Banjir Sebagai
Bencana Struktural
Mohamad Nabil ; Pengamat Sosial
|
KORAN
TEMPO, 21 Januari 2013
Dibutuhkan
langkah radikal untuk mencari penyelesaian masalah banjir. Tapi, jika
jawabannya didasari pada uraian di atas, kita akan berkesimpulan bahwa bencana
struktural yang terjadi akhir-akhir ini akibat dari pembangunan yang hanya
memprioritaskan pertumbuhan ekonomi semata, dan kurang memperhatikan
investasi sosial, lingkungan, budaya, serta ongkos sosial yang akan
ditimbulkan.
Jakarta dikepung banjir! Begitulah sejumlah
media dan masyarakat menggambarkan situasi belakangan ini. Bukan hanya
tempat-tempat langganan banjir yang menjadi sasaran, misalnya Kampung Melayu,
tapi wilayah-wilayah strategis lainnya, seperti Bundaran Hotel Indonesia dan
Istana Negara, juga tak luput dari sapaan banjir. Kali ini, Jakarta
benar-benar dikepung banjir dari seluruh penjuru: timur-barat, selatan-utara,
dan pusat.
Namun, banjir yang mengepung Jakarta dan
sekitarnya belakangan ini sering kali disebut sebagai bencana alam oleh
pemerintah dan sebagian masyarakat. Anggapan seperti itu sepertinya perlu
diluruskan, karena fenomena banjir bukanlah bencana alam, melainkan
"bencana struktural". Disebut bencana struktural karena banjir
bukanlah bencana yang dikehendaki oleh alam itu sendiri (seperti gempa bumi,
tsunami, dan gunung meletus), melainkan bencana yang disebabkan oleh ulah
pemegang struktur kekuasaan yang ada di Jakarta dan sekitar.
Banjir di Jakarta sama sekali tidak tepat
jika disebut sebagai bencana alam, setidaknya karena dua pendapat. Pertama,
dari sisi istilah. Kata "bencana alam", sebagaimana dijelaskan
dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (Em Zul Fajri & Ratu Aprilia Senja,
2001), dimaknai sebagai musibah yang ditimbulkan oleh gejala alam. Dalam kamus
tersebut dicontohkan bahwa yang termasuk dalam musibah yang ditimbulkan oleh
gejala alam itu antara lain gempa bumi dan angin puyuh. Jika dianalisis lebih
jauh, bencana gempa bumi dan angin puyuh sama sekali tidak ada kaitannya
dengan struktur atau tingkah laku manusia (yang berada dalam struktur
kekuasaan) yang tidak bersahabat dengan alam, melainkan murni bencana yang
betul-betul dikehendaki oleh alam itu sendiri. Karena itu, gempa bumi dan
angin puyuh bisa dikategorikan sebagai bencana alam. Berbeda dengan banjir, yang
kehadirannya tidak murni kehendak alam, melainkan dikehendaki oleh
manusia-manusia yang berada (atau ada hubungan dengan) dalam struktur
kekuasaan.
Kedua, banjir di Jakarta merupakan hasil
dari perselingkuhan di antara berbagai elemen yang berada dalam struktur
kekuasaan, mulai pihak swasta (sebagai pengembang), pemerintah daerah
(sebagai pemilik otoritas di daerah), hingga pemerintah pusat (sebagai
pemilik otoritas secara keseluruhan), untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi
di beberapa wilayah strategis--dalam hal ini--di Puncak, Bogor (sebagai
pengirim banjir). Untuk itu, di Puncak dibuatlah lahan bisnis dalam skala
besar, seperti apartemen mewah, real estate, kawasan agrowisata, sport center
kelas atas (seperti lapangan golf dan sirkuit sepeda motor atau mobil), dan
pusat perbelanjaan.
Fatalnya, upaya untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi di beberapa wilayah strategis seperti di Puncak tidak
diikuti dengan keseimbangan fungsi wilayah tersebut yang tak hanya berfungsi
sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi, tapi juga punya fungsi sosial, budaya,
dan tradisi-tradisi lokal lainnya. Karena fungsi ekonomi saja yang menjadi
prioritas, dan fungsi-fungsi lainnya kurang diperhitungkan--untuk tidak
mengatakan diabaikan--maka terjadilah banjir yang mengepung Jakarta dan
sekitarnya.
Karena itu, banjir yang melanda Jakarta dan
sekitarnya sama sekali tidak tepat jika disebut sebagai bencana alam, tapi
lebih tepat disebut sebagai "bencana struktural", karena keberadaan
banjir bukan hanya semata-mata kehendak Tuhan dan alam, tapi juga merupakan
hasil dari kerja-kerja struktural yang sistematis.
Banjir yang melanda Jakarta dan sekitarnya
bermula dari sebuah cerita bahwa salah satu aset negara yang menjadi
penggerak utama pertumbuhan ekonomi sejak 1980-an hingga akhir-akhir ini
adalah tempat-tempat strategis. Sebagaimana kita ketahui bersama, untuk
menjadikan tempat-tempat strategis ini sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi,
maka harus terlebih dulu mengalami ekonomisasi dan komersialisasi. Dan, ada
anggapan bahwa proses ekonomisasi dan komersialisasi tidak akan berjalan
cepat jika hanya diperankan oleh negara (pemerintah), dan tidak melibatkan
sektor swasta. Karena itu, dengan alasan mempercepat laju pertumbuhan ekonomi
dalam skala besar, pemerintah tidak hanya merasa perlu melibatkan pihak
swasta sebagai pengembang (developer)
semata, tapi juga merasa memiliki alasan kuat memberi hak kepada pihak swasta
untuk membisniskan tempat-tempat strategis, agar infrastruktur-infrastruktur
publik yang dibangun di tempat tersebut bisa mendatangkan keuntungan.
Dalam konteks ini, yang dijadikan pusat
ekonomisasi dan komersialisasi untuk mendorong laju pertumbuhan ekonomi yang
melibatkan swasta adalah wilayah-wilayah strategis seperti Puncak, Bogor.
Puncak, di samping wilayah ini dekat dengan Ibu Kota Jakarta, juga punya
keistimewaan tersendiri, khususnya suasana alamnya yang begitu unik dan
indah. Keunikan dan keindahan alam yang dimiliki Puncak ini kemudian
dijadikan modal oleh pemerintah (dan tentu juga pihak swasta) untuk membangun
infrastruktur dan fasilitas-fasilitas publik lainnya yang kira-kira bisa
mendatangkan keuntungan. Kerja sama antara pemerintah dan pihak swasta ini
kemudian melahirkan infrastruktur dan fasilitas-fasilitas umum yang punya
makna strategis bagi masyarakat, terutama kelas menengah ke atas. Karena yang
menjadi prioritas adalah kelas menengah ke atas, infrastruktur dan
fasilitas-fasilitasnya pun tentu bukan pasar tradisional atau vila yang
terbuat dari kayu, melainkan hotel serta apartemen mewah, jalan tol, real
estate, kawasan agrowisata, sport center kelas atas (seperti lapangan golf
dan sirkuit sepeda motor atau mobil), dan pusat perbelanjaan.
Pembangunan infrastruktur dan
fasilitas-fasilitas mewah itu tentu membutuhkan lahan yang luas, dan pada
gilirannya kayu-kayu besar di hutan Puncaklah yang menjadi korban. Setelah
itu, apartemen, hotel-hotel mewah, shopping center, sport center, dan
kota-kota baru berdiri pongah di atas sebuah bukit di Puncak, menghalangi air
hujan meresap ke bumi, dan kemudian mengirimkan banjir yang dahsyat ke Ibu
kota Jakarta dan sekitarnya. Terlebih lagi situasi di Jakarta justru lebih
parah, gedung-gedung pencakar langit tumbuh seperti jamur pada musim hujan,
tak ada ruang terbuka untuk serapan air, dan sungainya pun kewalahan menyalurkan
air ke laut. Akhirnya, Jakarta dikepung banjir dari seluruh penjuru, dan
bahkan hampir tenggelam.
Dibutuhkan
langkah radikal untuk mencari penyelesaian masalah banjir. Tapi, jika
jawabannya didasari pada uraian di atas, kita akan berkesimpulan bahwa
bencana struktural yang terjadi akhir-akhir ini akibat dari pembangunan yang
hanya memprioritaskan pertumbuhan ekonomi semata, dan kurang memperhatikan
investasi sosial, lingkungan, budaya, serta ongkos sosial yang akan
ditimbulkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar