Bersama
Tangani Terorisme
Said Aqil Siradj ; Ketua Umum PBNU
|
KOMPAS,
16 Januari 2013
Kembali teroris berulah.
Di awal Januari 2013 ini, Detasemen Khusus Anti-teror 88 menembak mati lima
terduga teroris di Dompu dan Bima. Kelima tersangka itu, menurut polisi,
bagian dari tujuh teroris yang masuk dalam daftar pencarian orang dari Poso
yang masuk ke Bima melalui jalur pelayaran dari Makassar, Sulawesi Selatan.
Densus 88 juga menemukan bahan baku 261 bom pipa di Dompu, Nusa Tenggara
Barat.
Kawanan
teroris ini diduga mengincar kawasan wisata yang ramai dikunjungi wisatawan.
Teroris juga diduga menargetkan menghancurkan sebuah hotel di Bima. Selain di
NTB, teroris juga diduga hendak menghancurkan tempat ibadah dan kantor polisi
di Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Rupanya teroris masih kuat bercokol di
negeri ini, terus berbenah diri, membangun sel-sel jaringan, dan siap
melancarkan aksinya. Banyak yang mengakui bahwa gerakan kelompok terorisme
sangat terorganisasi, dinamis, dan memiliki tujuan tertentu. Jangan kaget
bila jaringan teroris telah menyebar di berbagai wilayah di Indonesia.
Terorisme
barangkali layak diibaratkan penyakit diabetes. Manakala seseorang sudah
terkena penyakit yang disebut-sebut sebagai pembunuh manusia tingkat kedua di
dunia setelah kanker tersebut, ia seolah sudah divonis mustahil sembuh. Kadar
gula penyandang diabetes kadang naik, kadang turun, bergantung pola diet
makan, obat, dan olahraga.
Kata
dokter, belum ditemukan obat mujarab untuk menyembuhkan penyakit yang
menyerang pankreas tersebut. Namun, sudah banyak obat yang setidaknya bisa
menurunkan atau menetralkan kadar gula, baik medis maupun herbal.
Persis
dengan seseorang yang sudah terjangkiti ”penyakit” radikal dan terorisme.
Entah karena awalnya berangkat dari ikut-ikutan pengajian-pengajian ”keras”,
salah dalam membaca buku keagamaan, atau akibat rasa ”terasing” dari
pergaulan sosial alias frustrasi sosial, masalah keterjepitan ekonomi, dan
sebagainya.
Mengobati
militansi yang didasari semangat jihad yang kebablasan ini memang tak seperti
membalik tangan. Namun, jelas perlu terapi yang mujarab. Memang sudah cukup
banyak dilakukan, seperti deradikalisasi, resosialisasi, reedukasi, dan
reintegrasi. Cara-cara tersebut harus terus digencarkan demi kemanjuran
menyembuhkan penyakit akibat ”overdosis” dalam memaknai ajaran keagamaan.
Pada
7 Januari lalu, saya kedatangan empat warga Poso, Sulawesi Tengah. Mereka ke
PBNU difasilitasi aktivis Gerakan Pemuda Anshor dan dua komisioner Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia. Keempat orang ini meluapkan kecemasan terhadap
sikap aparat dalam penanganan terorisme belakangan ini. Setelah mendengar
segala keluh kesah mereka, saya manggut-manggut dan berjanji akan mencoba
menyampaikan laporan warga Poso ini kepada Presiden.
Apa
yang hendak saya wedarkan ini tentu sama sekali bukan untuk menggembosi
tindakan pemberantasan teroris, tetapi lebih sebagai upaya membantu agar
penanganan terorisme bisa lebih baik. Kita berharap penanganan sejumlah kasus
dugaan terorisme di Tanah Air lebih profesional, menghindari sikap represif
yang dapat menimbulkan waswas di masyarakat.
Memang,
menghadapi ulah teroris seolah kita dibuat ”kelabakan” atau katakanlah
”dilematis”. Padahal, kelompok teroris ini bila beraksi bertindak brutal
tanpa mengindahkan norma sosial dan bahkan keagamaan. Namun, pihak berwenang
dituntut dalam menangani teroris harus selalu berjalan di jalur hukum dan
norma-norma kemanusiaan lantaran perlu sealur dengan pemberlakuan HAM yang
didudukkan sebagai ”norma internasional”. Misalnya, salah tangkap atau salah
tembak bisa menimbulkan gejolak yang makin memanaskan suasana.
Adanya
”rambu-rambu” seperti ini bisa-bisa menimbulkan sikap dan tindakan ”maju kena
mundur kena” sekalipun perlakuan dan penanganan terhadap terorisme lebih
punya ”keleluasaan” dibanding penanganan kejahatan biasa. Sebab, terorisme
dimasukkan kategori kejahatan luar biasa (extraordinary
crime).
Sebenarnya
yang justru lebih menarik dan bikin penasaran adalah model penanganan
terorisme di negeri kita yang dirasa masih ”luwes dan lunak”. Namun ternyata,
penanganan terorisme di negeri ini dipandang paling sukses dibanding negara
lain, bahkan dibanding Amerika
Fakta
ini perlu jadi kebanggaan kita sebagai bangsa yang beradab dan menjunjung
tinggi nilai-nilai ketimuran sehingga segala upaya penindakan terhadap segala
bentuk brutalisme selalu berjalan berdasar pada hukum yang berlaku serta
norma-norma yang adiluhung. Bukan
lantas menjadi ”peluang” bagi kelompok-kelompok tertentu untuk melakukan aksi
anarkis, terutama terhadap mereka yang diposisikan sebagai minoritas.
Tak
bisa dimungkiri, aksi terorisme merupakan tindakan sadis yang melanggar
kemanusiaan dan ajaran mulia keagamaan. Prinsip ini yang secara fundamental
wajib menjadi pegangan dalam menindaklanjuti upaya melawan teroris. Jangan
sampai kemudian tindakan yang sudah dirancang bangun demikian rupa jadi
terkesan ”lembek”.
Apa
dan siapa teroris itu? Teroris bukan penyandang sakit jiwa (psikopat),
penderita gangguan jiwa (neurotik), atau orang- orang yang sadis. Pengamat
Barat sebelumnya menghujami tuduhan, teroris itu akibat ketersumbatan libido
seksual mereka lantaran banyaknya larangan perilaku seksual dalam ajaran
Islam.
Meminjam
hasil penelitian Sarlito Wirawan Sarwono (2012), para teroris adalah
orang-orang biasa. Beberapa di antaranya bahkan tergolong cerdas. Kebetulan
mereka punya ideologi berbeda dengan kita. Ideologi ini sangat diyakini
seolah-olah ideologi mereka paling benar dan yang lain salah.
Para
teroris adalah orang-orang normal yang beranak-istri, setia kawan, patuh pada
orangtua, dan bekerja mencari nafkah sebelum buron.
Ideologi
mereka tak ubahnya ideologi-ideologi radikal lainnya yang berada di luar
basis keagamaan. Sebutlah ideologi kaum kiri yang bersumber pada Marxisme
seperti pemberontak komunis di Kolombia dan Filipina. Juga seperti
sekte-sekte radikal Aum Shinrikyo di Jepang dan Yoel Lerner dari Yahudi
radikal di Israel. Mereka sangat militan dalam doktrin dan kalap dalam
melakukan aksi kekerasan.
Akhirnya,
kita perlu menimang-nimang pemahaman yang lebih baik atas gejala terorisme
sehingga mampu menindaknya lebih cepat dan tepat. Pendekatan komprehensif
banyak diakui berbagai pihak belum terlaksana dalam penanganan terorisme di
negeri ini.
Apa
yang selama ini dilakukan, seperti program deradikalisasi, perlu lebih
ditingkatkan menjadi program disengagement. Maksudnya, kita tak lagi hanya
berkutat di tataran ideologi, tetapi juga di tataran perilaku.
Seiring
itu, perlu keterlibatan masyarakat dalam memberi informasi, mewaspadai, dan
menyikapi bekas narapidana teroris sehingga langkah-langkah pembinaan,
preventif, dan penegakan hukum menjadi lebih sinergis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar