Kamis, 10 Januari 2013

Krisis Kader Partai


Krisis Kader Partai
Sriyanto Saputro ;   Ketua DKD Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jateng,
Ketua Panwas Pilgub Jateng 2008
SUARA MERDEKA,  10 Januari 2013



TINGGAL menghitung hari, tahapan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jateng 2013 memasuki masa pendaftaran calon, tepatnya pada 27 Februari, namun hingga kini belum satu pun partai resmi memiliki jago. PDI Perjuangan dan Partai Demokrat yang punya tiket untuk mengusung calon, belum final memutuskan siapa yang bakal direkomendasikan.

Belum adanya kepastian calon dari PDIP, menjadikan dinamika politik menjelang pilgub yang kurang dari 6 bulan ini terasa sepi. Partai Demokrat ditengarai masih wait and see. Meski belakangan ini condong untuk mengusung Bibit Waluyo, partai berlambang Mercy tersebut terlihat masih bingung mencari pendamping.

Bila Demokrat mematok harga mati cawagub dari internal partai, siapa sosok yang layak disandingkan dan diyakini bisa memenangi pilgug, juga bukan urusan mudah. Kurang gereget proses politik menuju pilgub juga dipengaruhi karakter dan sikap tiga nama yang disebut-sebut berpeluang maju, yakni Bibit, Rustriningsih, dan Hadi Prabowo.

Bibit meski menyatakan akan kembali mencalonkan, langkah politiknya cukup membikin galau partai-partai. Di PDIP dia tidak mendaftar namun menyatakan siap menjalani fit and proper test. Demokrat katanya telah memberi lampu hijau, namun ia belum berkomunikasi dengan struktural partai itu.

Begitu pula partai papan tengah, seperti Golkar, PAN, PKB, PPP, dan PKS, yang semula diklaim Bibit ikut mendukung, dalam perkembangannya terjadi kemandekan komunikasi. Bibit tampak lebih memilih berkonsentrasi menyelesaikan sisa masa jabatan untuk bekerja dan bekerja.

Rustri, meski gencar melakukan sosialisasi, belum bisa tidur nyenyak karena masih harap-harap cemas menunggu rekomendasi dari DPP PDIP. Begitu pula Hadi Prabowo, kendati cukup diperhitungkan dan banyak arus dukungan, hingga kini belum menyatakan sikap politik.

Sikap Bibit memantik reaksi partai papan tengah yang merasa diabaikan. Dimotori Golkar, mereka menggandeng Gerindra, Hanura, dan PKNU, hingga total ada 8 partai; dan  menjajaki calon alternatif di luar tiga nama yang sudah beredar. Mereka menginventarisasi kader masing-masing yang layak diajukan sebagai cagub atau cawagub.

Sebagai terobosan politik, langkah 8 partai itu sah-sah saja, namun tak  semudah membalik telapak tangan untuk mengerucutkan menjadi sepasang calon. Masing-masing tentu punya kepentingan politik untuk mengegolkan kadernya sehingga diperkirakan koalisi itu mudah rapuh.

Yang menarik, PPP meski belum hitam di atas putih, telah mengumumkan Ketua DPW PPP Jateng Arif Mudatsir Mandan sebagai cagub atau cawagub. Penegasan itu disampaikan Ketua Umum DPP Suryadharma Ali pada peringatan hari lahir ke-40 partai itu di Semarang, Sabtu (05/01/13).

Kita memahami upaya 8 partai itu untuk memecah kebuntuan komunikasi politik. Kendati hasil akhir masih misterius, langkah itu untuk meningkatkan posisi tawar, atau mengantisipasi berbagai kemungkinan. Saat konstelasi politik makin tak menentu karena menunggu calon dari PDIP, partai lain pasang kuda-kuda. Semisal rekomendasi PDIP turun untuk Hadi Prabowo, tentu Rustri jadi alternatif figur yang layak diusung di antara 8 partai itu. Demikian pula sebaliknya.

Kegagalan Partai

Kita sadar tingkat keterpilihan calon dalam pilkada bukan semata-mata karena faktor partai pengusung melainkan juga figur. Pilgub DKI 2012 menjadi referensi bahwa Jokowi  yang hanya diusung PDIP dan Gerindra mampu mengalahkan koalisi sederet partai. Memang kondisi DKI tak bisa disamakan dengan Jateng karena perbedaan karakteristik pemilih dan kondisi geografis.

''Kebingungan'' parpol di Jateng menjelang pilgub yang sudah di depan mata juga bukan semata-mata kultur masyarakat Jateng yang ewuh-pakewuh melainkan lebih merepresentasikan kegagalan partai menyiapkan kader menjadi pemimpin. Seluruh partai yang memiliki wakil di DPRD Jateng, sebagian besar tak memiliki jago kredibel untuk diusung.  

Ada pimpinan partai yang secara jujur menyatakan tak percaya diri untuk maju, ada pula yang berambisi namun elektabilitasnya masih diragukan. Atas realitas itu, tak heran jika menjelang pilgub partai-partai cenderung melakukan politik ''dagang sapi''.  Kondisi ini berbeda dari Pilgub 2008 ketika beberapa elite partai berani tampil, semisal Sukawi Sutarip (Demokrat), Bambang Sadono (Golkar), Dahlan Rais (PAN), dan Kholiq Arief (PKB).

Banyak faktor yang memengaruhi krisis kepemimpinan partai. Salah satunya kader partai  di legislatif atau eksekutif belum mampu menunjukkan kualitas, kapabilitas, dan popularitas yang bisa mendongkrak elektabilitasnya. Mereka menjalankan amanah menjadi kepanjangan tangan partai sekadar memenuhi kewajiban, bahkan tak sedikit yang berorientasi untuk kepentingan pragmatis. Krisis kader calon pemimpin bisa juga  karena kondisi internal partai, berkait dengan kreativitas dan dan soliditas sehingga tak membuka peluang bagi kemunculan kader potensial.

Belajar dari ''kebingungan'' dan krisis kader partai menjelang pilgub, ke depan partai perlu pengelolaan profesional. Kebesaran partai harus diimbangi dengan kualitas kader, baik yang mengelola struktural maupun yang berkiprah di eksekutif dan legislatif. Realitas itu akan melahirkan banyak pilihan dan rakyat pun lebih mudah memilih calon pemimpin yang benar-benar sesuai dengan harapan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar