Perburuhan
Pasca-otoritarian
Erman Suparno ; Menteri Tenaga Kerja RI
|
KOMPAS,
16 Januari 2013
Menjelang akhir 2012, di
sejumlah daerah, aksi buruh turun ke jalan kian marak. Substansinya hampir
seragam: buruh menuntut kenaikan upah minimum provinsi yang penetapannya
desentralistik disesuaikan dengan kondisi daerah masing-masing.
Mekanisme
dan besaran pengupahan menuntut negosiasi alot. Di sinilah arti kita hidup di
era pasca-otoritarian dan demokratisasi. Sikap-sikap represif harus dijauhi
berbagai pihak, baik buruh, pengusaha, maupun pemerintah. Fokus beralih dari
podium para orator dan pendekatan kekuasaan ke kelihaian negosiator di atas
meja dialog. Inilah makna sesungguhnya demokrasi kerakyatan kita sebagaimana
bunyi sila ke-4 Pancasila yang diapit sila ke-3 tentang persatuan Indonesia
dan sila ke-5 tentang keadilan sosial.
Konflik
adalah ujian bagi demokrasi kerakyatan kita, termasuk di dalamnya konflik
perburuhan. Perbedaan perspektif antara buruh dan pengusaha akan selalu
menjadi konflik berkepanjangan ketika tidak dapat dikelola dengan baik.
Perspektif
kalangan buruh dibangun oleh fakta betapa tingkat pemenuhan kebutuhan
mendasar hidup sulit dicukupi oleh kisaran penghasilan mereka saat ini. Hal
ini tentu terkait fluktuasi harga kebutuhan mendasar hidup yang dikuasai
hukum pasar, ditambah faktor perubahan iklim dan permainan para spekulan yang
membuat harga kebutuhan mendasar hidup bersifat tak terprakirakan. Sementara,
perspektif pengusaha didasari beban rasio biaya produksi yang di era otonomi
daerah makin melembagakan ekonomi biaya tinggi. Ini artinya penyelesaian
konflik perburuhan tak bisa sektoral sebatas Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi, tetapi juga melibatkan kementerian terkait.
Saat
duduk selaku Menakertrans (2005- 2009), penulis dihadapkan pada situasi
problematis transisional. Era otoritarian yang diwarnai represi beralih ke
era pasca-otoritarian yang menuntut penguatan hak-hak masyarakat sipil. Di
masa itu, aksi buruh marak terjadi dan mesti diapresiasi sebagai aktualisasi
perjuangan buruh yang dijamin konstitusi. Kita semua tahu, pada masa Orde Baru
keberadaan buruh hanya bagian dari strategi menarik investasi asing. Buruh
adalah masyarakat yang diam. Diam dan menerima saat hanya dibayar kurang dari
1 dollar AS per hari dalam kondisi kerja layaknya penjara.
Buruh
yang diam dalam jumlah berlimpah merupakan daya pikat arus masuk modal asing.
Situasi perburuhan di masa itu sarat kontradiksi dan jauh dari cita-cita
keadilan sosial. Di satu sisi, dari arus investasi asing, negara mendapat
sumber pemasukan berlimpah. Di sisi lain, buruh hidup dalam situasi
pemiskinan yang sudah seperti lingkaran setan.
Dengan
upah bulanan Rp 40.000-Rp 50.000 per bulan, kalangan buruh hanya dapat
menutupi sepertiga dari kebutuhan dasar hidup. Kenyataan ini dialami buruh
yang bekerja di industri pertenunan, tekstil, dan sepatu di sepanjang 1970-an
sampai 1990-an. Untuk mengubah kenyataan itu menjadi kenyataan baru sebagai
gerak ke depan menuju kemajuan adalah tugas dan tanggung jawab pemerintah,
bukan hanya Kemnakertrans. Situasi problematis transisional di atas telah
menghadapkan penulis pada tugas rangkap: menjaga keberadaan buruh sebagai
modalitas produksi nasional di saat intensitas mobilisasi kalangan buruh yang
meningkat serta mengupayakan tumbuhnya iklim investasi dan memunculkan sikap
responsibilitas di kalangan pengusaha.
Jelas
tugas rangkap itu tidak mudah. Perserikatan buruh kita masih terjebak dalam
euforia Reformasi, tetapi lemah dalam daya negosiasi dan penguasaan advokasi
hukum tentang hak-hak normatif mereka. Di Amerika Serikat, misalnya, serikat
buruh di lingkungan perusahaan dapat mengirim pemiliknya ke bui jika terbukti
melecehkan hak-hak karyawan. Sementara itu, dalam skala makro, negara masih
minim mengalokasikan dana program sosial untuk kalangan buruh dan pekerja
informal bawah. Ini menjadi persoalan mendasar yang membuat konflik
kepentingan buruh-pengusaha menjadi demikian sulit diurai.
Oleh
karena itu, penulis menempuh langkah kreatif: mempromosikan program Jamsostek
dengan menyurati Meneg BUMN waktu itu untuk meminta BUMN mengikutsertakan
seluruh pekerja di BUMN dalam program Jamsostek, yang sifatnya wajib menurut
UU Nomor 3 Tahun l992. Bahkan, untuk mendorong kepesertaan pekerja sektor
informal dalam program Jamsostek, penulis selaku Menakertrans waktu itu
mengeluarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No 24/2006
mempromosikan program Jamsostek kepada pekerja informal dengan mengalokasikan
sebagian dana APBN untuk subsidi premi selama setahun.
Pada
hemat saya, masuknya seluruh pekerja dalam program Jamsostek akan berguna
bagi negara. Dengan banyaknya peserta, nilai kontribusi yang dikelola dapat
digunakan untuk menutup kekurangan investasi di Indonesia. Sebagian dana ini
akan siap diinvestasikan, termasuk ke sektor riil yang menyerap tenaga kerja.
Nantinya hasil investasi akan kembali ke peserta, bukan diambil pemerintah
sebagai dividen seperti sekarang.
Dana
hasil investasi justru dapat diberikan sebagai dividen atau digunakan untuk
meningkatkan kesejahteraan peserta. Selama ini, dalam jumlah sangat terbatas,
dana PT Jamsostek disalurkan dalam kredit lunak kepada peserta untuk pinjaman
uang muka perumahan dalam program Percepatan Pembangunan Perumahan Pekerja
untuk Peningkatan Kesejahteraan Pekerja (P5KP).
Dalam
rangka ini, penulis selaku Menakertrans pada waktu itu mengusahakan kerja
sama tiga pihak dengan Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri antara
Menakertrans, Menteri Pekerjaan Umum, dan Men Perumahan Rakyat untuk
menyediakan perumahan di dekat lokasi kerja agar pekerja dapat menghemat
ongkos transportasi, yang bisa mencapai 30 persen gaji mereka. Pembangunan,
misalnya rusunawa di kawasan industri, selain menjadi daya suntik motivasi
produktivitas kerja, juga dapat menciptakan lapangan kerja yang cukup besar.
Di
negara kawasan Skandinavia, pemerintah menerapkan konsep program sosial lewat
pemberian subsidi tepat sasaran, seperti akses pendidikan murah serta
transportasi murah dan nyaman. Begitu juga di negara kawasan Amerika Latin,
seperti Venezuela dan Brasil, program sosial dilakukan dengan berkelanjutan
dan dilandasi cita-cita keadilan sosial. Di Venezuela, misalnya, dana
pendapatan minyak digunakan pemerintah untuk menggulirkan subsidi makanan
bagi rakyat miskin melalui program Mercal, yakni supermarket subsidi yang
menyediakan kebutuhan pokok dengan harga sangat murah khusus kepada kalangan
buruh dan masyarakat berpenghasilan kecil.
Di
Brasil ada program Bolsa Familia yang digulirkan Lula da Silva yang berhasil
menurunkan jumlah penduduk miskin dari 20 juta menjadi 16 juta dan diteruskan
oleh Presiden Rousseff melalui program Brasil Sem Miseria dengan target
menghapus kemiskinan dari Brasil.
Di
Indonesia ada subsidi BBM, tetapi kebijakan ini bukanlah program sosial yang
prorakyat bawah. Penulis tidak ingin mengatakan ada tendensi politis di balik
subsidi BBM yang terkesan populis ini, tetapi faktanya subsidi BBM jauh dari
tepat sasaran serta tidak memihak kalangan buruh dan jutaan masyarakat miskin
kita.
Tahun
2012 saja, anggaran yang dihabiskan untuk subsidi BBM Rp 222,8 triliun. Fakta
di lapangan, sebagaimana dilansir Kompas, 70 persen jatuh ke tangan yang
tidak berhak. Pemerintah menyubsidi para pemilik kendaraan pribadi sebanyak
Rp 120.000 per hari. Ini ironis bila disandingkan dengan kenyataan bagaimana
kalangan buruh dan pekerja informal kita hidup dengan penghasilan pas-pasan
tanpa jaminan kesehatan, hari tua, kematian, pensiun, dan kecelakaan kerja.
Dengan
taksiran jumlah alokasi anggaran subsidi BBM sebesar itu, selain pembangunan
dan perbaikan infrastruktur, ada banyak program sosial yang dapat digulirkan
yang berdampak langsung pada perbaikan kualitas kehidupan kalangan buruh dan
masyarakat kita. Dapat juga diupayakan pelatihan untuk meningkatkan kapasitas
organisasi buruh dan kualitas buruh kita. Apabila persoalan perumahan,
kesehatan, pendidikan, dan jaminan ketenagakerjaan telah terselesaikan,
logika sederhana permasalahan upah minimum provinsi akan selesai melalui
mekanisme negosiasi tanpa diwarnai aksi turun ke jalan, penutupan tol, dan
berbagai kerusuhan sebagaimana terjadi di Sumatera Utara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar