelanjakan untuk memberi layanan pendidikan yang bertendensi menciptakan social exclusion?
Pendidikan berkualitas memang mahal dan
keluarga-keluarga kaya bisa saja memperoleh layanan pendidikan sesuai dengan
standar mutu yang mereka idamkan. Jika layanan pendidikan berkualitas
tersedia di pasar yang ditawarkan sektor swasta, keluarga-keluarga
kaya--dengan uang mereka sendiri--sepenuhnya berhak untuk `membeli' layanan
pendidikan bermutu yang mahal tersebut.
Namun, bila RSBI yang berlabel public school, yang beroperasi dengan
menggunakan dana APBN, dan yang menikmati adalah siswa-siswa dari keluarga
kaya, pemerintah selaku pembuat kebijakan publik -sadar atau tidak sadar telah
melanggar prinsip public morality
dalam membelanjakan dana publik yang bersumber dari pajak. Perspektif
keadilan dalam memberikan pendidikan bagi seluruh warga negara inilah yang
proses pembuatan kebijakan publik sehingga memunculkan gugatan
masyarakat terhadap penyelenggaraan RSBI.
Bila model layanan
pendidikan melalui RSBI diteruskan, pendidikan dikhawatirkan tidak lagi bisa
menjadi sarana untuk memutus mata rantai
kemiskinan. Dengan
mengutip ahli sosiologi Inggris yang amat terpandang, Anthony Giddens, dalam
salah satu karya masterpiece-nya, The Constitution of Society (1986),
pendidikan dalam batas-batas tertentu justru menjadi instrumen
untuk melanggengkan ketimpangan
struktural dan mengekalkan ketidakadilan
sosial di masyarakat.
Untuk melengkapi rangkaian
argumen tersebut, di sini perlu pula disajikan hasil kajian terhadap RSBI
yang didasarkan pada observasi lapangan.
Tidak Memenuhi
Menurut hasil studi
berpayung The Education Sector Analytical and Capacity Development Partnership
(ACDP) November 2012, sampai saat ini telah dibangun sebanyak 1.339 unit
RSBI untuk semua jenjang pendidikan (SD, SMP,
SMA/SMK) di seluruh
Indonesia. RSBI sebagian besar (57%) terkonsentrasi di Jawa. Dari angka itu,
19% tersebar di berbagai wilayah, yakni Aceh, Bali, Sumsel, Sumbar, Sulsel, dan
Kaltim, dan sebanyak 24% berada di provinsi-provinsi yang lain. Dari jumlah
tersebut, sebanyak 14% berlokasi di kota-kota besar, 30% di kota-kota kecil,
dan 56% berada di kabupaten.
Namun, dari 1.339 RSBI
yang ada, tidak ada satu pun yang mampu memenuhi standar untuk dapat disebut
sekolah bertaraf internasional. Kriteria pemenuhan standar yang paling sulit
dicapai ialah (i) penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam pembelajaran,
(ii) akreditasi internasional, (iii) adopsi
kurikulum dari
negara-negara OECD dan negara maju lainnya, (iv) 20% guru harus berkualifikasi
S-2/S-3, dan (v) menyediakan kuota sebanyak 20% untuk siswa-siswa dari
keluarga tidak mampu.
Hasil studi ACDP 2012 juga menunjukkan RSBI
pada umumnya hanya diakses siswa yang berasal dari keluarga kaya, mengingat
88% dari mereka berlatar belakang ekonomi menengah ke atas. Hal itu tecermin
pula pada kontribusi orangtua murid yang mencapai 68% dari total pembiayaan.
Meskipun ada keharusan untuk mengakomodasi masyarakat berkemampuan ekonomi
lemah, fakta menunjukkan RSBI sangat sulit memenuhi kuota minimal 20% bagi
anak-anak yang berasal dari keluarga miskin.
Berdasarkan perhitungan satuan biaya, RSBI
membutuhkan anggaran empat kali lipat daripada non-RSBI (Rp4,5 juta
berbanding Rp1,05 juta per siswa per tahun). Jika dilihat dari sisi cost-effectiveness, pembiayaan RSBI
dinilai sangat tidak efektif mengingat dengan biaya empat kali lebih mahal,
hasil yang dicapai tidak lebih baik apabila dibandingkan dengan
sekolahsekolah reguler.
Dengan keseluruhan bangunan argumen tadi,
dapat dikatakan bahwa RSBI sejatinya salah konsep. Pemerintah memendam
imajinasi tinggi mengenai pendidikan berkualitas, yang diterjemahkan menjadi
bertaraf internasional: pengajaran berbahasa Inggris, guru-guru
berkualifikasi master/doktor, mengadopsi kurikulum negara-negara OECD, dan
mendapat akreditasi internasional.
Semua persyaratan muluk yang dibuat ini sudah
pasti di luar kapasitas sekolah untuk dapat memenuhinya. Namun, yang jauh
lebih fundamental ialah RSBI secara faktual telah menciptakan segregasi
sosial dalam masyarakat. Melalui RSBI, pemerintah--sengaja atau tak
sengaja--telah mempertajam social
cleavages berdasarkan status ekonomi masyarakat--sesuatu yang
bertentangan dengan public virtues
dalam penyelenggaraan pendidikan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar