Jumat, 25 Januari 2013

Migas Setelah Pembubaran BP Migas


Migas Setelah Pembubaran BP Migas
Ari H Soemarno ;  Mantan Dirut Pertamina
KOMPAS, 25 Januari 2013



Tak lama setelah Mahkamah Konstitusi membubarkan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi pada Oktober 2012, pemerintah ”mengambil alih” pekerjaannya dengan membentuk Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas, dan menunjuk ketua dan komisi pengawasnya. Namun, sistem dan pola kerjanya terlihat sama. Apakah ini solusi tetap yang akan dituangkan dalam revisi UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas? Lalu business as usual? Mudah-mudahan tidak demikian.
Tidak ada protes lagi dari para penggugat. Seolah-olah mereka sudah puas dengan pembubaran Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas). Apakah itu saja tujuannya? Padahal, judicial review itu dilatari nasionalisme, kegelisahan terhadap kedaulatan sumber daya alam dan keprihatinan atas keterjaminan bahan bakar minyak yang murah.
Mengapa semua berhenti di situ? Bukankah ini mencerminkan kurangnya pemahaman tentang masalah mendasar yang tengah dihadapi sektor migas dan energi nasional dan bukan sekadar masalah kedaulatan? Bukankah pembubaran BP Migas telah menimbulkan kebingungan? Risikonya, animo investasi terganggu dan produksi migas nasional dapat terancam lebih turun. Padahal, sektor ini sangat memerlukan partisipasi pelaku internasional baik modal, teknologi, maupun manajemen.
Ketahanan
Jika keabsahan BP Migas hanya dinilai dari sisi kedaulatan pengelolaan kekayaan alam migas, tentu sangatlah sempit. Sebagian orang mengartikan ”kedaulatan” sebagai ”kitalah pemiliknya dan berhak menentukan apa pun”. Namun, perlu dipahami, migas yang tersimpan di perut bumi belum dapat dimanfaatkan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sumber daya itu baru mempunyai nilai dan bermanfaat jika sudah diangkat, lalu diolah menjadi bahan bakar, sehingga siap dimanfaatkan sebagai energi. Untuk itu, diperlukan investasi yang besar, penguasaan teknologi, dan manajemen yang andal.
Karena itu, perlu dikembangkan pengertian ”kedaulatan kekayaan alam migas” menjadi ”kedaulatan energi”. Bahkan, lebih jauh lagi menjadi ketahanan energi. Mengapa kita memerlukan hal itu dan bukan sekadar kedaulatan atas sumber daya alam? Jawabnya, sumber daya alam migas tidak bisa diperbaharui sehingga suatu saat cadangannya akan habis.
Jika ia habis, hilang pulalah sumber daya alam energi utama kita. Apa jadinya kita tanpa ketersediaan bahan bakar atau energi yang memadai? Maka, suplai komoditas ini harus terus terjamin. Ketahanan energi bukan hanya mengenai sumber daya alam saja, tetapi juga seluruh mata rantai ekonominya sampai menjadi energi yang siap digunakan masyarakat.
Berakhirnya Era Minyak Mudah dan Murah
Realitasnya, Indonesia saat ini sudah menjadi importir neto minyak mentah dan BBM. Kalau pola yang ditempuh sama seperti sekarang, ke depan apakah akan ada perubahan? Ladang-ladang minyak mentah kita kian tua (kira-kira 75 persen temuan sebelum tahun 1970) yang cadangan dan produksinya secara alami akan terus turun. Di samping itu, temuan baru yang signifikan belum terlihat. Sementara itu, konsumsi terus meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan pertambahan penduduk.
Di pihak lain, lokasi baru berada di daerah terpencil atau di laut dalam dengan rasio keberhasilan temuan yang rendah. Maka, bermimpi memperoleh migas dengan cara mudah, easy oil, dan murah, cheap oil, seperti di masa lalu sudah tidak relevan. Era itu jelas sudah berakhir.
Para ahli ternama seperti Michael Klare (2008) dalam bukunya, The New Geopolitics of Energy, dan Daniel Yergin (2011) dalam The Quest mengingatkan tentang berakhirnya era minyak mudah di dunia. Sejalan dengan itu, minyak-minyak nonkonvensional—minyak superberat, shale oil, dan oil sand—mulai diproduksi. Meskipun sumber migas dunia secara keseluruhan masih banyak, teknologi pencarian dan produksinya lebih rumit dengan risiko dan biaya yang tinggi.
Dipicu penurunan sumber daya dalam negerinya, sejumlah negara industri baru memutuskan berburu hingga jauh ke luar negaranya. Brasil, India, China, dan Malaysia sangat agresif menanam investasi puluhan miliar dollar AS melalui BUMN mereka ke segala pelosok dunia—di laut dalam, mengebor ribuan meter dari dasar laut—demi mengamankan pasokan migas dan ketahanan energi dalam negerinya.
Pertanyaan logisnya, lalu bagaimana Indonesia? Di samping melemahnya kemampuan pasokan sumber daya alam di dalam negeri, ketahanan energi kita diperparah kemampuan hilir, baik kilang maupun fasilitas distribusi yang substandar. Konsumsi terus meningkat, tetapi kapasitas kilang stagnan sehingga volume impor BBM harus terus naik, di samping impor minyak mentah yang terus meningkat.
Dengan kondisi seperti itu, kesimpulannya, ketahanan energi kita berada pada tingkat yang sangat rawan. Apabila kita ingin mengamankan suplai energi dan meningkatkan ketahanan, ke depan diperlukan cara berpikir baru, investasi yang sangat besar, penguasaan teknologi, dan profesionalisme pengelolaannya. Ini menunjukkan mendesaknya perbaikan, bahkan reformasi sektor hulu dan hilir migas secara menyeluruh, bukan sekadar kedaulatan sumber daya alam.
Momentum perubahan
Jadi, bagaimana memaknai pembubaran BP Migas? Pertama, ini momentum menatap jauh ke depan dengan menyusun strategi ketahanan energi. Kedua, bangsa ini harus mulai belajar memahami, era energi mudah dan murah berakhir. Sudah tak pantas lagi berfoya-foya dengan ”membakar” ratusan triliun rupiah melalui subsidi BBM di tengah ketahanan energi yang rawan.
Ketiga, harus ada reformasi pola pikir dan restrukturisasi sektor migas secara komprehensif. Terlalu naif kita berpikir jika bubarnya BP Migas hanya ditindaklanjuti dengan revisi UU secara parsial, sekadar memformulasi institusi penggantinya.
Keempat, saatnya mengevaluasi apa ”kegagalan” kita dalam mengelola sektor migas. Setelah 67 tahun merdeka dan rapuh ketahanan energi, kita perlu menata kembali sektor dan industri ini. Tengoklah keganjilan ini, di satu sisi kedaulatan pengelolaan sumber daya alam dipermasalahkan kesesuaiannya dengan konstitusi, di pihak lain impor minyak dan BBM dibiarkan terus meningkat. Padahal, seluruh impor berasal dari sumber yang dikuasai asing
Indonesia memiliki banyak institusi dan pakar yang dapat memberi pemikiran dan kontribusi, tetapi dengan pandangan berbeda-beda. Mari duduk bersama secara profesional, membahas secara akademis dan mendalam agar dapat disusun UU demi strategi pengelolaan migas dan energi yang tepat.
Bagaimanapun, migas akan tetap menjadi bahan energi yang paling strategis jauh ke depan. Memang ini tak mudah, tetapi ini pertanda dibutuhkan inisiatif dan kepemimpinan. Business as usual setelah BP Migas bubar dan ketakhadiran sense of urgency menunjukkan ketakhadiran kepemimpinan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar