Selasa, 22 Januari 2013

Kebijakan Subsidi Benih


Kebijakan Subsidi Benih
Andreas Santosa ;  Ketua Program Studi S-2 
Bioteknologi Tanah dan Lingkungan IPB, Aktif di Gerakan Petani
KOMPAS, 21 Januari 2013



Pada akhir tahun 2012, penulis dikontak oleh Salim Hariadi, Ketua Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia wilayah Jawa Timur, karena mendengar isu tentang kebijakan subsidi benih tahun 2013 yang berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.

Isu itu menjadi nyata dengan dikeluarkannya pengumuman resmi dari pemerintah pada 1 Januari 2013 tentang penghapusan pemberian benih gratis kepada petani, dan digantikan dengan subsidi harga untuk komoditas utama. Untuk benih padi inbrida, kedelai, dan jagung komposit, pemerintah menyubsidi 75 persen dari harga jual, jagung hibrida 50 persen dan padi hibrida 90 persen. Benih bersubsidi ini hanya cukup untuk menutup 39,3 persen kebutuhan benih padi; 14,6 persen kebutuhan benih jagung; dan 56,7 persen kebutuhan benih kedelai pada 2013.

Pertanyaannya, apakah kebijakan subsidi benih ini sudah tepat? Mengingat secara persentase jumlah benih bersubsidi, baik yang gratis maupun subsidi harga, kecil dibandingkan kebutuhan total benih petani, peran benih bersubsidi cukup kecil dalam produksi pertanian di Indonesia. Selain itu, sudah rahasia umum di kalangan petani, mutu benih bersubsidi buruk meskipun tidak semuanya.

Berdasarkan pengamatan kami bersama jaringan petani di Indonesia, hampir semua benih bersubsidi diserap petani, tetapi hanya sekitar 50 persen yang kemudian ditanam. Sisanya dijadikan beras. Petani biasanya mendapatkan benih dengan membeli dari pedagang benih atau yang dikembangkan mereka sendiri. Sayangnya, mutu benih bantuan pemerintah yang buruk baru diketahui Menteri Pertanian ketika berdialog dengan petani di Pekalongan, Jawa Tengah, (Kompas, 13/1/13).

Dengan demikian, peran benih bantuan pemerintah terhadap produksi pertanian menjadi kian tak signifikan. Beberapa benih bantuan, terutama padi hibrida, bahkan menjadi salah satu penyebab meledaknya kembali populasi wereng karena ketidaktahanan benih hibrida introduksi terhadap hama tersebut.

Kedaulatan atas Benih

Benih adalah kehidupan dan memegang peran kunci dalam proses produksi pertanian. Beberapa dekade lalu tak dikenal pengatagorian benih seperti saat ini. Semua benih dipelihara, dikembangkan, diseleksi, dikonservasi, dipertukarkan, serta diperjualbelikan oleh dan di antara petani, terutama petani kecil. Baru mulai 1970-an terjadi perubahan besar di bidang perbenihan, baik di level internasional maupun di Indonesia. Benih yang mula-mula dikembangkan petani kecil dan komunitas lokal mulai berpindah tangan ke tangan peneliti dan perusahaan.

Mulai saat itu dikenal benih lokal, unggul, hibrida, dan benih transgenik. Benih yang merupakan warisan bersama dan tak mengenal kepemilikan mulai ”dimiliki” terutama oleh perusahaan raksasa benih. Proses ini difasilitasi berbagai konvensi internasional, UU, dan peraturan kita untuk kepentingan segelintir perusahaan.

Saat ini, 90 persen pasar benih internasional dan input pertanian serta 100 persen benih transgenik dikuasai hanya oleh enam perusahaan multinasional (PMN). Di Indonesia, hampir 100 persen benih padi komersial dikuasai perusahaan, terutama perusahaan nasional. Sekitar 90 persen benih jagung hibrida, 90 persen padi hibrida, dan 70 persen benih hortikultura dikuasai PMN.

Perkembangan yang terjadi sejak 1970-an, selain berdampak pada pergeseran penguasaan benih, juga berdampak pada penurunan drastis keanekaragaman hayati pertanian dan lenyapnya varietas lokal. Tak hanya itu, spesies tanaman yang digunakan untuk pangan juga menurun tajam. Bila di masa lalu sekitar 10.000 spesies tanaman digunakan untuk pangan dan pertanian, saat ini 90 persen pangan untuk manusia disumbangkan hanya oleh 120 spesies. Proses yang terjadi saat ini sangat berisiko bagi pemenuhan kebutuhan pangan generasi mendatang. Perlu pendekatan holistik untuk mengamankan produksi pangan bagi generasi mendatang, terutama terkait kebijakan pertanian serta pemusatan perhatian kembali untuk meningkatkan harkat dan kedaulatan petani.

Kebijakan Subsidi

Salah satu kebijakan yang ditempuh pemerintah adalah kebijakan subsidi yang hampir pasti akan dilaksanakan. Dalam pelaksanaannya, kebijakan subsidi yang saat ini tidak pro-petani bisa dikemas menjadi kebijakan yang mampu meningkatkan harkat dan kedaulatan petani. Dalam berbagai pertemuan petani yang penulis hadiri, penolakan terhadap kebijakan subsidi benih dan pupuk semakin sering disuarakan petani. Kebijakan itu dipandang hanya mengamankan dan menguntungkan produsen benih dan pupuk. Padahal, petani memiliki kapasitas memproduksi benih dan pupuk, terutama pupuk organik dan hayati sendiri.

Terkait benih, kapasitas yang dimiliki petani kecil saat ini 23,6 kali lipat (2.360 persen) dibanding gabungan peneliti dan perusahaan benih. Kapasitas ini praktis tak pernah dimanfaatkan pemerintah. Banyak kelompok tani di sentra produksi pangan di 16 wilayah/provinsi di Indonesia memiliki kemampuan, pengetahuan, serta menguasai teknik pemuliaan tanaman dan penangkaran benih yang sama dengan perguruan tinggi, lembaga penelitian, ataupun perusahaan.

Selama ini, petani penangkar benih hanya jadi buruh perusahaan benih dengan posisi tawar rendah. Pemegang kontrak produksi adalah perusahaan. Subsidi benih perlu dialihkan sebagian melalui kerja sama produksi benih langsung dengan petani pemulia/penangkar benih.

UU dan peraturan yang selama ini berpotensi mengkriminalkan petani pemulia/penangkar benih juga direvisi. Hingga saat ini tak ada catatan bahwa benih yang dihasilkan petani berkualitas buruk. Benih yang mereka hasilkan justru sangat potensial meningkatkan produksi pangan Indonesia karena adaptif dengan lingkungan lokal dan tahan terhadap cekaman lingkungan, hama, dan penyakit. Pola ini sekaligus akan menyelamatkan berbagai varietas karya petani dan varietas lokal.

Tak hanya benih, hal yang sama juga bisa dilakukan untuk subsidi pertanian lain, misalnya pupuk. Dalam suatu perbincangan, kelompok tani di Godean, Sleman, Yogyakarta, yang mendapat bantuan pupuk organik mengaku tak menggunakan pupuk organik bantuan dalam karung itu untuk memupuk tanaman karena kualitasnya buruk, tetapi menggunakannya sebagai tanggul untuk menahan air.

Petani memiliki kapasitas menghasilkan pupuk organik dan pupuk hayati sendiri dengan kualitas yang jauh lebih baik dibandingkan pupuk bantuan pemerintah.
Dengan demikian, dana subsidi lebih baik langsung diberikan ke mereka. Melalui mekanisme ini, tiga tujuan sekaligus tercapai, yaitu mengembalikan uang ”dari rakyat untuk rakyat/petani”, meningkatkan kedaulatan dan kesejahteraan petani, serta menyelamatkan produksi pangan untuk generasi mendatang. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar