Selasa, 08 Januari 2013

Potret Pengaduan Konsumen 2012


Potret Pengaduan Konsumen 2012
Tulus Abadi ;  Anggota Pengurus Harian
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI)
KORAN TEMPO,  08 Januari 2013
  

Pengaduan perihal telekomunikasi masih berkutat soal fenomena penipuan via SMS dan penyedotan pulsa Internet. Ini mencerminkan regulator telekomunikasi, seperti Badan Regulator Telekomunikasi Indonesia (BRTI) dan Kementerian Komunikasi dan Informatika, belum secara optimal menjalankan fungsinya untuk mengawasi kinerja operator telekomunikasi.
Mengeluh dan mengadu adalah hak normatif konsumen yang sangat kuat karena dijamin Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Sebaliknya, pelaku usaha dan pemerintah wajib mendengarkan, merespons, dan menindaklanjuti keluhan dan atau pengaduan konsumen. Namun, sering timbul kesenjangan antara hak normatif dan praktek di lapangan. Pada konteks itulah peran Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) sebagai lembaga konsumen menjadi sangat penting untuk menjembatani (mediator) antara konsumen dan pelaku usaha, bahkan pemerintah. Aspek itulah yang secara historis diperankan oleh YLKI, sejak awal didirikan pada 11 Maret 1973. 
Relevan dengan hal tersebut, pada 2012 YLKI menerima pengaduan konsumen sebanyak 624 kasus. Sedikit mengalami kenaikan jika dibandingkan dengan jumlah pengaduan pada 2011, yakni 532 kasus. Adapun lima besar dari 624 kasus tersebut terdiri atas berbagai masalah: perbankan 115 kasus (18 persen), perumahan 74 kasus (12 persen), telekomunikasi/multimedia 71 kasus (11 persen), pelayanan transportasi 50 kasus (8 persen), dan ketenagalistrikan 48 kasus (8 persen). Pengaduan lain yang juga signifikan adalah leasing sepeda motor 35 kasus (6 persen), pelayanan PDAM 26 kasus (4 persen), asuransi 23 kasus (24 persen), dan makanan-minuman 24 kasus (4 persen).
Jika dilihat karakter permasalahan yang dialami, tidak ada perubahan mendasar jika dibandingkan dengan pengaduan pada 2011. Pengaduan perbankan, misalnya, pada 2011 juga masih tertinggi, bahkan karakter yang diadukan juga sama, yakni masalah kartu kredit. Memang, pokok persoalannya agak berbeda; jika pada 2011 kasus yang dominan adalah masalah debt collector, pada 2012 pengaduan lebih banyak pada pembobolan kartu kredit, terutama jika kartu kredit konsumen hilang. Pihak perbankan tidak mempunyai sistem proteksi untuk melindungi kartu kredit yang hilang. Respons terhadap laporan kehilangan kartu kredit pun lambat.
Pengaduan tentang perumahan didominasi oleh kasus apartemen, khususnya keterlambatan serah terima pengembang kepada konsumen. Pengembang nakal yang mengelabui konsumen, dengan tidak membangun rumah yang dijanjikan, terbilang sangat minim. Pengaduan perihal telekomunikasi masih berkutat soal fenomena penipuan via SMS dan penyedotan pulsa Internet. Ini mencerminkan regulator telekomunikasi, seperti Badan Regulator Telekomunikasi Indonesia (BRTI) dan Kementerian Komunikasi dan Informatika, belum secara optimal menjalankan fungsinya untuk mengawasi kinerja operator telekomunikasi. Kasus terus mewabah karena operator telekomunikasi membiarkan berbagai laporan pengaduan. Polisi juga masih setengah hati dalam mengendus jaringan penipuan via SMS, termasuk membekukan rekening si penipu. Adapun pihak bank tidak bisa membekukan rekening si penipu jika tanpa permintaan pihak kepolisian.
Sementara itu, pengaduan di bidang transportasi terfokus pada masalah penerbangan, yakni soal keterlambatan jadwal penerbangan dan bagasi hilang. Lion Air dan AirAsia menduduki porsi tertinggi maskapai yang diadukan. Lagi-lagi, fenomena ini terjadi karena masih lemahnya regulator (Kementerian Perhubungan) dalam mengawasi kinerja airlines, khususnya yang menerapkan low cost carrier (LCC). Pihak maskapai hanya getol membuka rute dan jadwal penerbangan baru, tanpa diimbangi dengan jumlah dan kapasitas pesawat. Ditambah lagi kapasitas bandara yang tak mampu lagi menampung jumlah lonjakan pesawat. Bandara Soekarno-Hatta, misalnya, didesain hanya untuk 19 juta penumpang per tahun, tapi saat ini sudah mencapai 42 juta per tahun! 
Karakter pengaduan PDAM juga masih mengenaskan. Sebab, masih berkutat pada kualitas air yang buruk, frekuensi aliran air yang sering icrit-icrit, dan kebocoran air yang dibebankan kepada konsumen. Manfaat kerja sama PDAM dan pihak asing (kasus Jakarta) nyaris tak terasakan manfaatnya bagi konsumen. Rasio masyarakat yang terakses oleh air PDAM juga bergeming, hanya 45 persen dari total populasi penduduk Jakarta. 
Kesimpulan 
Keluhan dan pengaduan konsumen tidak akan pernah berhenti. Bahkan potensinya terus membesar, seiring dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi. Plus, implementasi era pasar bebas dengan masuknya barang impor dari berbagai negara. Dengan fenomena yang demikian, potensi pelanggaran hak konsumen juga makin tinggi. Untuk menjembatani pengaduan konsumen, jelas tak akan mampu jika hanya bertumpu pada YLKI. 
Untungnya, kini telah berdiri berbagai lembaga konsumen di daerah, yang jumlahnya mencapai ratusan. Mereka perlu diberdayakan untuk mendampingi konsumen, khususnya untuk kasus lokal. Selain itu, pada ranah sengketa konsumen, di berbagai kota besar (termasuk di Jakarta), konsumen bisa menyalurkan permasalahannya via Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). BPSK adalah lembaga independen yang struktur keanggotaannya terdiri atas multi-stakeholders. 
Bahkan, pada konteks nasional, terdapat juga institusi yang bernama Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), yang pertanggungjawabannya langsung ke Presiden. Anggota BPKN (15 orang) pun dipilih melalui fit and proper test di DPR. Dari sisi kapasitas, keanggotaan BPKN sangat kredibel karena mempunyai kompetensi keilmuan cukup tinggi. Karena itu, seharusnya BPKN lebih powerful dalam mengadvokasi kebijakan dan regulasi yang berdimensi konsumen. Namun, secara empiris, peran BPKN dalam kancah perlindungan konsumen bak sebuah iklan produk otomotif "nyaris tak terdengar". Peran konsumen, baik pada konteks ekonomi makro ekonomi dan atau struktur pasar, adalah sangat strategis. Bukan zamannya lagi memposisikan konsumen sebagai subordinat pasar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar