Kebijakan
Subsidi Benih
Andreas Santosa ; Ketua
Program Studi S-2
Bioteknologi Tanah dan
|
KOMPAS,
21 Januari 2013
Pada akhir tahun 2012, penulis dikontak
oleh Salim Hariadi, Ketua Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia wilayah Jawa
Timur, karena mendengar isu tentang kebijakan subsidi benih tahun 2013 yang
berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.
Isu itu menjadi nyata
dengan dikeluarkannya pengumuman resmi dari pemerintah pada 1 Januari 2013
tentang penghapusan pemberian benih gratis kepada petani, dan digantikan
dengan subsidi harga untuk komoditas utama. Untuk benih padi inbrida,
kedelai, dan jagung komposit, pemerintah menyubsidi 75 persen dari harga
jual, jagung hibrida 50 persen dan padi hibrida 90 persen. Benih bersubsidi
ini hanya cukup untuk menutup 39,3 persen kebutuhan benih padi; 14,6 persen
kebutuhan benih jagung; dan 56,7 persen kebutuhan benih kedelai pada 2013.
Pertanyaannya, apakah
kebijakan subsidi benih ini sudah tepat? Mengingat secara persentase jumlah
benih bersubsidi, baik yang gratis maupun subsidi harga, kecil dibandingkan
kebutuhan total benih petani, peran benih bersubsidi cukup kecil dalam
produksi pertanian di Indonesia. Selain itu, sudah rahasia umum di kalangan
petani, mutu benih bersubsidi buruk meskipun tidak semuanya.
Berdasarkan pengamatan
kami bersama jaringan petani di Indonesia, hampir semua benih bersubsidi
diserap petani, tetapi hanya sekitar 50 persen yang kemudian ditanam. Sisanya
dijadikan beras. Petani biasanya mendapatkan benih dengan membeli dari
pedagang benih atau yang dikembangkan mereka sendiri. Sayangnya, mutu benih
bantuan pemerintah yang buruk baru diketahui Menteri Pertanian ketika
berdialog dengan petani di Pekalongan, Jawa Tengah, (Kompas, 13/1/13).
Dengan demikian, peran
benih bantuan pemerintah terhadap produksi pertanian menjadi kian tak
signifikan. Beberapa benih bantuan, terutama padi hibrida, bahkan menjadi
salah satu penyebab meledaknya kembali populasi wereng karena ketidaktahanan
benih hibrida introduksi terhadap hama tersebut.
Benih adalah kehidupan dan
memegang peran kunci dalam proses produksi pertanian. Beberapa dekade lalu
tak dikenal pengatagorian benih seperti saat ini. Semua benih dipelihara,
dikembangkan, diseleksi, dikonservasi, dipertukarkan, serta diperjualbelikan
oleh dan di antara petani, terutama petani kecil. Baru mulai 1970-an terjadi
perubahan besar di bidang perbenihan, baik di level internasional maupun di
Indonesia. Benih yang mula-mula dikembangkan petani kecil dan komunitas lokal
mulai berpindah tangan ke tangan peneliti dan perusahaan.
Mulai saat itu dikenal
benih lokal, unggul, hibrida, dan benih transgenik. Benih yang merupakan
warisan bersama dan tak mengenal kepemilikan mulai ”dimiliki” terutama oleh
perusahaan raksasa benih. Proses ini difasilitasi berbagai konvensi
internasional, UU, dan peraturan kita untuk kepentingan segelintir
perusahaan.
Saat ini, 90 persen pasar
benih internasional dan input pertanian serta 100 persen benih transgenik
dikuasai hanya oleh enam perusahaan multinasional (PMN). Di Indonesia, hampir
100 persen benih padi komersial dikuasai perusahaan, terutama perusahaan
nasional. Sekitar 90 persen benih jagung hibrida, 90 persen padi hibrida, dan
70 persen benih hortikultura dikuasai PMN.
Perkembangan yang terjadi
sejak 1970-an, selain berdampak pada pergeseran penguasaan benih, juga
berdampak pada penurunan drastis keanekaragaman hayati pertanian dan
lenyapnya varietas lokal. Tak hanya itu, spesies tanaman yang digunakan untuk
pangan juga menurun tajam. Bila di masa lalu sekitar 10.000 spesies tanaman
digunakan untuk pangan dan pertanian, saat ini 90 persen pangan untuk manusia
disumbangkan hanya oleh 120 spesies. Proses yang terjadi saat ini sangat
berisiko bagi pemenuhan kebutuhan pangan generasi mendatang. Perlu pendekatan
holistik untuk mengamankan produksi pangan bagi generasi mendatang, terutama
terkait kebijakan pertanian serta pemusatan perhatian kembali untuk
meningkatkan harkat dan kedaulatan petani.
Salah satu kebijakan yang
ditempuh pemerintah adalah kebijakan subsidi yang hampir pasti akan
dilaksanakan. Dalam pelaksanaannya, kebijakan subsidi yang saat ini tidak
pro-petani bisa dikemas menjadi kebijakan yang mampu meningkatkan harkat dan
kedaulatan petani. Dalam berbagai pertemuan petani yang penulis hadiri,
penolakan terhadap kebijakan subsidi benih dan pupuk semakin sering
disuarakan petani. Kebijakan itu dipandang hanya mengamankan dan
menguntungkan produsen benih dan pupuk. Padahal, petani memiliki kapasitas
memproduksi benih dan pupuk, terutama pupuk organik dan hayati sendiri.
Terkait benih, kapasitas
yang dimiliki petani kecil saat ini 23,6 kali lipat (2.360 persen) dibanding
gabungan peneliti dan perusahaan benih. Kapasitas ini praktis tak pernah
dimanfaatkan pemerintah. Banyak kelompok tani di sentra produksi pangan di 16
wilayah/provinsi di Indonesia memiliki kemampuan, pengetahuan, serta
menguasai teknik pemuliaan tanaman dan penangkaran benih yang sama dengan
perguruan tinggi, lembaga penelitian, ataupun perusahaan.
Selama ini, petani
penangkar benih hanya jadi buruh perusahaan benih dengan posisi tawar rendah.
Pemegang kontrak produksi adalah perusahaan. Subsidi benih perlu dialihkan
sebagian melalui kerja sama produksi benih langsung dengan petani
pemulia/penangkar benih.
UU dan peraturan yang
selama ini berpotensi mengkriminalkan petani pemulia/penangkar benih juga
direvisi. Hingga saat ini tak ada catatan bahwa benih yang dihasilkan petani
berkualitas buruk. Benih yang mereka hasilkan justru sangat potensial
meningkatkan produksi pangan Indonesia karena adaptif dengan lingkungan lokal
dan tahan terhadap cekaman lingkungan, hama, dan penyakit. Pola ini sekaligus
akan menyelamatkan berbagai varietas karya petani dan varietas lokal.
Tak hanya benih, hal yang
sama juga bisa dilakukan untuk subsidi pertanian lain, misalnya pupuk. Dalam
suatu perbincangan, kelompok tani di Godean, Sleman, Yogyakarta, yang
mendapat bantuan pupuk organik mengaku tak menggunakan pupuk organik bantuan
dalam karung itu untuk memupuk tanaman karena kualitasnya buruk, tetapi
menggunakannya sebagai tanggul untuk menahan air.
Petani memiliki kapasitas
menghasilkan pupuk organik dan pupuk hayati sendiri dengan kualitas yang jauh
lebih baik dibandingkan pupuk bantuan pemerintah.
Dengan demikian, dana
subsidi lebih baik langsung diberikan ke mereka. Melalui mekanisme ini, tiga
tujuan sekaligus tercapai, yaitu mengembalikan uang ”dari rakyat untuk
rakyat/petani”, meningkatkan kedaulatan dan kesejahteraan petani, serta
menyelamatkan produksi pangan untuk generasi mendatang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar