Sabtu, 19 Januari 2013

Ironi Kebijakan Ketenagalistrikan


Ironi Kebijakan Ketenagalistrikan
Tulus Abadi ;  Anggota Pengurus Harian YLKI
MEDIA INDONESIA, 19 Januari 2013

  

LISTRIK untuk kehidupan yang lebih baik. Begitu jargon yang sering diusung PT PLN. Pada konteks ekonomi, bahkan sosiologis, jargon itu sungguh tepat. Tanpa listrik seolah aktivitas masyarakat, apalagi aktivitas ekonomi (nyaris) lumpuh. Pada level tertentu, sebagai konsumen, listrik menjadi indikator kemakmuran, sedangkan pada konteks makroekonomi, ener gi listrik sebagai jantung penggerak roda ekonomi.  

Namun, tampaknya potret ketenagalistrikan di Indonesia masih terlihat suram, masih dibelit berbagai persoalan serius, baik pada konteks pelayanan pada konsumen (sisi hilir) maupun persoalan makro (sistemis). Dari sisi hilir, kendati ada upaya peningkatan, toh belum mampu mewujudkan pelayanan yang andal (prima). Terbukti, keluhan konsumen listrik di YLKI (2012) masih bertengger pada rangking 4, dari 632 pengaduan.

Di sisi yang lain, masih pada sisi hilir, kebijakan penarifan sampai detik ini masih menyisakan persoalan, yakni antara biaya pokok penyediaan (BPP) dan harga jual kepada konsumen, masih jomplang. Pascapenaikan tarif per 1 Januari 2013, BPP-nya pun masih Rp1.352 per kwh, tetapi konsumen membeli dengan harga Rp813 per kwh. Kondisi itu diperparah skema penaikan TTL (tarif tenaga listrik) yang terlihat sangat politis. Hal itu ditandai 1.300 volt-ampare (VA) ke atas, yang dinaikkan tarifnya.

Politis sebab penyakit krusialnya justru terletak di tipe 450-900 VA; yang jumlahnya mencapai lebih dari 80% dan menyedot 51% subsidi. Golongan 1.300 VA tidak terlalu tepat jika diklaim sebagai golongan mampu sebab sebagian dari golongan 1.300 VA ialah migrasi dari 450-900 VA. Terpaksa mereka menggunakan 1.300 VA karena manajemen PT PLN (atas tekanan pemerintah) tidak melayani lagi akses 450-900 VA. 
Andaikan DPR bisa bertindak lebih rasional (bukan politis), misalnya golongan 450-900 VA dinaikkan 5% saja, tagihan listrik mereka hanya akan naik maksimal Rp1.500-Rp3.000 per bulan. Lebih besar mana jika dibandingkan dengan konsumsi rokok mereka, yang rata-rata satu bungkus per hari?

Lalu, pada konteks hulu, juga bermasalah. Benar, pada 2013, persentase penggunaan BBM pada pembangkit PT PLN menurun, yakni hanya 9,70%. Itu pencapaian yang signifikan sebab pada 2012 konsumsi BBM-nya masih bertengger pada 13,83%. Namun, secara fi nansial angka 9,70% membetot biaya operasional sebanyak 21%. Sharing komposisi penggunaan BBG juga cukup bagus, yakni sebesar 22,12%. Yang paling dominan ialah penggunaan batu bara, 56,66%. Namun, persoalan pasokan gas (dan batu bara) sering menyerimpung. kinerja PT PLN. 

Manajemen PT PLN acap kesulitan mendapatkan gas di pasaran. Konon PGN juga sering melakukan wanprestasi (dan ironisnya tanpa sanksi) dalam memasok ke pembangkit PT PLN. Apalagi faktanya pasokan gas lebih banyak diekspor (lebih dari 50%). Demikian juga dengan batu bara, terutama yang berkalori tinggi.

Ironi sektor ketenagalistrikan harus segera diakhiri dan diselamatkan, baik pada konteks hilir maupun konteks hulu. Skema penaikan TTL jangan lagi mendasarkan pada kepentingan politis (jangka pendek). Alokasi subsidi listrik seharusnya difokuskan untuk mempercepat rasio elektrifikasi, yang hingga kini baru mencapai 72%. Kalaupun toh golongan 450-900 VA tidak ingin dinaikkan, bisa digunakan penjatahan maksimal pemakaian kwh. Misalnya 42 kwh per bulan (pemakaian rata-rata nasional). Cara seperti itu, selain berfungsi menekan subsidi, sekaligus mengedukasi masyarakat agar hemat listrik.

Sejalan dengan itu, upaya manajemen PT PLN meningkatkan pelayanan layak diapresiasi. Termasuk dalam upaya menekan praktik korupsi, baik dari sisi pengadaan barang dan atau sisi pelayanan pelanggan. Upaya tersebut nampaknya membuahkan hasil, jika dilihat dari peringkat Doing Bussiness PT PLN versi Bank Dunia. Pada 2012 Doing Bussiness PT PLN menduduki rangking 130 maka pada 2013 naik dua peringkat menjadi 128. Itu terjadi karena manajemen PT PLN melakukan beberapa terobosan di bidang pelayanan, khususnya kemudahan akses sambung baru, tambah daya, dan revitalisasi call center 123. Masyarakat bisa melakukan akses sambung baru dan tambah daya via internet dan kantor pos terdekat. Di sektor hulu, pemerintah harus lebih konsisten mendorong pasokan gas untuk pembangkit PLN.

Upaya manajemen PT PLN untuk meningkatkan performa pelayanan kepada konsumen tidak akan pernah tercapai dengan optimal jika persoalan inti di bidang ketenagalistrikan tidak pernah diselesaikan secara tuntas, baik pada konteks hilir (penarifan) maupun pada konteks hulu. Namun, manajemen PT PLN tak boleh berhenti melakukan improvisasi pelayanan pada konsumen.

Politisasi kebijakan penarifan harus segera diakhiri. Kebijakan energi primer (terutama gas) harus didedikasikan untuk keperluan dalam negeri, khususnya untuk pembangkit PT PLN. Jangan lagi ada kisah pembangkit gas milik PT PLN collapse, hanya karena nihil pasokan gas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar