Rabu, 16 Januari 2013

Perburuhan Pasca-otoritarian


Perburuhan Pasca-otoritarian
Erman Suparno ;  Menteri Tenaga Kerja RI KIB I Periode 2005-2009
KOMPAS, 16 Januari 2013



Menjelang akhir 2012, di sejumlah daerah, aksi buruh turun ke jalan kian marak. Substansinya hampir seragam: buruh menuntut kenaikan upah minimum provinsi yang penetapannya desentralistik disesuaikan dengan kondisi daerah masing-masing.
Mekanisme dan besaran pengupahan menuntut negosiasi alot. Di sinilah arti kita hidup di era pasca-otoritarian dan demokratisasi. Sikap-sikap represif harus dijauhi berbagai pihak, baik buruh, pengusaha, maupun pemerintah. Fokus beralih dari podium para orator dan pendekatan kekuasaan ke kelihaian negosiator di atas meja dialog. Inilah makna sesungguhnya demokrasi kerakyatan kita sebagaimana bunyi sila ke-4 Pancasila yang diapit sila ke-3 tentang persatuan Indonesia dan sila ke-5 tentang keadilan sosial.
Konflik adalah ujian bagi demokrasi kerakyatan kita, termasuk di dalamnya konflik perburuhan. Perbedaan perspektif antara buruh dan pengusaha akan selalu menjadi konflik berkepanjangan ketika tidak dapat dikelola dengan baik.
Perspektif kalangan buruh dibangun oleh fakta betapa tingkat pemenuhan kebutuhan mendasar hidup sulit dicukupi oleh kisaran penghasilan mereka saat ini. Hal ini tentu terkait fluktuasi harga kebutuhan mendasar hidup yang dikuasai hukum pasar, ditambah faktor perubahan iklim dan permainan para spekulan yang membuat harga kebutuhan mendasar hidup bersifat tak terprakirakan. Sementara, perspektif pengusaha didasari beban rasio biaya produksi yang di era otonomi daerah makin melembagakan ekonomi biaya tinggi. Ini artinya penyelesaian konflik perburuhan tak bisa sektoral sebatas Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, tetapi juga melibatkan kementerian terkait.
Periode Transisi
Saat duduk selaku Menakertrans (2005- 2009), penulis dihadapkan pada situasi problematis transisional. Era otoritarian yang diwarnai represi beralih ke era pasca-otoritarian yang menuntut penguatan hak-hak masyarakat sipil. Di masa itu, aksi buruh marak terjadi dan mesti diapresiasi sebagai aktualisasi perjuangan buruh yang dijamin konstitusi. Kita semua tahu, pada masa Orde Baru keberadaan buruh hanya bagian dari strategi menarik investasi asing. Buruh adalah masyarakat yang diam. Diam dan menerima saat hanya dibayar kurang dari 1 dollar AS per hari dalam kondisi kerja layaknya penjara.
Buruh yang diam dalam jumlah berlimpah merupakan daya pikat arus masuk modal asing. Situasi perburuhan di masa itu sarat kontradiksi dan jauh dari cita-cita keadilan sosial. Di satu sisi, dari arus investasi asing, negara mendapat sumber pemasukan berlimpah. Di sisi lain, buruh hidup dalam situasi pemiskinan yang sudah seperti lingkaran setan.
Dengan upah bulanan Rp 40.000-Rp 50.000 per bulan, kalangan buruh hanya dapat menutupi sepertiga dari kebutuhan dasar hidup. Kenyataan ini dialami buruh yang bekerja di industri pertenunan, tekstil, dan sepatu di sepanjang 1970-an sampai 1990-an. Untuk mengubah kenyataan itu menjadi kenyataan baru sebagai gerak ke depan menuju kemajuan adalah tugas dan tanggung jawab pemerintah, bukan hanya Kemnakertrans. Situasi problematis transisional di atas telah menghadapkan penulis pada tugas rangkap: menjaga keberadaan buruh sebagai modalitas produksi nasional di saat intensitas mobilisasi kalangan buruh yang meningkat serta mengupayakan tumbuhnya iklim investasi dan memunculkan sikap responsibilitas di kalangan pengusaha.
Jelas tugas rangkap itu tidak mudah. Perserikatan buruh kita masih terjebak dalam euforia Reformasi, tetapi lemah dalam daya negosiasi dan penguasaan advokasi hukum tentang hak-hak normatif mereka. Di Amerika Serikat, misalnya, serikat buruh di lingkungan perusahaan dapat mengirim pemiliknya ke bui jika terbukti melecehkan hak-hak karyawan. Sementara itu, dalam skala makro, negara masih minim mengalokasikan dana program sosial untuk kalangan buruh dan pekerja informal bawah. Ini menjadi persoalan mendasar yang membuat konflik kepentingan buruh-pengusaha menjadi demikian sulit diurai.
Oleh karena itu, penulis menempuh langkah kreatif: mempromosikan program Jamsostek dengan menyurati Meneg BUMN waktu itu untuk meminta BUMN mengikutsertakan seluruh pekerja di BUMN dalam program Jamsostek, yang sifatnya wajib menurut UU Nomor 3 Tahun l992. Bahkan, untuk mendorong kepesertaan pekerja sektor informal dalam program Jamsostek, penulis selaku Menakertrans waktu itu mengeluarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No 24/2006 mempromosikan program Jamsostek kepada pekerja informal dengan mengalokasikan sebagian dana APBN untuk subsidi premi selama setahun.
Pada hemat saya, masuknya seluruh pekerja dalam program Jamsostek akan berguna bagi negara. Dengan banyaknya peserta, nilai kontribusi yang dikelola dapat digunakan untuk menutup kekurangan investasi di Indonesia. Sebagian dana ini akan siap diinvestasikan, termasuk ke sektor riil yang menyerap tenaga kerja. Nantinya hasil investasi akan kembali ke peserta, bukan diambil pemerintah sebagai dividen seperti sekarang.
Dana hasil investasi justru dapat diberikan sebagai dividen atau digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan peserta. Selama ini, dalam jumlah sangat terbatas, dana PT Jamsostek disalurkan dalam kredit lunak kepada peserta untuk pinjaman uang muka perumahan dalam program Percepatan Pembangunan Perumahan Pekerja untuk Peningkatan Kesejahteraan Pekerja (P5KP).
Dalam rangka ini, penulis selaku Menakertrans pada waktu itu mengusahakan kerja sama tiga pihak dengan Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri antara Menakertrans, Menteri Pekerjaan Umum, dan Men Perumahan Rakyat untuk menyediakan perumahan di dekat lokasi kerja agar pekerja dapat menghemat ongkos transportasi, yang bisa mencapai 30 persen gaji mereka. Pembangunan, misalnya rusunawa di kawasan industri, selain menjadi daya suntik motivasi produktivitas kerja, juga dapat menciptakan lapangan kerja yang cukup besar.
Subsidi BBM ke Program Sosial
Di negara kawasan Skandinavia, pemerintah menerapkan konsep program sosial lewat pemberian subsidi tepat sasaran, seperti akses pendidikan murah serta transportasi murah dan nyaman. Begitu juga di negara kawasan Amerika Latin, seperti Venezuela dan Brasil, program sosial dilakukan dengan berkelanjutan dan dilandasi cita-cita keadilan sosial. Di Venezuela, misalnya, dana pendapatan minyak digunakan pemerintah untuk menggulirkan subsidi makanan bagi rakyat miskin melalui program Mercal, yakni supermarket subsidi yang menyediakan kebutuhan pokok dengan harga sangat murah khusus kepada kalangan buruh dan masyarakat berpenghasilan kecil.
Di Brasil ada program Bolsa Familia yang digulirkan Lula da Silva yang berhasil menurunkan jumlah penduduk miskin dari 20 juta menjadi 16 juta dan diteruskan oleh Presiden Rousseff melalui program Brasil Sem Miseria dengan target menghapus kemiskinan dari Brasil.
Di Indonesia ada subsidi BBM, tetapi kebijakan ini bukanlah program sosial yang prorakyat bawah. Penulis tidak ingin mengatakan ada tendensi politis di balik subsidi BBM yang terkesan populis ini, tetapi faktanya subsidi BBM jauh dari tepat sasaran serta tidak memihak kalangan buruh dan jutaan masyarakat miskin kita.
Tahun 2012 saja, anggaran yang dihabiskan untuk subsidi BBM Rp 222,8 triliun. Fakta di lapangan, sebagaimana dilansir Kompas, 70 persen jatuh ke tangan yang tidak berhak. Pemerintah menyubsidi para pemilik kendaraan pribadi sebanyak Rp 120.000 per hari. Ini ironis bila disandingkan dengan kenyataan bagaimana kalangan buruh dan pekerja informal kita hidup dengan penghasilan pas-pasan tanpa jaminan kesehatan, hari tua, kematian, pensiun, dan kecelakaan kerja.
Dengan taksiran jumlah alokasi anggaran subsidi BBM sebesar itu, selain pembangunan dan perbaikan infrastruktur, ada banyak program sosial yang dapat digulirkan yang berdampak langsung pada perbaikan kualitas kehidupan kalangan buruh dan masyarakat kita. Dapat juga diupayakan pelatihan untuk meningkatkan kapasitas organisasi buruh dan kualitas buruh kita. Apabila persoalan perumahan, kesehatan, pendidikan, dan jaminan ketenagakerjaan telah terselesaikan, logika sederhana permasalahan upah minimum provinsi akan selesai melalui mekanisme negosiasi tanpa diwarnai aksi turun ke jalan, penutupan tol, dan berbagai kerusuhan sebagaimana terjadi di Sumatera Utara. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar