Sekali Lagi,
Pancasila
Sumasno Hadi ; Alumni
Master Filsafat UGM
|
SUARA
KARYA, 10 Januari 2013
"Janganlah melihat ke masa depan dengan mata buta! Masa
lampau berguna sekali untuk menjadi kaca benggala daripada masa yang akan
datang." (Ir Soekarno)
Nasihat Presiden
Soekarno yang diucapkan pada HUT kemerdekaan tahun 1966 itu sangatlah relevan
untuk direnungkan kembali. Ini mengingat keadaan masyarakat kita, kini dengan
segala kebobrokan beserta kerusakan yang terjadi di berbagai dimensi
kehidupan. Ancaman disintegrasi bangsa masih terus membayangi, kasus gerakan
separatis di Papua yang tak kunjung selesai adalah contohnya. Bahkan
pertikaian berbau SARA di beberapa daerah, belum lama ini semakin mencemaskan
rasa persatuan kita sebagai bangsa.
Akan hal itu, perlu
dipertahankan suatu sikap optimis untuk mencapai perbaikan-perbaikan. Di
tengah kusutnya persoalan kebangsaan yang melanda Indonesia - di mana sikap
apatis mulai menggejala - menumbuhkan optimisme menjadi sangat penting. Hal
ini, misalnya, dapat dimulai dengan usaha reflektif-kritis melalui analisis
sejarah. Juga, dapat ditempuh melalui usaha komparatif antar-bangsa, sebagai
tolok ukur jalannya kemajuan.Harapannya tentu usaha-usaha tersebut dapat
dijadikan panduan serta wacana segar dalam memecahkan persoalan bangsa.
Bangsa Jepang dengan
kemajuannya yang pesat di bidang teknologi dan pendidikan dapat dijadikan
usaha komparatif untuk bercermin. Dalam konteks kemajuan pembangunan
sebagaimana prestasi bangsa Jepang, yang menarik adalah strategi pembangunan
itu tanpa meninggalkan nilai tradisi dan budayanya. Salah satu nilai tradisi
bangsa Jepang yang terpelihara adalah ajaran nilai Chou. Nilai yang
terkandung dalam Chou merupakan ajaran luhur dari nenek moyang bangsa Jepang
sebagai cerminan akan nilai-nilai kesetiaan. Merasuknya ajaran Chou dalam
sanubari orang Jepang inilah yang kemudian melahirkan sikap-sikap terpuji.
Dan, implikasinya dapat dilihat pada tingkat kesetiaan (nasionalisme,
patriotisme) orang Jepang yang sangat tinggi kepada tanah airnya.
Contoh lain lagi dari
nilai-etika tradisi Jepang yang dijunjung tinggi adalah nilai Seppuku atau
budaya malu yang kerap muncul dalam etika politiknya. Mereka, para politisi
yang melakukan perbuatan menyimpang akan dengan sukarela dan besar hati
meninggalkan jabatannya dan bertanggung jawab atas perbuatannya itu. Bahkan,
sering terdapat kasus harakiri sebagai jalan bunuh diri untuk mempertahankan
martabat. Hal ini semata-mata karena adanya rasa taat, hormat, dan tanggung
jawab sebagai pencerminan nilai-nilai Bushido atau sikap kesatriaan.
Begitulah gambaran
bangsa Jepang yang masih menjunjung tinggi ajaran tradisi dan budayanya. Melalui
etika yang bersumber dari ajaran luhur nenek moyang, bangsa Jepang mampu
menyeimbangkan nilai-nilai tradisi dengan perkembangan ilmu pengetahuan.
Hasilnya, dalam bidang sains dan teknologi, bangsa Jepang melaju dengan
begitu cepatnya mengungguli bangsa-bangsa lain.
Kearifan Lokal
Berkaca pada kemajuan
bangsa Jepang, menjadi penting bagi kita untuk turut mencari terus-menerus
suatu jalan pemikiran bagi persoalan aktual bangsa. Melihat begitu
porak-porandanya kehidupan berbangsa dan bernegara, hal itu tidak lain karena
semakin dilupakannya ajaran nenek moyang bangsa Indonesia yang terdapat dalam
nilai tradisi dan budaya. Keporakporandaan kehidupan yang merambah ke segala
dimensi tidak akan habis dan selesai dibicarakan. Mulai dari kemerosotan
moral generasi muda, gejala korupsi di kalangan pejabat, pertikaian
antar-golongan, kekisruhan politik, hingga kerusakan sumber daya alam dan
lain-lain. Bermacam kerusakan tersebut akan gampang sekali ditemukan melalui
pemberitaan di media massa setiap harinya. Maka, jika memandang kemajuan
bangsa Jepang saat ini, semestinya akan membuka cakrawala pemikiran bangsa
Indonesia yang semakin jauh dari nilai tradisi serta budayanya.
Sesungguhnya bangsa
kita yang besar ini tidaklah kekurangan materi atau bahan ajaran nilai-nilai
yang teramat luhur. Setiap daerah di wilayah RI yang begitu luas secara
langsung telah memiliki kearifan lokal yang menjadi identitas budayanya.
Mulai dari budaya lokal di sepanjang tanah Sumatra, Jawa, Kalimantan,
Sulawesi, hingga Papua dan lainnya, di mana setiap daerahnya memiliki nilai
kearifan budayanya sendiri. Dari ragam kearifan lokal tersebut kemudian mampu
melahirkan adat-istiadat, ajaran-ajaran hidup, dan peradaban. Falsafah bangsa
yang terdapat dalam kearifan lokal bangsa Indonesia itulah yang perlu digali
dan disistematisasikan. Juga, perlu diaktualisasikan dalam program yang
bersifat praktis-strategis, sebagai ruh dan kekuatan bangsa dalam membangun
peradaban. Lalu bagaimana peranan Pancasila sebagai dasar filsafat
(philosophie grondslag) dan pandangan hidup (way of live) bangsa kita?
Selain bersumber pada
kearifan lokal, Pancasila merupakan bentuk kompromis para pelopor bangsa
dengan tetap menyertakan kandungan nilai agama secara universal. Hal tersebut
dimaklumi karena realitas kehidupan beragama di Indonesia yang sangat
beragam. Intinya, Pancasila sebagai falsafah dan dasar negara sudahlah cukup
mapan untuk dijadikan panduan berbangsa dan bernegara.
Memang, Pancasila
sebagai rujukan dan sumber tertib hukum bangsa Indonesia tidak akan mempunyai
peran apa-apa untuk menyelesaikan persoalan kebangsaan jika tanpa dibarengi
usaha nyata bangsa Indonesia sendiri. Dibutuhkan usaha-usaha yang integratif
seluruh komponen masyarakatnya sendiri untuk mengaktualisasikannya dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Tanpa usaha nyata dan sungguh-sungguh itu,
maka Pancasila hanyalah kata-kata bijak yang memperindah wacana tanpa
menyentuh persoalan dan manfaat praktis. Sebagai identitas bangsa,
nilai-nilai luhur Pancasila adalah ruh dan kekuatan serta landasan untuk
mencapai kemajuan peradaban. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar