Senin, 21 Januari 2013

Politik Akal Sehat


Politik Akal Sehat
Budiarto Shambazy ;  Wartawan Senior Kompas
KOMPAS, 19 Januari 2013



Saat misteri lebar gorong-gorong di jalan protokol cuma 60 cm terkuak, kita heran. Di benak kita, gorong-gorong itu beton bundar dengan diameter seukuran tubuh orang dewasa.
Kalau lebarnya cuma sebegitu, tak usah heran Jakarta langganan banjir. Dan, kini semua tahu ada rencana membangun deep tunnel multifungsi menggantikan gorong-gorong sempit tersebut.
Ilustrasi ini menggambarkan warga kurang informasi memadai tentang kondisi riil Ibu Kota, atau bisa juga warga memang tidak mau peduli lagi?
Sebab, selama puluhan tahun, warga sudah terlalu terbiasa hidup dikepung berbagai masalah. Dan, tampaknya nyaris tak ada solusi yang memadai.
Jumlah penduduk tak terkontrol, lahan makin sedikit, kendaraan makin banyak, angka kriminalitas meningkat, dan seterusnya. Menurut CNN, Jakarta merupakan satu dari lima kota tidak nyaman di dunia.
Berhubung masalah Ibu Kota menumpuk tiap tahun, warga otomatis apatis. Ada anggapan sejak era pasca-Bang Ali, kualitas gubernur terus menurun seiring dengan turunnya kualitas hidup.
Anggapan itu ada benarnya. Warga sempat bersemangat ketika pengganti Bang Ali, Tjokropranolo alias Bang Nolly, mengintroduksi konsep ”religius sosialistis” supaya warga nyaman dan sejahtera.
Akan tetapi, Bang Nolly lebih dikenal sebagai Asisten Pribadi Bidang Militer Presiden Soeharto. Ada upaya mencegah agar gubernur DKI (baca: Bang Ali) tak lebih populer daripada Pak Harto.
Masalahnya, Bang Ali lebih terlihat bekerja. Setiap tahun, sebelum musim hujan, pasti ada tim yang membersihkan sungai dan selokan.
Banjir tetap sukar dihindari, salah satu yang terbesar terjadi tahun 1977. Namun, setidaknya Bang Ali jujur ketika pada akhir masa jabatannya mengatakan, perlu dana raksasa yang mustahil dimiliki DKI untuk menanggulangi banjir.
Tentu saja Jakarta era pasca-Bang Ali jauh berubah. Kalau tadinya hanya the big village, Ibu Kota perlahan-lahan membesar jadi metropolitan—mungkin malah megapolitan.
Dulu warga masih kenal wali kota, sekarang belum tentu. Dulu warga masih lebih paham kebiasaan dan aturan, sekarang tidak lagi.
Pendek kata, kita semua melakukan penghancuran secara perlahan-lahan terhadap Ibu Kota. Proses penghancuran itu dimulai dari kegagalan kita mematuhi aturan dan perundang-undangan.
Ambil contoh izin mendirikan bangunan (IMB) yang ”bisa diatur”. Tak ada lagi, misalnya, yang menyisihkan halaman samping sebagai ruang (gang) untuk akses pemadaman kebakaran.
Untuk mengurangi tingkat kriminalitas, di zaman Bang Ali mobil dilarang dipasangi kaca gelap. Sekarang mobil ibarat kelab malam berjalan.
Bang Ali mati-matian memaksa kawasan permukiman tidak dijadikan perkantoran. Sekarang semuanya serba abu-abu serta amburadul.
Ambil contoh tindakan Pemprov DKI ketika membebaskan tanah untuk membangun jalan arteri Pondok Indah akhir 1980-an. Masih segar dalam ingatan, gubernur menegaskan, di kanan dan kiri jalan adalah area permukiman.
Sekarang lihat sendiri, di sepanjang jalan ada mal, toko mobil, toko roti, sampai klub karaoke. Kesimpulannya, tata ruang diobrak-abrik pembuatnya sendiri demi tujuan-tujuan komersial.
Jakarta mungkin satu-satunya ibu kota di dunia dengan jumlah mal terbanyak. Coba Anda kunjungi Berlin (ibu kota Jerman) atau Washington DC (ibu kota Amerika Serikat), jumlah mal hanya 1-2 dengan ukuran lebih kecil dari Atrium Senen.
Jakarta bukan cuma hutan beton gedung-gedung raksasa, melainkan juga rimba aspal jalan. Tiap tahun ada 300.000 mobil baru di jalan-jalan Ibu Kota.
Semua mengeluhkan kemacetan, tetapi sudah tak ada lagi solusi. Entah sudah berapa tahun polisi tak mampu menyelesaikan kemacetan akut di depan markasnya sendiri di Jalan Gatot Subroto.
Namun, yang mau dibangun malah ”aspal baru” enam ruas tol dalam kota. Dan, baru belakangan ini sering diwacanakan pembangunan MRT yang studi-studinya sudah dilakukan sejak 1970-an.
Kita sudah lama ”macet total” moral, pikiran, dan tindakan. Barangkali karena bertahun-tahun macet total itulah warga jadi apatis alias masa bodoh.
Kekerabatan di antara warga telah jauh berkurang. Kita merasa sebagai warga metropolitan walaupun bermental dusun besar. Kita tak mau tahu lagi apa yang dikerjakan gubernur, apalagi oleh DPRD yang kita tak kenal orang-orangnya.
Ketika untuk pertama kalinya diadakan pilgub secara langsung, kita telanjur senang dengan demokrasi baru. Orang yang terpilih menyebut banjir hanya sebagai ”genangan”, meneruskan sebelumnya yang bilang cuma ”fenomena alam”.
Kita telanjur senang lagi dengan Pilgub 2011 yang dimenangi Jokowi. Dia hanya orang biasa saja yang mau bekerja, tetapi menjadi luar biasa karena sekarang zaman orang tidak mau bekerja.
Dia bukan ahli sulap yang menelurkan konsep-konsep baru untuk menyelesaikan berbagai masalah Ibu Kota. Ia hanya sekadar melanjutkan rencana-rencana yang sudah lama ada.
Jika ditanyai wartawan, jawaban-jawaban dia tak ada yang istimewa alias apa adanya. Namun, jawaban-jawaban sederhana itulah yang membuat Jokowi menjadi media darling.
Tentu banyak yang kecewa karena dia dianggap melakukan pencitraan. Tak sedikit pula yang sinis mengatakan ia belum berprestasi.
Ini wajar karena mereka yang kecewa dan sinis sudah kapok diperdaya oleh pencitraan. Namun, ingatlah, Jokowi bukanlah malaikat.
Kepemimpinan Jakarta sudah gagal puluhan tahun. Butuh tahunan untuk tak gagal lagi.
Apa pun, kini kita peduli lagi terhadap apa yang terjadi di Ibu Kota. ”Efek Jokowi” tak hanya membuat makin banyak calon pemimpin yang mengenakan baju kotak-kotak di pilkada.
Efek Jokowi menular juga ke warga untuk mengawasi jalannya perbaikan nasib Ibu Kota. Kalau akal gubernurnya sehat, perilaku kita akan ikut sehat.
Maka Jakarta, insya Allah, turut sehat. Kita dan Jakarta rupanya memasuki era politik akal sehat.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar