Liberalisasi
Pendidikan
Huala Adolf ; Pengajar
pada Fakultas
|
KOMPAS,
19 Januari 2013
Salah satu isu perdebatan antara pemohon
uji materi dan pemerintah tentang Pasal 50 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional di Mahkamah Konstitusi adalah
liberalisasi pendidikan.
Isu ini muncul karena
pemohon berpendapat Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) atau
Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) adalah bentuk baru liberalisasi
pendidikan. Liberalisasi pendidikan menjadikan pendidikan sebagai komoditas
global dan pasar global. Pasar global melahirkan ketidakadilan dalam
mengakses pendidikan di negara berkembang. Sementara pemerintah dengan tegas
menyatakan RSBI/SBI bukan liberalisasi pendidikan.
Dalam pertimbangan hukum,
Mahkamah Konstitusi (MK) tak menyinggung isu ini. MK hanya berpendapat,
satuan pendidikan yang bertaraf internasional antara lain berpotensi
merugikan jati diri bangsa, mengabaikan tanggung jawab negara atas
pendidikan, dan menimbulkan perlakuan berbeda untuk mengakses pendidikan yang
berkualitas.
Liberalisasi pendidikan di
Tanah Air berupa masuknya tenaga kerja asing di bidang pendidikan dan
kehadiran sekolah dasar dan perguruan tinggi asing sudah cukup lama ada. Di
Jakarta atau Bandung, sekolah dengan label nama suatu negara—diikuti kata
international school—sudah cukup lama beroperasi. Begitu juga dengan
perguruan tinggi. Papan nama atau label perguruan tinggi asing dapat ditemui
dengan mudah di suatu gedung bisnis di ibu kota.
Keberadaan tenaga kerja
atau lembaga pendidikan asing di Tanah Air diatur dalam beberapa peraturan
perundang-undangan. Tenaga kerja asing pendidikan diatur dalam UU No 14 Tahun
2005 tentang Guru dan Dosen. Pasal 27 UU ini menyatakan, tenaga kerja asing
yang dipekerjakan sebagai guru pada satuan pendidikan di Indonesia wajib
mematuhi kode etik guru dan peraturan perundang-undangan. Pasal 65 UU ini
juga menyatakan bahwa tenaga kerja asing yang dipekerjakan sebagai dosen pada
satuan pendidikan tinggi di Indonesia wajib mematuhi peraturan
perundang-undangan.
Lembaga pendidikan asing
dibolehkan kehadirannya di Indonesia berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No
17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Pasal 161
Ayat (1) PP ini menyatakan, lembaga pendidikan asing yang terakreditasi atau
yang diakui di negaranya dapat menyelenggarakan pendidikan di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Dari praktik dan aturan
hukum di Indonesia, tampak liberalisasi pendidikan bukan saja sudah berjalan,
tetapi juga secara hukum diperbolehkan. Dalam putusannya, memang MK tidak
dengan tegas menyatakan apakah MK setuju atau tidak terhadap liberalisasi.
Akan tetapi, secara implisit MK melarang komersialisasi pendidikan.
Intinya, komersialisasi
pendidikan senapas dengan liberalisasi pendidikan. Dengan adanya putusan MK,
kita bisa melihat, liberalisasi pendidikan di Indonesia menjadi dilematis.
Persoalan dilematis ini
dihadapkan pula dengan realitas global dewasa ini, yakni globalisasi
perdagangan WTO dan regionalisme perdagangan ASEAN. Organisasi Perdagangan
Dunia (WTO) memiliki aturan perdagangan bebas di bidang sektor jasa, yaitu
General Agreement on Trade in Services (GATS). Agenda liberalisasi pendidikan
sudah cukup lama dipandang sebagai sektor yang akan diliberalisasi. Selama
ini, yang sudah masuk ke dalam liberalisasi jasa ini adalah sektor keuangan,
pariwisata, telekomunikasi, dan tenaga kerja (movement of persons).
Liberalisasi sektor jasa
pendidikan dalam ASEAN tampaknya mengikuti langkah GATS. Lambat atau cepat,
liberalisasi pendidikan akan masuk ke agenda. Mau tidak mau, tekanan
negosiasi dan tekanan ekonomis atau diplomatik akan mendorong pembahasan
agenda perundingan liberalisasi pendidikan di Tanah Air.
Satu hal yang perlu kita
simak, liberalisasi jasa GATS tidak mewajibkan setiap negara anggota
WTO—termasuk Indonesia—harus meliberalisasi seluruh sektor jasanya. Prinsip
GATS dalam WTO yang terpenting adalah liberalisasi progresif (Article XIX-XXI
GATS) dan ketentuan khusus bagi negara berkembang (Article IV GATS).
Liberalisasi progresif
berarti setiap negara anggota WTO dapat meliberalisasi jasanya secara
bertahap. Liberalisasi ini bergantung negosiasi negara-negara anggota.
Termasuk di dalamnya negosiasi berdasarkan prinsip resiprositas atau timbal
balik.
Ketentuan khusus bagi
negara berkembang membolehkan negara berkembang meliberalisasi bidang-bidang
apa saja yang menurut kepentingan ekonomi mereka dapat diliberalisasi.
Sebaliknya, negara berkembang dapat tidak meliberalisasi sektor jasa yang
menurut kepentingan ekonominya tidak atau belum dapat diliberalisasi.
Masalahnya, seperti
disebut di atas, adanya kenyataan bahwa praktik dan peraturan
perundang-undangan kita sudah pro kepada liberalisasi ini. Bagaimana
mengantisipasinya?
Alternatif pertama,
mengubah atau mencabut peraturan perundang-undangan yang pro-liberalisasi di
atas. Konsekuensi dari pilihan langkah ini adalah penutupan lembaga
pendidikan asing. Implikasinya, pemerintah harus siap diprotes, atau skenario
terburuknya digugat secara hukum oleh lembaga pendidikan asing.
Alternatif kedua,
memperberat syarat-syarat pendirian lembaga pendidikan asing, termasuk
penerapan syarat resiprositas yang ketat. Persyaratan dirancang sedemikian
rupa sehingga sulit untuk dipenuhi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar