Senin, 21 Januari 2013

Obama dan Timteng


Obama dan Timteng
Zuhairi Misrawi ;  Analis Pemikiran dan Politik Timteng di The Middle East Institute
KOMPAS, 19 Januari 2013



Menjelang pelantikan untuk periode kedua sebagai Presiden Amerika Serikat, Barack Obama menghadapi persoalan krusial, yaitu kebijakan politik luar negeri di kawasan Timur Tengah.

Tantangan yang dihadapi Obama jauh lebih pelik karena ia dihadapkan pada lima masalah besar yang perlu perhatian serius. Pertama, proposal dua negara secara damai antara Israel dan Palestina (two states solution). Pasca-diakuinya Palestina sebagai negara pemantau non-anggota di PBB, yang secara eksplisit ditentang AS, pilihan melanjutkan proposal tersebut bukanlah hal mudah.

Pasalnya, Otoritas Palestina yang selama ini selalu mengikuti skema AS justru melakukan langkah proaktif untuk menggalang dukungan dari dunia internasional. Hasilnya luar biasa, 136 negara mengakui kedaulatan negara Palestina. Sikap AS yang selama ini kerap menguntungkan Israel terbukti merupakan suara minoritas di kancah internasional.

Oleh karena itu, menyikapi kelanjutan proposal two states solution, Obama harus melakukan terobosan politik yang benar-benar mampu memuaskan kedua pihak dengan prinsip kesetaraan. Memihak Israel dengan membabi buta sama sekali tak menguntungkan AS karena dapat berakibat fatal bagi munculnya sikap anti-AS di Timur Tengah (Timteng).

Apalagi, Faksi Fatah dan Faksi Hamas sudah bergerak menuju jalur rekonsiliasi nasional yang akan mendesak AS agar lebih adil dalam menyikapi konflik antara Israel dan Palestina. Tak ada pilihan lain bagi Obama kecuali memaksa Israel menghentikan pemukiman ilegal di Jerusalem Timur, meninggalkan pendekatan militeristik, dan melakukan perbincangan serius tentang masa depan Palestina dengan melibatkan Faksi Fatah dan Faksi Hamas.

Kedua, masa depan revolusi di Suriah. Gelombang perlawanan oposisi di Suriah sudah berlangsung hampir dua tahun dengan korban tewas 60.000 orang dan ratusan ribu lain mengungsi ke Mesir, Turki, Lebanon, dan Jordania. Krisis politik ini telah menjadi perhatian dunia internasional karena hingga kini tak ada jalan keluar yang mampu memuaskan kedua pihak, baik rezim yang berkuasa maupun oposisi.

Skenario ala Mesir, Yaman, dan Bahrain tak bisa diterapkan di Suriah. Sementara skenario ala Libya yang menggunakan intervensi militer tak bisa dilaksanakan karena Rusia dan China masih solid memberikan dukungan ke Suriah, sebagai mitra strategis rezim Bashar al-Assad. Bahkan, keberadaan orang nomor satu Suriah ini dilindungi sepenuhnya oleh Rusia karena khawatir bernasib tragis seperti Moammar Khadafy di Libya.

Di Suriah, Obama telah memainkan strategi politik secara tak langsung, yaitu mempersenjatai dan menyediakan teknologi informasi kepada oposisi sehingga dapat mengabarkan ke dunia luar tentang kediktatoran Al-Assad. Harus diakui, strategi ini kurang efektif dalam melengserkan rezim yang sudah berkuasa lebih dari empat dekade. Faktanya, Al-Assad masih mengendalikan kekuasaan dengan amunisi militeristik relatif kuat. Hal ini karena Rusia dan China masih belum mau menarik dukungannya terhadap rezim Al-Assad.

Harus diakui, masalah utamanya karena AS dan Rusia belum menemukan titik temu tentang masa depan Suriah pasca-rezim Al-Assad. Baik AS maupun Rusia masih khawatir jika yang berkuasa Ikhwanul Muslimin dan faksi Al Qaeda, sebagaimana terjadi di negara Arab lain, seperti Mesir dan Tunisia. Musim semi Arab yang semula diharapkan jadi musim demokratisasi telah berubah jadi musim Islamisme.

Di pihak lain, AS dan Rusia tak bisa cuci tangan dengan dampak krisis politik yang terjadi di Suriah. Karena itu, Obama harus berhasil membujuk Rusia mengakhiri perang saudara antara rezim Al-Assad dan oposisi. Cepat atau lambat, transisi kekuasaan ala Yaman adalah solusi terbaik yang dapat diambil dengan menunjuk Dewan Nasional Suriah sebagai penguasa sementara.

Ketiga, demokrasi negara Arab yang disapu badai revolusi, seperti Mesir, Tunisia, Libya, dan Yaman. Harus diakui, demokrasi di negara-negara tersebut menghadapi tantangan serius di tengah kuatnya kelompok Islamis, khususnya Ikhwanul Muslimin di Mesir dan Libya, serta El-Nahdha di Tunisia.

AS, seperti biasanya, menggunakan kartu stabilitas politik sebagai kebijakan luar negeri, khususnya di Timteng. Namun, pilihan menyokong rezim Islamis akan berdampak buruk bagi kualitas demokrasi, sama halnya saat mereka mendukung rezim otoriter Hosni Mubarak di masa lampau.

Obama mestinya dapat mendesak negara-negara ini agar menerapkan demokrasi secara transparan dan akuntabel, tak hanya memaknai demokrasi secara prosedural, tetapi juga secara substansial, menjamin kesetaraan, keadilan, kemanusiaan, dan perdamaian. Sebab, jika Obama pasif atau justru menyokong rezim Islamis, negara-negara itu akan gagal menerapkan demokrasi liberal dan, puncaknya, mereka hanya menjadi negara yang demokratis di permukaan, tetapi substansinya jauh dari nilai-nilai demokrasi.

Keempat, nuklir Iran. Pada periode pertama kepemimpinannya, Obama telah menegaskan keinginannya berdialog dengan Iran. Akan tetapi, dialog mengalami kebuntuan karena sikap Iran yang konsisten mengkritik dominasi AS di pentas global dan dukungan membabi-buta terhadap Israel.

Kendati demikian, Obama tak akan berjudi dengan menggunakan pendekatan militeristik melawan Iran karena ini akan berdampak serius terhadap kondisi perekonomian AS yang sedang di titik nadir. Apalagi John Kerry yang ditunjuk sebagai Menlu AS dikenal sebagai sosok yang bersahabat dengan Iran. Obama ditengarai masih akan menggunakan sanksi politik dan ekonomi kepada Iran untuk mengesklusi dari pergaulan global.

Kelima, proliferasi jaringan teroris Al Qaeda di Timteng. Ketika revolusi bergejolak, Al Qaeda telah menjadi pihak yang menyokong gerakan tersebut, di Mesir, Tunisia, Yaman, dan Suriah. Kelompok ini punya misi sama, melawan rezim otoriter, karena mereka dianggap kaki tangan AS dan negara Barat lain. Di Semenanjung Sinai, jaringan teroris Al Qaeda sewaktu-waktu dapat mengganggu keamanan Israel, sebagaimana mereka juga dapat berkolaborasi dengan rezim-rezim baru di Timteng.
Obama tak boleh mengulangi kesalahan di masa lalu ketika AS mendukung Taliban dalam perang melawan Uni Soviet. Ketika Obama ditengarai mendukung jaringan Al Qaeda dalam rangka melawan rezim Al-Assad, ini dikhawatirkan akan jadi senjata makan tuan, sebagaimana dalam tragedi WTC 2001. Karenanya, Obama harus belajar dari masa lalu untuk tak bermain mata dengan jaringan Al Qaeda.

Menurut Raghada Dargham dalam Takahhunat ma’a Inthilaq Wilayat Obama al-Tsaniyyah, Obama sepertinya tak akan banyak mengubah sikap sebagaimana pada periode pertama kepemimpinan karena cadangan minyak AS relatif aman dan tak banyak ketergantungan terhadap Arab. Namun, ia tak lagi bisa menerapkan sikap antipati di satu sisi dan sikap pragmatis di sisi lain dalam merespons dinamika politik di Timteng. Setiap sikap yang diambil Obama akan punya konsekuensi tersendiri bagi masa depan negara-negara yang sedang menikmati musim semi demokratisasi, terutama dalam hubungannya dengan AS. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar