Jumat, 25 Januari 2013

Demokrasi Tanpa Suara


Demokrasi Tanpa Suara
Donny Gahral Adian ;  Dosen Filsafat Politik Universitas Indonesia
KOMPAS, 25 Januari 2013



Satu hal yang paling sulit dipenuhi oleh politik adalah konsensus. Konsensus dalam politik adalah momen yang selintas datang. Demokrasi disesaki oleh momen-momen konsensus yang tidak pernah mengabadi. Sebab, dalam demokrasi, disensus adalah kodrat sehingga konsensus dibuat untuk dibatalkan.
Dalam terang pikir seperti ini, pernyataan Wakil Presiden Boediono menjadi menarik. Beliau mengatakan betapa kita perlu menyudahi kegaduhan politik dan menyusun konsensus politik yang memiliki konsekuensi ekonomi. Baginya, semakin lirih suara politik, semakin keras dentang perekonomian. Ekonomi membutuhkan keputusan, sementara politik memperdebatkan keputusan. Ekonomi dan politik di mata Boediono menjalin hubungan yang saling meniadakan.
Mengapa Gaduh
Demokrasi bagi sebagian orang identik dengan kegaduhan. Tengok saja tingkah polah partai-partai politik yang gagal melewati verifikasi Komisi Pemilihan Umum (KPU). Mereka sibuk menggugat dan memprotes keputusan KPU dengan berbagai alasan. Atau, persoalan ambang batas presidensial. Berbagai kelompok politik sibuk meributkan ambang batas tersebut karena ingin meloloskan ”orang terpilihnya” sebagai calon presiden (capres). Dua contoh kegaduhan di atas memang membuat demokrasi difitnah menjadi arena perebutan kekuasaan belaka.
Berbagai opini yang bersilang sengketa di ruang publik semata-mata berjangkar pada sesuatu yang purba dalam diri manusia bernama ”syahwat”, apa pun jenisnya. Pertarungan politik di ruang publik pun tak lain adalah konfrontasi antar-”syahwat” alias kepentingan. Buruh dan pengusaha bersitegang akibat kepentingannya masing-masing. Pemerintah dan oposisi bersitegang tentang perlunya mencabut subsidi BBM.
Dalam kegaduhan seperti itu, pikiran Boediono sepertinya masuk akal. Keputusan hanya bisa diambil apabila semua melucuti syahwatnya masing-masing demi sebuah konsensus rasional. Persoalannya, politik dan syahwat tidak bisa dipisahkan begitu saja. Titik sangkan politik dan syahwat adalah sama. Keduanya setua peradaban itu sendiri.
Kita perlu memeriksa hubungan antara ”syahwat”, ”politik”, dan ”kegaduhan” secara saksama. Di sini, refleksi tua Aristoteles tentang perbedaan antara ”ujaran” dan ”suara” penting ditengok kembali. ”Ujaran” berbeda dengan sekadar ”suara”. ”Ujaran” adalah hak istimewa manusia sebagai binatang berakal budi, sementara ”suara” dimiliki oleh segenap makhluk nonmanusia. ”Ujaran” berfungsi untuk mengisyaratkan apa yang berguna, adil, dan bermartabat, sementara ”suara” sekadar mengungkapkan kesakitan dan kesenangan belaka. ”Suara” niscaya berjangkar pada syahwat. Seorang yang syahwatnya terganjal akan men-”suara”-kan kesakitannya, demikian pula sebaliknya.
Gawatnya, antropologi demokrasi liberal adalah individu yang mengejar kesenangan dan menghindari kesakitan. Tak heran dalam cuaca politik sedemikian demokrasi menjadi gaduh oleh suara-suara kepentingan dan syahwat pribadi. Di sini, keluh kesah Boediono menjadi masuk akal. Ketika ruang publik diisi silang sengketa soal siapa capres yang paling pantas. Atau, apakah metode blusukan efektif untuk memetakan persoalan rakyat.
Maka, kegaduhan pun menjadi fitrah demokrasi. Opini adalah ”suara” yang dikemas sedemikian rupa sehingga tampak ”publik”. Tidak ada pertentangan opini publik. Yang ada, opini pribadi yang bertarung di ruang publik sehingga seolah-olah publik.
Persoalannya, demokrasi bukan sekadar gesekan antar-”suara”, melainkan juga ”ujaran”. Orang juga berdebat tentang apa yang adil, baik, dan universal. Perdebatan tentang subsidi BBM, kenaikan tarif tenaga listrik, dan jaminan sosial nasional bukan saling sahut antar-”suara” belaka. Orang yang memperdebatkan soal subsidi BBM tidak didorong syahwat pribadi, tetapi perkara yang lebih fundamental soal batas kerja antara negara dan pasar.
Karena itu, tidaklah bijak mengecam kegaduhan politik sebagai semata-mata pertarungan syahwat atau kepentingan. Politik adalah pertarungan antara yang kolektif bukan pribadi. Pertarungan kolektif dalam politik tak dapat disingkirkan begitu saja atas nama urusan dapur yang biasa disebut ”ekonomi”.
Memaknai Kegaduhan
Mengheningkan demokrasi dari kegaduhan bisa dibilang melenyapkan demokrasi itu sendiri. Demokrasi tanpa konflik dan kontestasi ibarat spesies tanpa genus. Institusi demokrasi tidak didesain untuk melenyapkan konflik. Dia dibikin untuk mengelola konflik sehingga menjadi sesuatu yang kreatif. Tidak ada pertarungan politik yang saling meniadakan. Pertarungan antara kelompok nasionalis dan agamis, misalnya, membuahkan beberapa fundamen politik penting di republik ini.
Contoh yang lebih banal adalah pilkada. Tanpa ribut-ribut pilkada, tidak ada kreativitas yang muncul.Setiap kandidat selalu berusaha membedakan diri dan membangun sesuatu yang baru.
Toleransi pun hanya dimungkinkan ketika terjadi konflik politik. Kita tidak bisa dikatakan ”toleran” jika hanya menoleransi sikap politik yang sesuai. Toleransi hanya dimungkinkan ketika kita berhadapan dengan sebuah sikap politik yang tidak dapat kita tolerir. Terdengar absurd? Namun, itulah kenyataannya. Kita tidak menoleransi apa-apa yang sudah dapat kita tolerir. Toleransi tidak muncul ketika keyakinan sebuah kelompok minoritas sudah dapat sepenuhnya diafirmasi oleh lingkar keyakinan mayoritas. Jika itu yang terjadi, yang muncul bukanlah toleransi, melainkan kolonisasi.
Konflik, kontestasi, dan ketidaksetujuan tidak membuat komunikasi menjadi tidak berarti. Komunikasi tidak selalu berfungsi untuk menemukan titik temu antara dua prinsip yang bertolak belakang. Komunikasi hanya berfungsi untuk menyampaikan sikap politik tertentu agar dipahami lawan bicara. Namun, pemahaman tidak sama dengan persetujuan. Saya bisa paham sikap politik lawan, tetapi tetap tidak setuju dengannya.
Artinya, demokrasi sebagai arena komunikasi antarwarga jangan selalu diartikan sebagai proyek pembangunan konsensus. Sebaliknya, konflik, kontestasi dan ketidaksetujuan adalah prakondisi komunikasi yang tak pernah absen sepanjang usia politik.
Kegaduhan tidak bisa diukur dengan penggaris ekonomi belaka. Sebab, kegaduhan politik memiliki dimensi-dimensi normatifnya sendiri. Artinya, efek-efek kegaduhan jangan ditimbang dengan indeks perekonomian, tetapi peradaban. Kita boleh saja kesal dengan kegaduhan di ruang publik yang meributkan soal remeh-temeh nan menjengkelkan. Namun, kita jangan buru-buru mematikan kegaduhan dengan proposal tua bernama konsensus politik. Sebab, konsensus bisa jadi mematikan potensi-potensi normatif dari kegaduhan politik yang ada.
Ketika buruh diminta bersepakat soal upah minimum, maka perdebatan kreatif tentang apa saja yang termasuk komponen hidup layak bisa terbengkalai. Bahayanya lagi, konsensus politik, meski memiliki dampak ekonomi, bisa dimanipulasi jadi pelampung penyelamat bagi segelintir elite politik tertentu. Coba bayangkan apa akibatnya jika kita diminta tidak lagi meributkan kasus Lapindo atau Bank Century? Sebab itu, jangan pernah berupaya mengheningkan politik dari kegaduhan. Kita tidak pernah tahu apa yang tersembunyi di balik sengketa. Pepatah lama mengatakan in vino veritas, di dalam anggur ada kebenaran. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar