Senin, 21 Januari 2013

Marjinalisasi Seniman dan Budayawan


Marjinalisasi Seniman dan Budayawan
Agus Dermawan T ;  Kritikus, Penulis Buku-buku Berbasis Seni, Sosial, Budaya
KOMPAS, 19 Januari 2013



Setengah abad silam kakek saya berkata, ”Bila kamu hidup di Indonesia, jadilah dokter, mister, atau anemer. Jangan jadi skilder!”

Kakek merespons keinginan saya untuk menjadi pelukis, yang disebutnya skilder, dari kata Belanda schilder. Bagi kakek, skilder adalah ringkasan dari lingkup profesi yang lebih luas: kunstenaar atau seniman. Jadi, maksud kakek adalah jangan jadi seniman! Mister yang dimaksud adalah meester (in de rechten) alias ahli hukum. Anemer adalah aannemer, atau pemborong, ahli bangunan, yang dikonotasikan sebagai ”tukang insinyur”.

Setelah berbilang kurun, apa yang dikatakan kakek ternyata tidak sepenuhnya benar. Kehidupan seniman Indonesia pada suatu periode memperoleh martabat sosial cukup. Tak sedikit seniman yang makmur melebihi para dokter. Namun, pernyataan kakek juga tidak sepenuhnya keliru karena pada dekade terakhir, kehidupan ekonomi sebagian besar seniman Indonesia rontok.

Pemerintah Berperan

Banyak faktor pemicu rontoknya perekonomian seniman. Seperti biasa, yang dituding paling utama adalah negara atau pemerintah. Salah satu contoh aktual perkara ini adalah terkikisnya produktivitas seniman di berbagai daerah karena kurangnya fasilitas pemerintah untuk distribusi dan promosi.

Para seniman yang bangkrut itu, dari Medan sampai Banyuwangi, pindah profesi jadi tukang dekorasi perhelatan sunatan, penjual ikan bakar, sampai tukang sol sepatu. Atas kenyataan memilukan ini Toto Sunu, pelukis kaca senior Cirebon, berkata, ”Dulu lukisan kaca itu aset daerah, kini jadi keset daerah.” (Kompas 27/10/12).

Pemerintah Indonesia memang sering lupa bahwa pemasaran produk kesenian adalah pekerjaan yang niscaya dari negara. Seniman sebagai artium liberalium magister memang ditakdirkan sebagai kreator yang semata berjalan di bidang penciptaan, bukan pemasaran. Kerja ini memerlukan strategi atau siasat baru karena semua berkait dengan dinamika politik-sosial-ekonomi. Apa yang dilakukan China, Jepang, Korea Selatan, Australia, Brasil, serta banyak negara Eropa Barat bisa menjadi contoh.

Pemerintah Perancis sejak Maret 2008 mengeluarkan kebijakan boleh mengutang sampai 10.000 euro bagi calon pembeli barang seni. Utang bank itu bebas bunga. Menurut Menteri Kebudayaan Perancis Christine Albanel, tujuannya agar setiap orang jadi lebih dekat dengan kebiasaan membeli karya seniman Perancis, selaras dengan kedekatan pada musik, tari, atau drama Perancis. Pemerintah Perancis juga memberi berbagai kemudahan kepada bank-bank yang berpartisipasi dalam program ini.

Kebijakan seni Perancis ini mengadopsi sistem di Inggris. Sementara di Belanda, Kementerian Urusan Sosial (dan Kesehatan Umum) sejak tahun 1936 telah membuat ketetapan dasar untuk menyubsidi para seniman yang karyanya punya kontribusi dalam sejarah budaya. Kementerian Perumahan dan Perencanaan Fisik menetapkan agar pembangunan gedung dan taman menyisihkan 1,5 persen bagi pembelian karya seni. Amerika Serikat memiliki institusi Endowment for the Arts untuk melaksanakan program serupa.

Hadiah Tunda Bayar

Absennya peran Pemerintah Indonesia juga tampak ketika krisis melanda seni lukis tradisional Bali. Pasca-Bom Bali (2002 dan 2005), turis kelas utama yang menjadi konsumen seni lukis tradisional Bali takut ke Bali. Posisi mereka digantikan turis backpacker yang ”tidak mampu” membeli lukisan tradisional yang relatif mahal.

Justru pasar Bali menyesuaikan diri dengan menciptakan lukisan abstrak komersial murah meriah sebagai suvenir seni. Karya-karya itu ternyata sangat laku. Menurut International Finance Corporation dari Bank Dunia, satu studio lukisan di Batu Bulan memproduksi minimal 1.000 lukisan dalam sebulan!

Efek nyata dari larisnya lukisan abstrak adalah ratusan pelukis dan perajin lukisan tradisional Bali yang berubah haluan. Tadinya mereka serius nyangging, nyungging atau ngerumit, kini ramai-ramai melukis abstrak yang gampang, cepat, dan asal sret-sret. Keterampilan mereka terancam hilang.

Untuk mengembalikan para pelukis tradisional itu ke habitat, pemerintah harus turun tangan. Namun, pemerintah terus diam. Sampai akhirnya sejumlah pencinta seni yang dikoordinasi kolektor dan politikus Jusuf Wanandi membentuk perkumpulan Bali Bangkit. Mereka membuat berbagai pameran, penerbitan buku, dan gerakan mengoleksi yang akhirnya membuat sebagian besar pelukis tradisional balik ke asal.
Medio November 2012, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyerahkan Bintang Budaya Parama Dharma, Satyalencana Kebudayaan, dan Anugerah Kebudayaan kepada 43 seniman dan budayawan serta 45 maestro seni Indonesia. 
Hadiah pin emas dan uang Rp 25 juta sampai Rp 50 juta baru diserahkan minggu kedua Januari 2013. Niat baik kementerian itu menjadi sekadar pencitraan. Seniman serta budayawan jadi alatnya.

Sampai di sini, mustahil Indonesia bisa membubungkan senimannya jadi ikon dunia. Akhirnya Kakek benar belaka, bahwa seniman kreatif di Indonesia hanya kere yang aktif. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar