|
KOMPAS,
25 Januari 2013
Banyak pembelajaran dari
krisis ekonomi global saat ini. Salah satunya adalah sinergi antara kekuatan
politik dan ekonomi. Bagaimana dua kekuatan ini berinteraksi akan sangat
menentukan hasil akhir. Sayangnya, interaksi keduanya masih jauh dari sinergi
yang optimal, baik pada tataran global maupun domestik. Orientasi politik
yang cenderung mengatasi persoalan jangka pendek dengan bersikap populis
dikhawatirkan tidak mampu mengatasi persoalan ekonomi yang sudah bersifat
struktural dan meng- haruskan pengorbanan jangka pendek.
Dalam
banyak hal, kekuatan politik banyak menentukan keputusan dan pada akhirnya
performa ekonomi. Contoh penting adalah kemelut di Amerika tahun 2011 saat
menghadapi kemungkinan pailitnya keuangan negara yang tidak bisa memenuhi
kewajiban utang luar negerinya.
Dalam
kondisi genting semacam itu, dua kekuatan politik Amerika hampir gagal
mencapai kesepakatan menaikkan batas utang. Karena kemelut politik itu,
lembaga pemeringkat S&P sampai menurunkan peringkat utang Amerika untuk
kali pertama dalam sejarah pemeringkatan. Alasannya adalah lemahnya
kelembagaan politik di Amerika sehingga proses penentuan kebijakan menjadi
tidak efektif, tidak stabil, dan sulit diprediksi.
Kejadian
serupa kini terulang, yaitu kemungkinan terlewatinya batas utang negara.
Persoalan fiskal yang lebih pelik, seperti risiko jurang fiskal, tentunya
akan lebih sulit dipecahkan ketika kemelut politik justru memberikan tambahan
komplikasi bagi persoalan ekonomi yang sudah sangat berat.
Pelajaran
penting lain kita dapatkan dari kawasan Eropa. Sulitnya menyatukan perbedaan
politik di dalam negeri semakin diperberat oleh perbedaan kepentingan
antarnegara. Telah sejak lama kita saksikan betapa pengambilan keputusan yang
berlarut-larut di level politis selalu menambah ketidakpastian ekonomi dan
berdampak kepada lemahnya kepercayaan pasar atas kemampuan otoritas.
Persoalan ekonomi menjadi semakin berat dan otoritas semakin tidak mampu
menangani persoalan.
Dalam
perspektif jangka panjang, krisis ekonomi di negara maju juga bisa dilihat
sebagai sebuah resultan dari bertemunya pertimbangan politik dan ekonomi.
Dilihat dari sumber pertumbuhan ekonomi negara maju, peningkatan
produktivitas telah sejak lama berhenti. Untuk tetap tumbuh, mereka
mengandalkan sisi permintaan, khususnya melalui stimulus fiskal.
Dalam
posisinya sebagai penyedia likuiditas global dan ditambah dengan persepsi
pasar keuangan yang selalu memandang tinggi kredibilitas negara maju,
kebijakan stimulus yang berdampak kepada defisit fiskal itu didukung oleh
pembiayaan global sehingga bisa bertahan sangat lama.
Kebijakan
populis semacam ini tentu menguntungkan secara politis. Hanya saja, saat ini
utang mereka sudah menggunung dan dalam hitungan ekonomi sudah tidak lagi
sustainable. Kini mereka terjebak dalam dilema klasik negara yang terjerat
utang: untuk membayar utangnya, ekonomi mereka harus bisa tumbuh; tetapi
untuk bisa tumbuh, mereka terlalu terbiasa mengandalkan stimulus fiskal yang
kini tidak lagi punya ruang gerak kebijakan. Dan, kekuatan politik terlihat
sangat gamang menghadapi persoalan pelik ini.
Dominasi
politik atas ekonomi juga terlihat di dalam negeri. Keefektifan kebijakan
fiskal yang tersandera oleh kebijakan politik untuk tetap memberikan subsidi
BBM adalah sebuah contoh yang menarik. Kini keputusan untuk tetap memberikan
subsidi BBM sebagai sebuah kebijakan fiskal bahkan juga telah menyandera
kebijakan moneter karena konsumsi BBM yang terus tinggi telah meningkatkan
permintaan valuta asing dari Pertamina dan berdampak pada pelemahan nilai
tukar rupiah.
Kita
telah mengetahui lemahnya argumen bagi sebuah politik anggaran yang lebih
memilih pengeluaran subsidi BBM ketimbang subsidi yang lebih terarah kepada
kelompok masyarakat yang tidak mampu atau kepada pengeluaran bagi pembangunan
infrastruktur yang kini sangat dibutuhkan. Namun, keputusan mencabut atau
mengurangi subsidi BBM terkendala oleh kekhawatiran kenaikan harga-harga
secara umum (inflasi) akibat kenaikan harga BBM.
Sebenarnya
ada sebuah jalan tengah yang sudah dibicarakan sejak tahun 2010, yaitu
pembatasan BBM bersubsidi. Secara sederhana, hal itu dapat dilakukan misalnya
dengan membatasi penggunaan BBM bersubsidi hanya untuk kendaraan umum dan
roda dua saja.
Dibandingkan
dengan menaikkan harga BBM bersubsidi, kebijakan semacam itu paling tidak
dapat mengatasi tiga persoalan besar: (1) dampak kepada inflasi akan minimal
karena tarif angkutan tidak terpengaruh; (2) penjelasan kepada publik lebih
mudah karena golongan masyarakat kecil tidak banyak terkena dampaknya; dan
(3) dampak penghematan APBN juga sangat sig- nifikan. Kenyataan bahwa langkah
pembatasan itu tidak diambil adalah bukti atas dipilihnya pertimbangan
politik ketimbang ekonomi. Bahwa hasil akhirnya kepada ekonomi adalah
suboptimal juga menjadi bukti bahwa seperti di negara lain, pertimbangan
politik di sini ternyata juga lebih dominan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar