Irama
Globalisasi
Musthafa Abd Rahman ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
16 Januari 2013
Pernyataan tahunan Menteri
Luar Negeri Marty Natalegawa seharusnya mengungkap posisi strategis Indonesia
di tengah globalisasi. Namun, selama empat tahun terakhir, pernyataan tahunan
tersebut ternyata tak mampu memproyeksi strategi kebijakan luar negeri kita,
cerminan dari pemerintahan yang tidak kreatif dan tidak tanggap terhadap
perubahan globalisasi.
Kebijakan
politik luar negeri Indonesia tidak mampu merumuskan langkah perlindungan
komprehensif tenaga kerja di luar negeri, selain sekadar merumuskannya dalam
angka dan bersifat reaktif atas berbagai insiden di sejumlah negara penampung
TKI.
Intellectual
leadership yang didengungkan Menlu RI tahun 2011 ternyata tak mampu menjaga
peran sentral ASEAN yang mengarah pada ”Insiden Phnom Penh” tanpa
menghasilkan tradisi komunike bersama karena diboikot China akibat perubahan
konstelasi geostrategi regional atas wilayah Laut China Timur dan Laut China
Selatan.
Ironisnya,
Doktrin Natalegawa tentang keseimbangan dinamis yang kita banggakan dan
dengungkan sebagai landasan strategis politik luar negeri Indonesia tidak
dirumuskan dalam konsep, mekanisasi, dan operasionalisasi memadai demi
terciptanya lingkungan geostrategis global bagi Indonesia dalam membangun
kawasan Asia menuju keamanan dan kemakmuran bersama.
Akibatnya,
kebijakan luar negeri Indonesia menjadi malu-malu, tidak bebas, dan tidak
aktif, tidak berkeseimbangan, dan tidak dinamis. Ini tecermin pada awal bulan
ini, ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Bogor menyatakan
Presiden Suriah harus mundur bagi penyelesaian damai perang saudara di
negaranya. Bandingkang apa yang disampaikannya kepada Sekjen PBB Ban Ki-moon
pada Juli 2012 yang menyebutkan ”menciptakan perdamaian tidak untuk mengubah
pemerintahan yang ada” di Suriah.
Ada
dua faktor yang kita catat. Pertama, adanya kesan bahwa dalam beberapa tahun
terakhir ini, ”Doktrin Natalegawa”
Akibatnya,
sering kali masukan tentang kebijakan politik luar negeri menjadi tidak
komprehensif, dan cenderung menjadi retorika dan simbolis, bersifat program
jangka pendek menghadapi insiden atau peristiwa internasional, seperti KTT
ASEAN, atau APEC, dan sejenisnya.
Kedua,
dinamika globalisasi di tengah resesi global berkepanjangan sejak tahun 2008
menghadirkan kenyataan baru, ketika teknologi menihilkan jarak serta
demokrasi bersaing dengan kediktatoran, membentuk internasionalisasi
peradaban sebagai persoalan semua negara bangsa. Kesadaran moral global dalam
masyarakat dunia terbentuk tanpa disadari sebagai akibat keterkaitan ekonomi
dunia melalui interaksi uang, perdagangan, dan orang, yang belum pernah ada
presedennya.
Berbagai
kawasan dunia, termasuk Asia Tenggara, berhadapan dengan pertanyaan tentang
perang dan damai, ketika struktur aliansi pascaperang anti-teror di Irak dan
Afganistan terkorosi rontoknya dominasi Barat. Era Musim Semi Arab sampai
kebangkitan China menyisakan persoalan-persoalan marginal tentang prestise,
eskalasi, kredibilitas, ataupun kemampuan militer.
Kebijakan
luar negeri Indonesia memiliki tantangan luas dan masif dalam menerjemahkan
Antara
lain, bagaimana politik luar negeri Indonesia mengantisipasi perilaku
kompleksitas ketidakamanan China di tengah perubahan global ini ketika harus
berhadapan dengan perimbangan ulang kebijakan ”poros Asia” yang digelar
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar