Krisis Kader
Partai
Sriyanto Saputro ; Ketua
DKD Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jateng,
Ketua Panwas Pilgub Jateng 2008
|
SUARA
MERDEKA, 10 Januari 2013
TINGGAL menghitung
hari, tahapan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jateng 2013 memasuki masa
pendaftaran calon, tepatnya pada 27 Februari, namun hingga kini belum satu
pun partai resmi memiliki jago. PDI Perjuangan dan Partai Demokrat yang punya
tiket untuk mengusung calon, belum final memutuskan siapa yang bakal
direkomendasikan.
Belum adanya
kepastian calon dari PDIP, menjadikan dinamika politik menjelang pilgub yang
kurang dari 6 bulan ini terasa sepi. Partai Demokrat ditengarai masih wait
and see. Meski belakangan ini condong untuk mengusung Bibit Waluyo, partai
berlambang Mercy tersebut terlihat masih bingung mencari pendamping.
Bila Demokrat
mematok harga mati cawagub dari internal partai, siapa sosok yang layak
disandingkan dan diyakini bisa memenangi pilgug, juga bukan urusan mudah.
Kurang gereget proses politik menuju pilgub juga dipengaruhi karakter dan
sikap tiga nama yang disebut-sebut berpeluang maju, yakni Bibit,
Rustriningsih, dan Hadi Prabowo.
Bibit meski
menyatakan akan kembali mencalonkan, langkah politiknya cukup membikin galau
partai-partai. Di PDIP dia tidak mendaftar namun menyatakan siap menjalani
fit and proper test. Demokrat katanya telah memberi lampu hijau, namun ia
belum berkomunikasi dengan struktural partai itu.
Begitu pula
partai papan tengah, seperti Golkar, PAN, PKB, PPP, dan PKS, yang semula
diklaim Bibit ikut mendukung, dalam perkembangannya terjadi kemandekan
komunikasi. Bibit tampak lebih memilih berkonsentrasi menyelesaikan sisa masa
jabatan untuk bekerja dan bekerja.
Rustri, meski
gencar melakukan sosialisasi, belum bisa tidur nyenyak karena masih
harap-harap cemas menunggu rekomendasi dari DPP PDIP. Begitu pula Hadi
Prabowo, kendati cukup diperhitungkan dan banyak arus dukungan, hingga kini
belum menyatakan sikap politik.
Sikap Bibit
memantik reaksi partai papan tengah yang merasa diabaikan. Dimotori Golkar,
mereka menggandeng Gerindra, Hanura, dan PKNU, hingga total ada 8 partai;
dan menjajaki calon alternatif di luar tiga nama yang sudah beredar.
Mereka menginventarisasi kader masing-masing yang layak diajukan sebagai
cagub atau cawagub.
Sebagai
terobosan politik, langkah 8 partai itu sah-sah saja, namun tak semudah
membalik telapak tangan untuk mengerucutkan menjadi sepasang calon.
Masing-masing tentu punya kepentingan politik untuk mengegolkan kadernya
sehingga diperkirakan koalisi itu mudah rapuh.
Yang menarik,
PPP meski belum hitam di atas putih, telah mengumumkan Ketua DPW PPP Jateng
Arif Mudatsir Mandan sebagai cagub atau cawagub. Penegasan itu disampaikan
Ketua Umum DPP Suryadharma Ali pada peringatan hari lahir ke-40 partai itu di
Semarang, Sabtu (05/01/13).
Kita memahami
upaya 8 partai itu untuk memecah kebuntuan komunikasi politik. Kendati hasil
akhir masih misterius, langkah itu untuk meningkatkan posisi tawar, atau
mengantisipasi berbagai kemungkinan. Saat konstelasi politik makin tak
menentu karena menunggu calon dari PDIP, partai lain pasang kuda-kuda.
Semisal rekomendasi PDIP turun untuk Hadi Prabowo, tentu Rustri jadi
alternatif figur yang layak diusung di antara 8 partai itu. Demikian pula
sebaliknya.
Kegagalan
Partai
Kita sadar
tingkat keterpilihan calon dalam pilkada bukan semata-mata karena faktor
partai pengusung melainkan juga figur. Pilgub DKI 2012 menjadi referensi
bahwa Jokowi yang hanya diusung PDIP dan Gerindra mampu mengalahkan
koalisi sederet partai. Memang kondisi DKI tak bisa disamakan dengan Jateng
karena perbedaan karakteristik pemilih dan kondisi geografis.
''Kebingungan''
parpol di Jateng menjelang pilgub yang sudah di depan mata juga bukan
semata-mata kultur masyarakat Jateng yang ewuh-pakewuh melainkan lebih
merepresentasikan kegagalan partai menyiapkan kader menjadi pemimpin. Seluruh
partai yang memiliki wakil di DPRD Jateng, sebagian besar tak memiliki jago
kredibel untuk diusung.
Ada pimpinan
partai yang secara jujur menyatakan tak percaya diri untuk maju, ada pula
yang berambisi namun elektabilitasnya masih diragukan. Atas realitas itu, tak
heran jika menjelang pilgub partai-partai cenderung melakukan politik
''dagang sapi''. Kondisi ini berbeda dari Pilgub 2008 ketika beberapa
elite partai berani tampil, semisal Sukawi Sutarip (Demokrat), Bambang Sadono
(Golkar), Dahlan Rais (PAN), dan Kholiq Arief (PKB).
Banyak faktor
yang memengaruhi krisis kepemimpinan partai. Salah satunya kader partai
di legislatif atau eksekutif belum mampu menunjukkan kualitas, kapabilitas,
dan popularitas yang bisa mendongkrak elektabilitasnya. Mereka menjalankan
amanah menjadi kepanjangan tangan partai sekadar memenuhi kewajiban, bahkan
tak sedikit yang berorientasi untuk kepentingan pragmatis. Krisis kader calon
pemimpin bisa juga karena kondisi internal partai, berkait dengan
kreativitas dan dan soliditas sehingga tak membuka peluang bagi kemunculan
kader potensial.
Belajar dari
''kebingungan'' dan krisis kader partai menjelang pilgub, ke depan partai
perlu pengelolaan profesional. Kebesaran partai harus diimbangi dengan
kualitas kader, baik yang mengelola struktural maupun yang berkiprah di
eksekutif dan legislatif. Realitas itu akan melahirkan banyak pilihan dan
rakyat pun lebih mudah memilih calon pemimpin yang benar-benar sesuai dengan
harapan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar