Politik Akal
Sehat
Budiarto Shambazy ; Wartawan
Senior Kompas
|
KOMPAS,
19 Januari 2013
Saat misteri lebar
gorong-gorong di jalan protokol cuma 60 cm terkuak, kita heran. Di benak
kita, gorong-gorong itu beton bundar dengan diameter seukuran tubuh orang
dewasa.
Kalau lebarnya cuma sebegitu, tak usah heran Jakarta
langganan banjir. Dan, kini semua tahu ada rencana membangun deep tunnel
multifungsi menggantikan gorong-gorong sempit tersebut.
Ilustrasi ini menggambarkan warga kurang informasi
memadai tentang kondisi riil Ibu Kota, atau bisa juga warga memang tidak mau
peduli lagi?
Sebab, selama puluhan tahun, warga sudah terlalu
terbiasa hidup dikepung berbagai masalah. Dan, tampaknya nyaris tak ada
solusi yang memadai.
Jumlah penduduk tak terkontrol, lahan makin sedikit,
kendaraan makin banyak, angka kriminalitas meningkat, dan seterusnya. Menurut
CNN, Jakarta merupakan satu dari lima kota tidak nyaman di dunia.
Berhubung masalah Ibu Kota menumpuk tiap tahun, warga
otomatis apatis. Ada anggapan sejak era pasca-Bang Ali, kualitas gubernur
terus menurun seiring dengan turunnya kualitas hidup.
Anggapan itu ada benarnya. Warga sempat bersemangat
ketika pengganti Bang Ali, Tjokropranolo alias Bang Nolly, mengintroduksi
konsep ”religius sosialistis” supaya warga nyaman dan sejahtera.
Akan tetapi, Bang Nolly lebih dikenal sebagai Asisten
Pribadi Bidang Militer Presiden Soeharto. Ada upaya mencegah agar gubernur
DKI (baca: Bang Ali) tak lebih populer daripada Pak Harto.
Masalahnya, Bang Ali lebih terlihat bekerja. Setiap
tahun, sebelum musim hujan, pasti ada tim yang membersihkan sungai dan
selokan.
Banjir tetap sukar dihindari, salah satu yang terbesar
terjadi tahun 1977. Namun, setidaknya Bang Ali jujur ketika pada akhir masa
jabatannya mengatakan, perlu dana raksasa yang mustahil dimiliki DKI untuk
menanggulangi banjir.
Tentu saja Jakarta era pasca-Bang Ali jauh berubah.
Kalau tadinya hanya the big village, Ibu Kota perlahan-lahan membesar jadi
metropolitan—mungkin malah megapolitan.
Dulu warga masih kenal wali kota, sekarang belum tentu.
Dulu warga masih lebih paham kebiasaan dan aturan, sekarang tidak lagi.
Pendek kata, kita semua melakukan penghancuran secara
perlahan-lahan terhadap Ibu Kota. Proses penghancuran itu dimulai dari
kegagalan kita mematuhi aturan dan perundang-undangan.
Ambil contoh izin mendirikan bangunan (IMB) yang ”bisa
diatur”. Tak ada lagi, misalnya, yang menyisihkan halaman samping sebagai
ruang (gang) untuk akses pemadaman kebakaran.
Untuk mengurangi tingkat kriminalitas, di zaman Bang
Ali mobil dilarang dipasangi kaca gelap. Sekarang mobil ibarat kelab malam
berjalan.
Bang Ali mati-matian memaksa kawasan permukiman tidak
dijadikan perkantoran. Sekarang semuanya serba abu-abu serta amburadul.
Ambil contoh tindakan Pemprov DKI ketika membebaskan
tanah untuk membangun jalan arteri Pondok Indah akhir 1980-an. Masih segar
dalam ingatan, gubernur menegaskan, di kanan dan kiri jalan adalah area
permukiman.
Sekarang lihat sendiri, di sepanjang jalan ada mal,
toko mobil, toko roti, sampai klub karaoke. Kesimpulannya, tata ruang
diobrak-abrik pembuatnya sendiri demi tujuan-tujuan komersial.
Jakarta mungkin satu-satunya ibu kota di dunia dengan
jumlah mal terbanyak. Coba Anda kunjungi Berlin (ibu kota Jerman) atau
Washington DC (ibu kota Amerika Serikat), jumlah mal hanya 1-2 dengan ukuran
lebih kecil dari Atrium Senen.
Jakarta bukan cuma hutan beton gedung-gedung raksasa,
melainkan juga rimba aspal jalan. Tiap tahun ada 300.000 mobil baru di
jalan-jalan Ibu Kota.
Semua mengeluhkan kemacetan, tetapi sudah tak ada lagi
solusi. Entah sudah berapa tahun polisi tak mampu menyelesaikan kemacetan akut
di depan markasnya sendiri di Jalan Gatot Subroto.
Namun, yang mau dibangun malah ”aspal baru” enam ruas
tol dalam kota. Dan, baru belakangan ini sering diwacanakan pembangunan MRT
yang studi-studinya sudah dilakukan sejak 1970-an.
Kita sudah lama ”macet total” moral, pikiran, dan
tindakan. Barangkali karena bertahun-tahun macet total itulah warga jadi
apatis alias masa bodoh.
Kekerabatan di antara warga telah jauh berkurang. Kita
merasa sebagai warga metropolitan walaupun bermental dusun besar. Kita tak
mau tahu lagi apa yang dikerjakan gubernur, apalagi oleh DPRD yang kita tak
kenal orang-orangnya.
Ketika untuk pertama kalinya diadakan pilgub secara
langsung, kita telanjur senang dengan demokrasi baru. Orang yang terpilih
menyebut banjir hanya sebagai ”genangan”, meneruskan sebelumnya yang bilang
cuma ”fenomena alam”.
Kita telanjur senang lagi dengan Pilgub 2011 yang
dimenangi Jokowi. Dia hanya orang biasa saja yang mau bekerja, tetapi menjadi
luar biasa karena sekarang zaman orang tidak mau bekerja.
Dia bukan ahli sulap yang menelurkan konsep-konsep baru
untuk menyelesaikan berbagai masalah Ibu Kota. Ia hanya sekadar melanjutkan
rencana-rencana yang sudah lama ada.
Jika ditanyai wartawan, jawaban-jawaban dia tak ada
yang istimewa alias apa adanya. Namun, jawaban-jawaban sederhana itulah yang
membuat Jokowi menjadi media darling.
Tentu banyak yang kecewa karena dia dianggap melakukan
pencitraan. Tak sedikit pula yang sinis mengatakan ia belum berprestasi.
Ini wajar karena mereka yang kecewa dan sinis sudah
kapok diperdaya oleh pencitraan. Namun, ingatlah, Jokowi bukanlah malaikat.
Kepemimpinan Jakarta sudah gagal puluhan tahun. Butuh
tahunan untuk tak gagal lagi.
Apa pun, kini kita peduli lagi terhadap apa yang
terjadi di Ibu Kota. ”Efek Jokowi” tak hanya membuat makin banyak calon
pemimpin yang mengenakan baju kotak-kotak di pilkada.
Efek Jokowi menular juga ke warga untuk mengawasi
jalannya perbaikan nasib Ibu Kota. Kalau akal gubernurnya sehat, perilaku
kita akan ikut sehat.
Maka Jakarta, insya Allah, turut sehat. Kita dan
Jakarta rupanya memasuki era politik akal sehat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar