Selasa, 08 Januari 2013

Korupsi dalam Sistem Mapan


Korupsi dalam Sistem Mapan
Arif Afandi ;  Presdir Wira Jatim Group, baru saja berkunjung ke AS untuk mendalami Government And Business Accountability
JAWA POS,  08 Januari 2013



SISTEM yang sudah mapan dan matang tidak menjamin bersih skandal korupsi. Hal itu terjadi di Amerika Serikat, yang pada 2012 berada di peringkat ke-19 indeks Transparency International (Indonesia urutan ke-118). Negara yang menjadi rujukan dunia dalam kematangan sistem politik itu masih juga kebobolan dengan beberapa kasus penyimpangan keuangan negara, baik di tingkat lokal, negara bagian, maupun pemerintahan federal. Padahal, berbagai sistem pengawasan telah diciptakan secara berlapis-lapis. 

Korupsi harus tetap dianggap sebagai sebuah penyimpangan. Karena itu, berbagai langkah pencegahan dan penindakan perlu terus dilakukan. Pesan yang perlu digarisbawahi dari kenyataan tersebut: Sistem yang baik saja belum cukup bisa mengendalikan kecenderungan perilaku korup. Apalagi sistem yang belum mapan dan matang. 

Pertanyaannya kemudian, bagaimana agar korupsi bisa ditekan seminimal mungkin? Cukupkah kita mengandalkan KPK dan penegak hukum lain? Siapa yang bisa ikut membongkar korupsi?

Terungkap Tak Sengaja 

Model korupsi berjamaah yang pernah ngetren di awal era reformasi di Indonesia ternyata juga bisa terjadi di Amerika. Salah satu kasus yang amat terkenal adalah skandal korupsi berjamaah di Kota Bell, salah satu kota di Los Angeles County. Kasus itu menjadi sangat populer karena terungkap berdasar hasil investigasi media dan menghasilkan hadiah Pulitzer, penghargaan tertinggi karya jurnalistik, untuk dua wartawan Los Angeles Times.

Kasus itu melibatkan sejumlah anggota dewan kota, wali kota dan wakilnya, serta manajer kota atau di Indonesia setingkat sekretaris kota. Mereka secara berjamaah me-mark up gaji mereka secara berlipat-lipat. Misalnya, gaji seorang anggota dewan kota yang bekerja secara paro waktu di Amerika umumnya USD 400 atau setara dengan Rp 3.840.000 per bulan atau Rp 46.080.000 per tahun menjadi USD 100.000 atau setara dengan Rp 960 juta (dengan kurs USD 1 = Rp 9.600) per tahun. Di AS, anggota dewan kota tidak bekerja penuh.

Sedangkan wali kota, wakil wali kota, dan city manager Kota Bell me-mark up gaji mereka lebih gila-gilaan. Mereka menerima gaji USD 400-750 ribu. Yang lebih fantastis lagi adalah kelakuan mantan City Manager (semacam Sekkot) Bell City Robert Rizzo. Dari hasil me-mark up gaji dan korupsinya, dia berhasil mengumpulkan kekayaan USD 6,7 juta atau Rp 64 miliar lebih. Asistennya melakukan hal yang sama, namun dengan jumlah yang lebih sedikit daripada dia.

Mark-up gaji secara berjamaah itu menjadi sangat menarik karena di luar kepatutan gaji para pejabat di Amerika. Sekadar diketahui, gaji para petinggi pemerintahan kota di AS rata-rata tidak sampai USD 100 ribu. Bahkan, presiden Amerika Serikat hanya menerima gaji USD 400 ribu per tahun atau setara Rp 3,84 miliar. Yang menarik lagi, korupsi secara berjamaah itu berlangsung sampai hampir lima tahun. Terungkap "secara tanpa sengaja" lewat hasil investigasi dua wartawan LA Times.

Bagaimana korupsi berjamaah di Bell City itu bisa terjadi tanpa terdeteksi sistem mereka? Menurut Jeff Gottlieb dan Ruben Vives, wartawan yang mendapat penghargaan Pulitzer karena membongkar skandal tersebut, mereka bisa melakukan hal itu de­ngan memanfaatkan momentum perubahan manajemen kota. Barangkali situasinya mirip dengan awal desentralisasi diterapkan di Indonesia pada 2001. Saat itu kasus korupsi berjamaah juga marak di kota dan kabupaten.

Di AS, sebuah kota bisa mengajukan perubahan untuk menjadi kota de­ngan otonomi khusus atau yang disebut city charter. Caranya, melakukan referendum. Nah, untuk itu, para pemimpin kota tersebut menggelar referendum pada hari libur yang hanya diikuti 350 warga. Hasil referendum yang dimanipulasi itulah yang menjadi dasar mereka mendapatkan status otonomi khusus.

Selain korupsi berjamaah, korupsi model menjual kursi kosong di parlemen juga terjadi di AS. Gubernur Negara Bagian Illinois Rod Blagojevich telah divonis penjara 14 tahun karena berbagai tuduhan kasus korupsi. Di antaranya, "menjual" kursi senat yang telah ditinggalkan Barack Obama setelah terpilih sebagai presiden AS periode pertama empat tahun lalu. Dalam sistem AS, gubernurlah yang menentukan pengganti senator yang kosong. 

Mematangkan Sistem 

Kenyataan itu membuktikan bahwa pencegahan dan pemberantasan korupsi tidak hanya dapat mengandalkan sistem dan lembaga-lembaga formal. Dibutuhkan peran serta masyarakat untuk ikut mengawasi dan mengontrol jalannya pemerintahan. Kekuasaan yang ada pada kelompok dan individu tetap saja mempunyai peluang untuk disimpangkan. Kekuasaan tanpa kontrol dari pemberi legitimasi kekuasaan sangat mungkin untuk diselewengkan. Bahkan pada negara dan sistem yang sudah begitu matang.

Model korupsi tidak mengenal sistem politik tertutup maupun terbuka. Hanya, dalam sistem yang terbuka, tindak pidana korupsi lebih gampang terkuak karena kontrol masyarakat yang kuat. Namun, dalam sistem yang demokratis pun, akan terbuka peluang terjadinya korupsi selama tingkat partisipasi masyarakat untuk melakukan kontrol terhadap jalannya pemerintahan lemah. 

Kedua, tentu saja, dibutuhkan sistem penegakan hukum yang kuat dan bersih. Dibutuhkan vacuum cleaner alias penyedot debu dan kotoran untuk membuat lantai kita lebih bersih. 

Ketiga, jika lembaga hukum, lembaga politik, dan sistem pemerintahan kita belum matang, media menjadi tiang penyangga utama. Di AS, pemberantasan korupsi sangat mengandalkan peran media. Bahkan, ada lembaga masyarakat nonprofit yang mendedikasikan secara khusus pihaknya untuk mendidik wartawan melakukan investigasi terhadap kasus-kasus korupsi. Akan menjadi masalah jika media juga menjadi bagian dari lembaga yang korup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar