Tahun 2013
Datang, Pemilu 2014 Menjelang
Denny Indrayana ; Wakil Menteri Hukum dan HAM,
Guru Besar Hukum Tata Negara UGM |
SINDO,
01 Januari 2013
Waktu terus bergulir, tanpa berhenti, 2012 berakhir, 2013 hadir.
Selamat tahun baru Indonesiaku. Kami akan terus bersamamu, dulu, sekarang,
dan hingga akhir hayat meregang di ujung pengabdian.
Tahun 2012 telah menjadi masa lalu, 2013 menjadi masa kini, dan 2014 akan menjadi masa depan terdekat, di hadapan mata kita. Pemilu 2014 pastilah menjadi agenda politik terhangat yang harus kita persiapkan sebaik mungkin, baik pemilu legislatif,apalagi pemilu presidennya. Pasca-Oktober 2014, kita memiliki presiden baru karena Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak mungkin lagi mencalonkan diri setelah dua periode memimpin Indonesia. Aturan konstitusi kita, pascaperubahan, telah melarang seseorang menjabat sebagai presiden lebih dari dua periode. Ya, aturan konstitusi kita lebih baik. Lebih sesuai dengan prinsip-prinsip dasar demokrasi, termasuk soal pembatasan kekuasaan. Jelaslah kita tidak berjalan di tempat sebagaimana dikatakan salah satu narasumber diskusi di Yogyakarta minggu lalu. Kita malah telah maju ke depan, ke arah negara yang lebih demokratis. Tapi demokrasi tentu saja tidak selalu datang hanya dengan peluang.Tidak jarang demokrasi hadir dengan tantangan, yang tidak ringan. Salah satu tantangannya adalah bagaimana menciptakan ketertiban dan kestabilan dalam iklim yang demokratis. Demokrasi membuka ruang berbeda pendapat lebih lebar, lebih luas. Karenanya, setiap kita bebas berbicara menyampaikan pandangan, yang sangat kritis sekalipun. Tapi, bukan berarti kita diizinkan mengkritik semaunya, apalagi yang sifatnya fitnah dan mencemarkan nama baik orang lain. Kebebasan tetap ada batasnya. Bahkan dalam demokrasi yang sehat, pembatasan kebebasan adalah juga keniscayaan. Agar kebebasan tidak lepas kendali, agar kebebasan tidak justru dimanfaatkan untuk merusak demokrasi itu sendiri, kebebasan pun diatur dengan regulasi, yang menjamin kebebasan dan menjaganya sekaligus dari pelanggaran hukum. Di 2013, regulasi tentang pemilu akan menyita perhatian, tenaga, dan pikiran kita. Aturan tentang penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu) serta UU mengenai pemilu legislatif relatif sudah selesai disiapkan, salah satunya perihal syarat memiliki kursi di DPR (parliamentary threshold) yang naik menjadi 3,5%. KPU tinggal menyiapkan aturan teknis yang lebih terperinci dan Januari ini dimulai dengan pengumuman partai-partai yang akan ikut menjadi peserta Pemilu Legislatif (Pileg) 2014. Awalnya saya gembira karena partai yang ikut verifikasi faktual hanya 16 partai. Tapi dengan putusan DKPP,seluruh parpol yang dinyatakan tidak lulus verifikasi administrasi akhirnya juga mengikuti verifikasi faktual. Kendati demikian, saya tetap optimistis, parpol peserta Pileg 2014 tetap lebih sedikit daripada Pileg 2009. Satu dan lain hal karena syarat parpol peserta pileg sudah semakin ketat. Saya juga optimistis, parpol yang akan memiliki kursi di DPR akan lebih sedikit. Di tahun 2004 ada 17,menurun menjadi 9 parpol di tahun 2009,dan akan lebih turun lagi di tahun 2014—salah satunya karena parliamentary threshold yang lebih tinggi. Ya, sistem kepartaian kita menuju ke arah penyederhanaan. Meskipun dengan cara yang bertahap, hal itu lebih demokratis, yang ditentukan oleh rakyat melalui pileg. Sangat berbeda memang dengan cara cepat Orde Baru yang langsung membatasi parpol peserta pemilu hanya tiga, melalui UU Parpol. Saya pun sedang berdoa agar pilpres kita juga akan lebih baik. Pilpres 2014 adalah pemilihan langsung presiden yang ketiga kalinya setelah di tahun 2004 dan 2009. Saya yakin, kita sudah makin banyak belajar dan mampu untuk meningkatkan kualitas Pilpres 2014. Faktor penentu kesuksesan itu tidak hanya KPU dan Bawaslu selaku penyelenggara, tetapi juga kesiapan parpol peserta pileg serta para pasangan capres—dan yang tidak kalah pentingnya adalah kita sendiri, para pemilih dan seluruh pemangku kepentingannya, utamanya: media massa, LSM, perguruan tinggi, dan tokoh masyarakat lainnya. Saya meyakini, kita sudah lebih belajar dalam melakukan pemilu demokratis sejak tahun 1999, 2004, dan 2009. Tentu masih ada kekurangan penyelenggaraan, baik yang sifatnya formal maupun substansial. Namun, kita harus optimistis dari waktu ke waktu, bangsa ini makin paham dan mengerti. Saya juga meyakini pemilihan kepala daerah secara langsung juga memberi dampak positif, di samping negatif. Dampak negatifnya, pastinya adalah makin maraknya money politicsyang berujung pada banyaknya kepala daerah terjerat korupsi karena harus membayar kembali biaya politik yang telah dikeluarkannya.Namun, dampak positifnya adalah percepatan pendidikan politik kepemiluan bagi seluruh masyarakat, utamanya para pemilih. Ambil contoh Pilkada DKI Jakarta.Saya melihat kualitasnya meningkat, Pilkada 2012 lebih baik dibandingkan lima tahun sebelumnya. Yang paling terlihat adalah pasangan cagub yang hanya dua di tahun 2007 menjadi 6 pasangan cagub di tahun 2012 dengan kualitas kontestan yang juga membaik. Saya menunggu dengan optimistis Pilgub Jabar,Jateng, serta Jatim yang tahun ini akan berlangsung. Dengan keyakinan itu, saya menatap tahun 2013 dan 2014 dengan optimisme meski,mudah diprediksi,tahun 2013 dan 2014 adalah tahun politik pemilu. Itu artinya, politik hukum 2013 dan 2014 akan diwarnai dengan politik kepemiluan. Setelah agenda penentuan peserta Pileg 2013 diumumkan pada bulan Januari, DPR akan diramaikan dengan pembahasan perubahan UU Pilpres. Salah satu yang akan menjadi topik perdebatan adalah soal ambang batas syarat capres (presidential threshold). Pasti akan ada aspirasi untuk menurunkan ketatnya syarat pencapresan,utamanya presidential threshold. Kita ingat syarat capres pernah tidak ketat secara fisik, tidak ketat terkait persoalan hukum, tidak tinggi terkait syarat pendidikan, serta tidak tinggi terkait suara parpol yang mencalonkan. Semuanya untuk mewadahi para kandidat capres di Pilpres 2004. Hal demikian seharusnya tidak lagi mewarnai perumusan syarat capres 2014. Bagaimanapun, kita harus menyusun peraturan yang berjangka panjang, mengantisipasi keadaan jauh ke depan, dan bukan alasan pragmatis politik jangka pendek. Maka, saya lebih sependapat agar syarat capres tidak diubah, apalagi terkait presidential threshold meskipun itu berarti hanya akan ada maksimal 4 capres di tahun 2014. Yang lebih perlu didorong adalah agar parpol atau koalisinya memilih capres terbaik bagi bangsa ini. Maka, ketimbang menghabiskan tenaga dengan mengubah syarat capres, lebih baik kita mendorong parpol 2013 mengajukan capres terbaik— yang bukan berdasarkan transaksi politik, apalagi yang sifatnya koruptif. Sekali lagi, mari kita dorong capres dengan rekam jejak terbaik. Yang mempunyai kapasitas- intelektual, integritas-moral, di samping tingkat elektabilitasnya yang tinggi. Jika calon terbaik dengan kapasitas dan integritas itu masih rendah popularitasnya, adalah kewajiban parpol pengusung dan seluruh pemangku kepentingan– utamanya media—untuk segera menyosialisasikannya kepada khalayak pemilih. Dalam hal ini media televisi menjadi penting kontribusinya. Jangan sampai capres kita populer dan menang hanya karena mempunyai akses lebih kepada televisi. Maka, aturan tentang keberagaman pemilik media (diversity of ownership) dan keberagaman isi berita (diversity of content) menjadi sangat krusial untuk diperbaiki. Kita harus pastikan pemenang Pileg dan Pilpres 2014 adalah rakyat dan bangsa Indonesia, bukan yang lain. Kekayaan dan ketenaran saja tidak boleh menang tanpa dilengkapi kapasitas dan integritas, demi Indonesia yang lebih baik.Selamat Tahun Baru 2013. Keep on fighting for the better Indonesia. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar