Pemimpin Itu
Pelayan Rakyat
Thomas Koten ; Direktur
Social Development Center
|
SUARA
KARYA, 10 Januari 2013
Kepemimpinan merupakan
suatu topik bahasan yang sudah sangat tua usianya dalam peradaban umat
manusia, yang selalu menarik diulas, dan tidak pernah habis dibahas. Apalagi,
di era modern yang masyarakatnya semakin kompleks akibat dijejali berbagai
persoalan, seperti persoalan moral, politik, ekonomi, hukum, sosial budaya,
dan seterusnya. Hal ini membuat kita juga begitu sulit mencari pemimpin yang
tepat untuk memimpin masyarakat.
Belum lagi, mengingat
di era demokrasi, di mana peran pers begitu bebas dan kuat dalam membentuk
opini publik soal wacana-wacana yang berseliweran di ruang publik, termasuk
wacana soal kepemimpinan, baik kepemimpinan daerah maupun kepemimpinan bangsa
dan negara. Dengan begitu, banyaknya opini menyangkut sosok kriteria
kepemimpinan membuat kita juga kerap bingung sendiri soal sosok dan kriteria
kepemimpinan yang dimaksud. Dan, betapa tepatnya pemimpin yang dicari,
pemimpin itu harus baik (good leader).
Pemimpin yang baik
tentu perlu dibedakan dengan great leader. Good leader dalam bahasa
Sansekerta disebut satwic leader, yaitu pemimpin yang penuh pengorbanan,
bersifat melayani, mementingkan kepentingan umum, dan mengesampingkan
kepentingan pribadi, jujur, adil dan bijaksana. Sedangkan, great leader,
dalam bahasa Sansekerta disebut tamasic leader, yaitu pemimpin yang dalam
mencapai tujuannya lebih mengedepankan ambisi dan kepentingan pribadi, meski
berkedok demi kepentingan masyarakat yang dipimpinnya. Dalam konteks ini,
Mahatma Gandhi sebagai good leader, sedangkan Hitler dean Napoleon Bonaparte
adalah contoh tokoh-tokoh great leader.
Keharusan seorang
pemimpin menjadi seperti seorang pelayan yang mengutamakan kepentingan
masyarakat daripada kepentingan pribadi sesungguhnya sudah menjadi kehendak
masyarakat sejak zaman dulu kala. Dan, sepanjang sejarah peradaban umat
manusia di bumi, tak pernah ada masyarakat yang menghendaki dan atau memilih
pemimpin yang berada di luar kategori baik, jujur, cerdas, bertanggung jawab
denganlebih mengutamakan kepentingan masyarakat umum daripada kepentingan
pribadi.
Tokoh Bhisma
Setidaknya, hal itu
sejak 5000 tahun lalu telah diceritakan dalam kisah pewayangan. Ketika Bhisma
menunggu saat-saat terakhirnya seusai banjir darah di padang Kurukshetra
(dekat New Delhi), para Pandawa mengelilingi ksatria besar itu untuk
mendengarkan wejangan terakhir tentang kepemimpinan yang terutama ditujukan
kepada Yudisthira. Bhisma, seperti dalam kisah pewayangan, adalah kakek para
Pandawa yang sangat terkenal dengan sifatnya yang penuh pengorbanan di luar
batas manusia normal.
Sebagaimana dalam
kisah itu diceritakan tentang isi wejangan yang sangat menarik, yakni bahwa
tugas seorang pemimpin adalah mencurahkan perhatiannya kepada segenap
bawahannya (masyarakat atau rakyat) dengan mengesampingkan kepentingan
pribadi. Bahwa, pemimpin hendaknya menjadi anak buahnya (baca: rakyat)
seperti seorang ibu menjaga anaknya. Selanjutnya, seorang pemimpin juga harus
cerdas dan kuat. Itu ditujukan kepada Yudisthira yang terkenal lemah dan
kurang cerdas.
Dengan demikian,
seorang pemimpin itu menjadi sumber teladan. Kecerdasan, kebaikan, kejujuran,
ketidakegoisan, integritasnya, dan lain-lain, itulah yang menjadi sumber
teladan bagi kehidupan segenap rakyat. Lalu, bagaimana agar semua itu dapat
muncul dari dalam diri seorang pemimpin? Atau, bagaimana wajah seorang
pemimpin yang baik itu? Bagaimana karakter seorang pemimpin yang baik?
Menjadi seorang
pemimpin yang baik (credible) pada dasarnya merupakan proses perubahan pada
diri sendiri (self transformation), sehingga tercipta sebuah karakter unggul
sebagai seorang pemimpin. Menyitir Sudhamek AWS (2000), ada tiga kualitas
yang membentuk karakter pemimpin unggul, yaitu will power to persist, courage
to decide dan initiative to be a self starter. Dan, dalam hal ini, banyak
orang berlomba-lomba menjadi pemimpin, tetapi ketika orang itu menjadi
pemimpin, ternyata jauh dari berhasil. Sebaliknya, ada orang yang dinilai
kurang memiliki keahlian dan kapasitas menjadi seorang pemimpin, tetapi
ketika diberi kesempatan untuk memimpin, ternyata berhasil.
Dengan demikian,
menjadi pemimpin, berhasil atau tidaknya, harus dibuktikan di lapangan.
Bahkan, kerap seseorang itu dinilai berhasil menjadi pemimpin setelah
meninggalkan alam fana ini. Memang, kebaikan seseorang itu dinilai setelah
orang itu tidak ada lagi. Dan, seorang pemimpin yang baik bukan hanya
mengandalkan kekuatan pikiran dan kata-kata saja, atau lewat sikap dan
perilaku yang baik saja, tetapi yang lebih penting adalah melakukan tindakan
nyata tentang segala sesuatu yang dipikirkan dan diucapkan.
Hasil tindakan nyata
yang merupakan perpaduan atau hasil dari yang dipikirkan dan yang diucapkan
itulah yang akan menjadi contoh bagi masyarakat. Dus, masyarakat pun akan
mengikuti perilaku dan perkataan sang pemimpin dalam kehidupan sehari-hari.
Dan, menjadi seorang pemimpin yang berhasil jika sang pemimpin itu sanggup
mengomunikasikan segala sesuatu yang diinginkan untuk dilakukan oleh
masyarakat, dan rela mendengarkan segala aspirasi masyarakat.
Tidak semua orang
sanggup menjadi pemimpin, apalagi menjadi pemimpin yang baik. Maka, siapa pun
yang ingin menjadipemimpin, harus menakar diri, merenungkan kemampuan diri,
apakah sanggup menjadi pelayan rakyat, yang sungguh-sungguh bisa berkorban
untuk kepentingan masyarakat dan mengesampingkan kepentingan diri. Jika
seseorang tidak mau menjadi pelayan dan tidak sanggup berkorban untuk
kepentingan masyarakat, janganlah mencoba menjadi pemimpin. Lantaran, politik
yang luhur dan kekuasaan yang sesungguhnya, kata Harry Truman, adalah pelayan
publik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar