Obama dan
Timteng
Zuhairi Misrawi ; Analis
Pemikiran dan Politik Timteng di The Middle East Institute
|
KOMPAS,
19 Januari 2013
Menjelang pelantikan untuk periode kedua
sebagai Presiden Amerika Serikat, Barack Obama menghadapi persoalan krusial,
yaitu kebijakan politik luar negeri di kawasan Timur Tengah.
Tantangan yang dihadapi
Obama jauh lebih pelik karena ia dihadapkan pada lima masalah besar yang
perlu perhatian serius. Pertama, proposal dua negara secara damai antara
Israel dan Palestina (two states
solution). Pasca-diakuinya Palestina sebagai negara pemantau non-anggota
di PBB, yang secara eksplisit ditentang AS, pilihan melanjutkan proposal
tersebut bukanlah hal mudah.
Pasalnya, Otoritas
Palestina yang selama ini selalu mengikuti skema AS justru melakukan langkah
proaktif untuk menggalang dukungan dari dunia internasional. Hasilnya luar
biasa, 136 negara mengakui kedaulatan negara Palestina. Sikap AS yang selama
ini kerap menguntungkan Israel terbukti merupakan suara minoritas di kancah
internasional.
Oleh karena itu, menyikapi
kelanjutan proposal two states solution,
Obama harus melakukan terobosan politik yang benar-benar mampu memuaskan
kedua pihak dengan prinsip kesetaraan. Memihak Israel dengan membabi buta
sama sekali tak menguntungkan AS karena dapat berakibat fatal bagi munculnya
sikap anti-AS di Timur Tengah (Timteng).
Apalagi, Faksi Fatah dan
Faksi Hamas sudah bergerak menuju jalur rekonsiliasi nasional yang akan
mendesak AS agar lebih adil dalam menyikapi konflik antara Israel dan
Palestina. Tak ada pilihan lain bagi Obama kecuali memaksa Israel
menghentikan pemukiman ilegal di Jerusalem Timur, meninggalkan pendekatan
militeristik, dan melakukan perbincangan serius tentang masa depan Palestina
dengan melibatkan Faksi Fatah dan Faksi Hamas.
Kedua, masa depan revolusi
di Suriah. Gelombang perlawanan oposisi di Suriah sudah berlangsung hampir
dua tahun dengan korban tewas 60.000 orang dan ratusan ribu lain mengungsi ke
Mesir, Turki, Lebanon, dan Jordania. Krisis politik ini telah menjadi
perhatian dunia internasional karena hingga kini tak ada jalan keluar yang
mampu memuaskan kedua pihak, baik rezim yang berkuasa maupun oposisi.
Skenario ala Mesir, Yaman,
dan Bahrain tak bisa diterapkan di Suriah. Sementara skenario ala Libya yang
menggunakan intervensi militer tak bisa dilaksanakan karena Rusia dan China
masih solid memberikan dukungan ke Suriah, sebagai mitra strategis rezim
Bashar al-Assad. Bahkan, keberadaan orang nomor satu Suriah ini dilindungi
sepenuhnya oleh Rusia karena khawatir bernasib tragis seperti Moammar Khadafy
di Libya.
Di Suriah, Obama telah
memainkan strategi politik secara tak langsung, yaitu mempersenjatai dan
menyediakan teknologi informasi kepada oposisi sehingga dapat mengabarkan ke
dunia luar tentang kediktatoran Al-Assad. Harus diakui, strategi ini kurang
efektif dalam melengserkan rezim yang sudah berkuasa lebih dari empat dekade.
Faktanya, Al-Assad masih mengendalikan kekuasaan dengan amunisi militeristik
relatif kuat. Hal ini karena Rusia dan China masih belum mau menarik
dukungannya terhadap rezim Al-Assad.
Harus diakui, masalah
utamanya karena AS dan Rusia belum menemukan titik temu tentang masa depan
Suriah pasca-rezim Al-Assad. Baik AS maupun Rusia masih khawatir jika yang
berkuasa Ikhwanul Muslimin dan faksi Al Qaeda, sebagaimana terjadi di negara
Arab lain, seperti Mesir dan Tunisia. Musim semi Arab yang semula diharapkan
jadi musim demokratisasi telah berubah jadi musim Islamisme.
Di pihak lain, AS dan
Rusia tak bisa cuci tangan dengan dampak krisis politik yang terjadi di
Suriah. Karena itu, Obama harus berhasil membujuk Rusia mengakhiri perang
saudara antara rezim Al-Assad dan oposisi. Cepat atau lambat, transisi
kekuasaan ala Yaman adalah solusi terbaik yang dapat diambil dengan menunjuk
Dewan Nasional Suriah sebagai penguasa sementara.
Ketiga, demokrasi negara
Arab yang disapu badai revolusi, seperti Mesir, Tunisia, Libya, dan Yaman.
Harus diakui, demokrasi di negara-negara tersebut menghadapi tantangan serius
di tengah kuatnya kelompok Islamis, khususnya Ikhwanul Muslimin di Mesir dan
Libya, serta El-Nahdha di Tunisia.
AS, seperti biasanya,
menggunakan kartu stabilitas politik sebagai kebijakan luar negeri, khususnya
di Timteng. Namun, pilihan menyokong rezim Islamis akan berdampak buruk bagi
kualitas demokrasi, sama halnya saat mereka mendukung rezim otoriter Hosni
Mubarak di masa lampau.
Obama mestinya dapat
mendesak negara-negara ini agar menerapkan demokrasi secara transparan dan
akuntabel, tak hanya memaknai demokrasi secara prosedural, tetapi juga secara
substansial, menjamin kesetaraan, keadilan, kemanusiaan, dan perdamaian.
Sebab, jika Obama pasif atau justru menyokong rezim Islamis, negara-negara
itu akan gagal menerapkan demokrasi liberal dan, puncaknya, mereka hanya
menjadi negara yang demokratis di permukaan, tetapi substansinya jauh dari
nilai-nilai demokrasi.
Keempat, nuklir Iran. Pada
periode pertama kepemimpinannya, Obama telah menegaskan keinginannya
berdialog dengan Iran. Akan tetapi, dialog mengalami kebuntuan karena sikap
Iran yang konsisten mengkritik dominasi AS di pentas global dan dukungan
membabi-buta terhadap Israel.
Kendati demikian, Obama
tak akan berjudi dengan menggunakan pendekatan militeristik melawan Iran
karena ini akan berdampak serius terhadap kondisi perekonomian AS yang sedang
di titik nadir. Apalagi John Kerry yang ditunjuk sebagai Menlu AS dikenal
sebagai sosok yang bersahabat dengan Iran. Obama ditengarai masih akan
menggunakan sanksi politik dan ekonomi kepada Iran untuk mengesklusi dari
pergaulan global.
Kelima, proliferasi
jaringan teroris Al Qaeda di Timteng. Ketika revolusi bergejolak, Al Qaeda
telah menjadi pihak yang menyokong gerakan tersebut, di Mesir, Tunisia,
Yaman, dan Suriah. Kelompok ini punya misi sama, melawan rezim otoriter,
karena mereka dianggap kaki tangan AS dan negara Barat lain. Di Semenanjung
Sinai, jaringan teroris Al Qaeda sewaktu-waktu dapat mengganggu keamanan
Israel, sebagaimana mereka juga dapat berkolaborasi dengan rezim-rezim baru
di Timteng.
Obama tak boleh mengulangi
kesalahan di masa lalu ketika AS mendukung Taliban dalam perang melawan Uni
Soviet. Ketika Obama ditengarai mendukung jaringan Al Qaeda dalam rangka
melawan rezim Al-Assad, ini dikhawatirkan akan jadi senjata makan tuan,
sebagaimana dalam tragedi WTC 2001. Karenanya, Obama harus belajar dari masa
lalu untuk tak bermain mata dengan jaringan Al Qaeda.
Menurut Raghada Dargham
dalam Takahhunat ma’a Inthilaq Wilayat Obama al-Tsaniyyah, Obama sepertinya
tak akan banyak mengubah sikap sebagaimana pada periode pertama kepemimpinan
karena cadangan minyak AS relatif aman dan tak banyak ketergantungan terhadap
Arab. Namun, ia tak lagi bisa menerapkan sikap antipati di satu sisi dan
sikap pragmatis di sisi lain dalam merespons dinamika politik di Timteng.
Setiap sikap yang diambil Obama akan punya konsekuensi tersendiri bagi masa
depan negara-negara yang sedang menikmati musim semi demokratisasi, terutama
dalam hubungannya dengan AS. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar