Penegakan
Hukum Rasa Pencitraan
Ahmad Yani ; Wakil Ketua Fraksi PPP DPR RI
|
SINDO,
01 Januari 2013
Atas nama kepentingan pencitraan, pemerintah dan institusi
penegak hukum mereduksi ketajaman pisau hukum negara. Akibatnya, penurunan
kualitas penegakan hukum dan ambivalensi pemberantasan korupsi sudah menjadi
fakta yang tak terbantahkan.
Potret penegakan hukum di tahun 2012 masih jauh panggang dari api. Penyimpangan proses penegakan hukum nyaris telanjang di ruang publik, ditandai dengan menguatnya peran mafia peradilan, tebang pilih atau diskriminasi, hingga tawar- menawar dakwaan dan vonis pengadilan. Ketelanjangan penyimpangan itu bisa dirasakan atau dilihat semua elemen masyarakat, dari kelompok pemerhati sampai orang kebanyakan yang awam hukum. Tragisnya lagi, baik pemerintah maupun penegak hukum bahkan tidak lagi merasa malu mempertontonkan perlaku menyimpang. Ibarat kendaraan bermotor, hukum di negara ini rusak parah. Kerusakan itu menjadi semakin sulit diperbaiki karena kepemimpinan nasional tidak hanya lemah, tetapi juga tidak responsif. Koordinasi dan sinergi antar institusi penegak hukum sekarang ini kacau balau. Desakan publik kepada pemimpin untuk segera memulihkan koordinasi dan sinergi diabaikan dengan alasan tidak mau mengintervensi. Kerusakan di tubuh institusi hukum negara saat ini menimbulkan ekses yang luar biasa bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Kepercayaan masyarakat terhadap aparat dan institusi penegak pun sudah mendekati titik nol. Kecenderungan seperti itu menimbulkan konsekuensi yang sangat menakutkan. Ketika sebuah komunitas terperangkap masalah dan tidak mendapatkan jalan keluar untuk mengeliminasi potensi konflik,komunitas-komunitas itu “dipaksa” memilih caranya sendiri,karena pemerintah dan penegak hukum tak kunjung hadir. Tak jarang, pilihan itu tampak sangat ekstrem, sebagaimana tercermin dari rangkaian konflik horizontal di berbagai daerah belakangan ini. Bahkan, pimpinan nasional sekalipun tak mampu menawarkan solusi atau opsi perbaikan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri hanya bisa mengeluh dan, tentu saja sambil berusaha memperbaiki citra kepemimpinannya. Berbicara kepada jajaran Kejaksaan Agung pada bulan Juli lalu, Presiden berujar, “Sekarang, bagi yang jujur,bagi yang objektif, kalau membaca bagaimana dunia melihat rapor kita, yang nilainya biru makin banyak dan terus bertambah banyak, sedangkan yang merah makin sedikit. ” Jadi, Presiden lebih mendengar apa kata orang asing daripada menghayati apa yang dirasakan rakyat Indonesia. Rakyat didorong untuk berpandangan sama dengan orang asing dalam menilai citra dan kinerja kepemimpinannya. Padahal, pandangan asing lebih karena alasan basa-basi diplomasi yang sarat kepentingan dan tipu muslihat. Presiden pun langsung menunjuk aparat penegak hukum sebagai unit kerja yang mendapatkan nilai merah, khususnya aparatur pemerintah yang bertugas di bidang pemberantasan korupsi, reformasi birokrasi, dan kamtibmas. Menurut terminologi pemerintahan, kalau aparat penegak hukum mendapat nilai merah, pemerintahan itu juga tidak layak mendapatkan nilai baik, termasuk untuk bidang lainnya. Pasalnya,hukum menjadi sumber regulasi. Kinerja penegakan hukum yang buruk boleh diterjemahkan sebagai maraknya pelanggaran regulasi. Kalau banyak regulasi dilanggar, bagaimana mungkin bidang atau sektor lain bisa mendapatkan nilai biru? Kalau mau jujur,pemerintah dan institusi hukum punya andil sangat besar dalam proses penurunan kualitas penegakan hukum. Bagaimanapun, obral remisi dan grasi kepada terpidana narkoba dan terpidana korupsi layak dijadikan indikator utama upaya pelemahan penegakan hukum di negara ini.Dua kejahatan ini layak dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa. Tidak sepantasnya pemerintah dan institusi penegak hukum kompromistis terhadap pelaku dua kejahatan ini. Kalau segelintir penjahat narkoba dinilai layak mendapatkan pertimbangan kemanusiaan dan mendapatkan keringanan hukuman, untuk alasan apa pemerintah dan institusi penegak hukum tidak memedulikan nasib jutaan warga negara yang kini masih terperangkap dalam konflik agraria.Dibandingkan dengan penjahat narkoba, bukankah jutaan warga negara yang terzalimi itu lebih layak mendapatkan pertimbangan kemanusiaan? Sekitar 4.000-an kasus berlatar belakang konflik agraria, yang melibatkan kepentingan jutaan warga negara di dalamnya, sangat membutuhkan peran dan kehadiran pemerintah, terutama presiden dan institusi penegak hukum. Namun, pemerintah lalai, dan membiarkan warga di wilayah konflik menyelesaikan persoalan-persoalan itu dengan cara dan kemampuan mereka sendiri. Pada 2012, pisau hukum juga terasa masih lebih garang kepada yang lemah.AAL (15), pelajar SMKN 3 Palu, Sulawesi Tengah, beberapa waktu lalu dipenjara lima tahun hanya karena mencuri sandal seharga Rp30.000. Basar Suyanto dan Kholil,keduanya warga Kediri, Jawa Timur, harus berurusan dengan polisi karena kedapatan mencuri sebuah semangka. Sebelum divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Kediri, keduanya pun diinapkan di ruang tahanan. Basar bahkan sempat ditipu Rp1 juta oleh seorang oknum penegak hukum yang memberi imingiming kasusnya dihentikan. Tanpa Kesungguhan Ambivalensi pemerintah dan penegak hukum dalam pemberantasan korupsi sudah membuat bangsa ini malu. Sebab, bangsa ini terkesan tak berdaya dan bisa dibodoh-bodohi dengan kebijakan, pernyataan dan pidato pencitraan. Memang, konsep pemberantasan korupsinya terdengar hebat. Presiden sendiri yang menjadi panglima perang melawan korupsi. Untuk mendukung perang itu, pada Mei 2012 diterbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 55/2012 tentang Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (Stranas-PPK) periode 2012–2014 dan 2012–- 2025.Perpres Stranas-PPK itu memperkuat kebijakan-kebijakan sebelumnya. Antara lain No 9/2011 tentang Rencana Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2011, serta Inpres No.17/2011 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2012. Semua kebijakan di atas kertas ini menunjukkan komitmen Pemerintah Indonesia terhadap Konvensi PBB mengenai program Antikorupsi yang telah diratifikasi melalui UU No 7/2006. Kalau payung hukumnya sudah sedemikian kuat,perang melawan korupsi mestinya efektif dan menghasilkan kemenangan besar. Apalagi, perang itu diperkuat dengan eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dari aspek kesiapan, peralatan dan strategi perang, rasanya tidak ada yang kurang. Dalam pertemuan dengan jajaran Kejaksaan Agung waktu itu, Presiden berharap semua simpul pemberantasan korupsi bergerak.“ Bekerja,tindak tegas— dari parpol, dari daerah manapun dan apa pun jabatannya,” katanya. Namun, dalam praktiknya, Indonesia seperti sedang bermain perang-perangan melawan korupsi. Perang itu nyaris tidak menghasilkan apa pun. Sebaliknya, rakyat menyaksikan korupsi semakin merajalela. Model kasus korupsi di proyek Hambalang membuat banyak orang hanya bisa geleng kepala. Begitu berani dan nekat, karena proyek direalisasikan tanpa sepengetahuan atau persetujuan DPR sebagai pemegang Hak Budget. Kini, kekuatan komunitas terus berkembang sehingga mampu memelopori upaya pelemahan KPK. Di tengah ketidakpastian itu, ambivalensi pemerintah dan institusi penegak hukum justru tampak sangat nyata. Pemerintah minimalis menyikapi upaya pelemahan KPK. Kasus korupsi skala kecil ditindak tegas, sementara korupsi skala besar diambangkan. Tidak ada yang tahu kapan skandal Bank Century bisa dituntaskan. Pun, tidak jelas apakah mafia pajak akan diperangi atau tidak. Semua inpres dan perpres pencegahan korupsi itu ibarat macan ompong. Artinya, semua konsep dan kebijakan perang melawan korupsi itu hanya alat pencitraan. Komitmen perang itu nyata-nyata minus political will dari pimpinan nasional. Dan, keengganan serta keraguan pimpinan nasional itu coba ditutup-tutupi dengan komunikasi politik di grey area untuk membangun kesan serba bersih. Selalu mengambil sisi aman sambil berspekulasi mendongkrak citra. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar