Kamis, 10 Januari 2013

Sekali Lagi, Pancasila


Sekali Lagi, Pancasila
Sumasno Hadi ;   Alumni Master Filsafat UGM
SUARA KARYA,  10 Januari 2013


"Janganlah melihat ke masa depan dengan mata buta! Masa lampau berguna sekali untuk menjadi kaca benggala daripada masa yang akan datang." (Ir Soekarno)
Nasihat Presiden Soekarno yang diucapkan pada HUT kemerdekaan tahun 1966 itu sangatlah relevan untuk direnungkan kembali. Ini mengingat keadaan masyarakat kita, kini dengan segala kebobrokan beserta kerusakan yang terjadi di berbagai dimensi kehidupan. Ancaman disintegrasi bangsa masih terus membayangi, kasus gerakan separatis di Papua yang tak kunjung selesai adalah contohnya. Bahkan pertikaian berbau SARA di beberapa daerah, belum lama ini semakin mencemaskan rasa persatuan kita sebagai bangsa.
Akan hal itu, perlu dipertahankan suatu sikap optimis untuk mencapai perbaikan-perbaikan. Di tengah kusutnya persoalan kebangsaan yang melanda Indonesia - di mana sikap apatis mulai menggejala - menumbuhkan optimisme menjadi sangat penting. Hal ini, misalnya, dapat dimulai dengan usaha reflektif-kritis melalui analisis sejarah. Juga, dapat ditempuh melalui usaha komparatif antar-bangsa, sebagai tolok ukur jalannya kemajuan.Harapannya tentu usaha-usaha tersebut dapat dijadikan panduan serta wacana segar dalam memecahkan persoalan bangsa.
Bangsa Jepang dengan kemajuannya yang pesat di bidang teknologi dan pendidikan dapat dijadikan usaha komparatif untuk bercermin. Dalam konteks kemajuan pembangunan sebagaimana prestasi bangsa Jepang, yang menarik adalah strategi pembangunan itu tanpa meninggalkan nilai tradisi dan budayanya. Salah satu nilai tradisi bangsa Jepang yang terpelihara adalah ajaran nilai Chou. Nilai yang terkandung dalam Chou merupakan ajaran luhur dari nenek moyang bangsa Jepang sebagai cerminan akan nilai-nilai kesetiaan. Merasuknya ajaran Chou dalam sanubari orang Jepang inilah yang kemudian melahirkan sikap-sikap terpuji. Dan, implikasinya dapat dilihat pada tingkat kesetiaan (nasionalisme, patriotisme) orang Jepang yang sangat tinggi kepada tanah airnya.
Contoh lain lagi dari nilai-etika tradisi Jepang yang dijunjung tinggi adalah nilai Seppuku atau budaya malu yang kerap muncul dalam etika politiknya. Mereka, para politisi yang melakukan perbuatan menyimpang akan dengan sukarela dan besar hati meninggalkan jabatannya dan bertanggung jawab atas perbuatannya itu. Bahkan, sering terdapat kasus harakiri sebagai jalan bunuh diri untuk mempertahankan martabat. Hal ini semata-mata karena adanya rasa taat, hormat, dan tanggung jawab sebagai pencerminan nilai-nilai Bushido atau sikap kesatriaan.
Begitulah gambaran bangsa Jepang yang masih menjunjung tinggi ajaran tradisi dan budayanya. Melalui etika yang bersumber dari ajaran luhur nenek moyang, bangsa Jepang mampu menyeimbangkan nilai-nilai tradisi dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Hasilnya, dalam bidang sains dan teknologi, bangsa Jepang melaju dengan begitu cepatnya mengungguli bangsa-bangsa lain.
Kearifan Lokal
Berkaca pada kemajuan bangsa Jepang, menjadi penting bagi kita untuk turut mencari terus-menerus suatu jalan pemikiran bagi persoalan aktual bangsa. Melihat begitu porak-porandanya kehidupan berbangsa dan bernegara, hal itu tidak lain karena semakin dilupakannya ajaran nenek moyang bangsa Indonesia yang terdapat dalam nilai tradisi dan budaya. Keporakporandaan kehidupan yang merambah ke segala dimensi tidak akan habis dan selesai dibicarakan. Mulai dari kemerosotan moral generasi muda, gejala korupsi di kalangan pejabat, pertikaian antar-golongan, kekisruhan politik, hingga kerusakan sumber daya alam dan lain-lain. Bermacam kerusakan tersebut akan gampang sekali ditemukan melalui pemberitaan di media massa setiap harinya. Maka, jika memandang kemajuan bangsa Jepang saat ini, semestinya akan membuka cakrawala pemikiran bangsa Indonesia yang semakin jauh dari nilai tradisi serta budayanya.
Sesungguhnya bangsa kita yang besar ini tidaklah kekurangan materi atau bahan ajaran nilai-nilai yang teramat luhur. Setiap daerah di wilayah RI yang begitu luas secara langsung telah memiliki kearifan lokal yang menjadi identitas budayanya. Mulai dari budaya lokal di sepanjang tanah Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, hingga Papua dan lainnya, di mana setiap daerahnya memiliki nilai kearifan budayanya sendiri. Dari ragam kearifan lokal tersebut kemudian mampu melahirkan adat-istiadat, ajaran-ajaran hidup, dan peradaban. Falsafah bangsa yang terdapat dalam kearifan lokal bangsa Indonesia itulah yang perlu digali dan disistematisasikan. Juga, perlu diaktualisasikan dalam program yang bersifat praktis-strategis, sebagai ruh dan kekuatan bangsa dalam membangun peradaban. Lalu bagaimana peranan Pancasila sebagai dasar filsafat (philosophie grondslag) dan pandangan hidup (way of live) bangsa kita?
Selain bersumber pada kearifan lokal, Pancasila merupakan bentuk kompromis para pelopor bangsa dengan tetap menyertakan kandungan nilai agama secara universal. Hal tersebut dimaklumi karena realitas kehidupan beragama di Indonesia yang sangat beragam. Intinya, Pancasila sebagai falsafah dan dasar negara sudahlah cukup mapan untuk dijadikan panduan berbangsa dan bernegara.
Memang, Pancasila sebagai rujukan dan sumber tertib hukum bangsa Indonesia tidak akan mempunyai peran apa-apa untuk menyelesaikan persoalan kebangsaan jika tanpa dibarengi usaha nyata bangsa Indonesia sendiri. Dibutuhkan usaha-usaha yang integratif seluruh komponen masyarakatnya sendiri untuk mengaktualisasikannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tanpa usaha nyata dan sungguh-sungguh itu, maka Pancasila hanyalah kata-kata bijak yang memperindah wacana tanpa menyentuh persoalan dan manfaat praktis. Sebagai identitas bangsa, nilai-nilai luhur Pancasila adalah ruh dan kekuatan serta landasan untuk mencapai kemajuan peradaban. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar