Jumat, 25 Januari 2013

Politik Ekonomi Global dan Indonesia


Politik Ekonomi Global dan Indonesia
Erwin Haryono ;  Deputi Direktur, Ketua Tim Studi Multilateral, Departemen Internasional Bank Indonesia
KOMPAS, 25 Januari 2013



Banyak pembelajaran dari krisis ekonomi global saat ini. Salah satunya adalah sinergi antara kekuatan politik dan ekonomi. Bagaimana dua kekuatan ini berinteraksi akan sangat menentukan hasil akhir. Sayangnya, interaksi keduanya masih jauh dari sinergi yang optimal, baik pada tataran global maupun domestik. Orientasi politik yang cenderung mengatasi persoalan jangka pendek dengan bersikap populis dikhawatirkan tidak mampu mengatasi persoalan ekonomi yang sudah bersifat struktural dan meng- haruskan pengorbanan jangka pendek.
Dalam banyak hal, kekuatan politik banyak menentukan keputusan dan pada akhirnya performa ekonomi. Contoh penting adalah kemelut di Amerika tahun 2011 saat menghadapi kemungkinan pailitnya keuangan negara yang tidak bisa memenuhi kewajiban utang luar negerinya.
Dalam kondisi genting semacam itu, dua kekuatan politik Amerika hampir gagal mencapai kesepakatan menaikkan batas utang. Karena kemelut politik itu, lembaga pemeringkat S&P sampai menurunkan peringkat utang Amerika untuk kali pertama dalam sejarah pemeringkatan. Alasannya adalah lemahnya kelembagaan politik di Amerika sehingga proses penentuan kebijakan menjadi tidak efektif, tidak stabil, dan sulit diprediksi.
Kejadian serupa kini terulang, yaitu kemungkinan terlewatinya batas utang negara. Persoalan fiskal yang lebih pelik, seperti risiko jurang fiskal, tentunya akan lebih sulit dipecahkan ketika kemelut politik justru memberikan tambahan komplikasi bagi persoalan ekonomi yang sudah sangat berat.
Belajar dari Eropa
Pelajaran penting lain kita dapatkan dari kawasan Eropa. Sulitnya menyatukan perbedaan politik di dalam negeri semakin diperberat oleh perbedaan kepentingan antarnegara. Telah sejak lama kita saksikan betapa pengambilan keputusan yang berlarut-larut di level politis selalu menambah ketidakpastian ekonomi dan berdampak kepada lemahnya kepercayaan pasar atas kemampuan otoritas. Persoalan ekonomi menjadi semakin berat dan otoritas semakin tidak mampu menangani persoalan.
Dalam perspektif jangka panjang, krisis ekonomi di negara maju juga bisa dilihat sebagai sebuah resultan dari bertemunya pertimbangan politik dan ekonomi. Dilihat dari sumber pertumbuhan ekonomi negara maju, peningkatan produktivitas telah sejak lama berhenti. Untuk tetap tumbuh, mereka mengandalkan sisi permintaan, khususnya melalui stimulus fiskal.
Dalam posisinya sebagai penyedia likuiditas global dan ditambah dengan persepsi pasar keuangan yang selalu memandang tinggi kredibilitas negara maju, kebijakan stimulus yang berdampak kepada defisit fiskal itu didukung oleh pembiayaan global sehingga bisa bertahan sangat lama.
Kebijakan populis semacam ini tentu menguntungkan secara politis. Hanya saja, saat ini utang mereka sudah menggunung dan dalam hitungan ekonomi sudah tidak lagi sustainable. Kini mereka terjebak dalam dilema klasik negara yang terjerat utang: untuk membayar utangnya, ekonomi mereka harus bisa tumbuh; tetapi untuk bisa tumbuh, mereka terlalu terbiasa mengandalkan stimulus fiskal yang kini tidak lagi punya ruang gerak kebijakan. Dan, kekuatan politik terlihat sangat gamang menghadapi persoalan pelik ini.
Politik Ekonomi Indonesia
Dominasi politik atas ekonomi juga terlihat di dalam negeri. Keefektifan kebijakan fiskal yang tersandera oleh kebijakan politik untuk tetap memberikan subsidi BBM adalah sebuah contoh yang menarik. Kini keputusan untuk tetap memberikan subsidi BBM sebagai sebuah kebijakan fiskal bahkan juga telah menyandera kebijakan moneter karena konsumsi BBM yang terus tinggi telah meningkatkan permintaan valuta asing dari Pertamina dan berdampak pada pelemahan nilai tukar rupiah.
Kita telah mengetahui lemahnya argumen bagi sebuah politik anggaran yang lebih memilih pengeluaran subsidi BBM ketimbang subsidi yang lebih terarah kepada kelompok masyarakat yang tidak mampu atau kepada pengeluaran bagi pembangunan infrastruktur yang kini sangat dibutuhkan. Namun, keputusan mencabut atau mengurangi subsidi BBM terkendala oleh kekhawatiran kenaikan harga-harga secara umum (inflasi) akibat kenaikan harga BBM.
Sebenarnya ada sebuah jalan tengah yang sudah dibicarakan sejak tahun 2010, yaitu pembatasan BBM bersubsidi. Secara sederhana, hal itu dapat dilakukan misalnya dengan membatasi penggunaan BBM bersubsidi hanya untuk kendaraan umum dan roda dua saja.
Dibandingkan dengan menaikkan harga BBM bersubsidi, kebijakan semacam itu paling tidak dapat mengatasi tiga persoalan besar: (1) dampak kepada inflasi akan minimal karena tarif angkutan tidak terpengaruh; (2) penjelasan kepada publik lebih mudah karena golongan masyarakat kecil tidak banyak terkena dampaknya; dan (3) dampak penghematan APBN juga sangat sig- nifikan. Kenyataan bahwa langkah pembatasan itu tidak diambil adalah bukti atas dipilihnya pertimbangan politik ketimbang ekonomi. Bahwa hasil akhirnya kepada ekonomi adalah suboptimal juga menjadi bukti bahwa seperti di negara lain, pertimbangan politik di sini ternyata juga lebih dominan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar