Marjinalisasi
Seniman dan Budayawan
Agus Dermawan T ; Kritikus,
Penulis Buku-buku Berbasis Seni, Sosial, Budaya
|
KOMPAS,
19 Januari 2013
Setengah abad silam kakek saya berkata, ”Bila kamu hidup di Indonesia, jadilah
dokter, mister, atau anemer. Jangan jadi skilder!”
Kakek merespons keinginan
saya untuk menjadi pelukis, yang disebutnya skilder, dari kata Belanda
schilder. Bagi kakek, skilder adalah ringkasan dari lingkup profesi yang
lebih luas: kunstenaar atau seniman. Jadi, maksud kakek adalah jangan jadi
seniman! Mister yang dimaksud adalah meester (in de rechten) alias ahli
hukum. Anemer adalah aannemer, atau pemborong, ahli bangunan, yang
dikonotasikan sebagai ”tukang insinyur”.
Setelah berbilang kurun,
apa yang dikatakan kakek ternyata tidak sepenuhnya benar. Kehidupan seniman
Indonesia pada suatu periode memperoleh martabat sosial cukup. Tak sedikit
seniman yang makmur melebihi para dokter. Namun, pernyataan kakek juga tidak
sepenuhnya keliru karena pada dekade terakhir, kehidupan ekonomi sebagian
besar seniman Indonesia rontok.
Banyak faktor pemicu
rontoknya perekonomian seniman. Seperti biasa, yang dituding paling utama
adalah negara atau pemerintah. Salah satu contoh aktual perkara ini adalah
terkikisnya produktivitas seniman di berbagai daerah karena kurangnya
fasilitas pemerintah untuk distribusi dan promosi.
Para seniman yang bangkrut
itu, dari Medan sampai Banyuwangi, pindah profesi jadi tukang dekorasi
perhelatan sunatan, penjual ikan bakar, sampai tukang sol sepatu. Atas
kenyataan memilukan ini Toto Sunu, pelukis kaca senior Cirebon, berkata,
”Dulu lukisan kaca itu aset daerah, kini jadi keset daerah.” (Kompas
27/10/12).
Pemerintah Indonesia
memang sering lupa bahwa pemasaran produk kesenian adalah pekerjaan yang
niscaya dari negara. Seniman sebagai artium liberalium magister memang
ditakdirkan sebagai kreator yang semata berjalan di bidang penciptaan, bukan
pemasaran. Kerja ini memerlukan strategi atau siasat baru karena semua
berkait dengan dinamika politik-sosial-ekonomi. Apa yang dilakukan China,
Jepang, Korea Selatan, Australia, Brasil, serta banyak negara Eropa Barat
bisa menjadi contoh.
Pemerintah Perancis sejak
Maret 2008 mengeluarkan kebijakan boleh mengutang sampai 10.000 euro bagi
calon pembeli barang seni. Utang bank itu bebas bunga. Menurut Menteri
Kebudayaan Perancis Christine Albanel, tujuannya agar setiap orang jadi lebih
dekat dengan kebiasaan membeli karya seniman Perancis, selaras dengan
kedekatan pada musik, tari, atau drama Perancis. Pemerintah Perancis juga
memberi berbagai kemudahan kepada bank-bank yang berpartisipasi dalam program
ini.
Kebijakan seni Perancis
ini mengadopsi sistem di Inggris. Sementara di Belanda, Kementerian Urusan
Sosial (dan Kesehatan Umum) sejak tahun 1936 telah membuat ketetapan dasar
untuk menyubsidi para seniman yang karyanya punya kontribusi dalam sejarah
budaya. Kementerian Perumahan dan Perencanaan Fisik menetapkan agar
pembangunan gedung dan taman menyisihkan 1,5 persen bagi pembelian karya
seni. Amerika Serikat memiliki institusi Endowment for the Arts untuk
melaksanakan program serupa.
Absennya peran Pemerintah
Indonesia juga tampak ketika krisis melanda seni lukis tradisional Bali.
Pasca-Bom Bali (2002 dan 2005), turis kelas utama yang menjadi konsumen seni
lukis tradisional Bali takut ke Bali. Posisi mereka digantikan turis
backpacker yang ”tidak mampu” membeli lukisan tradisional yang relatif mahal.
Justru pasar Bali
menyesuaikan diri dengan menciptakan lukisan abstrak komersial murah meriah
sebagai suvenir seni. Karya-karya itu ternyata sangat laku. Menurut
International Finance Corporation dari Bank Dunia, satu studio lukisan di
Batu Bulan memproduksi minimal 1.000 lukisan dalam sebulan!
Efek nyata dari larisnya
lukisan abstrak adalah ratusan pelukis dan perajin lukisan tradisional Bali
yang berubah haluan. Tadinya mereka serius nyangging, nyungging atau
ngerumit, kini ramai-ramai melukis abstrak yang gampang, cepat, dan asal
sret-sret. Keterampilan mereka terancam hilang.
Untuk mengembalikan para
pelukis tradisional itu ke habitat, pemerintah harus turun tangan. Namun,
pemerintah terus diam. Sampai akhirnya sejumlah pencinta seni yang
dikoordinasi kolektor dan politikus Jusuf Wanandi membentuk perkumpulan Bali
Bangkit. Mereka membuat berbagai pameran, penerbitan buku, dan gerakan
mengoleksi yang akhirnya membuat sebagian besar pelukis tradisional balik ke
asal.
Medio November 2012,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyerahkan Bintang Budaya Parama
Dharma, Satyalencana Kebudayaan, dan Anugerah Kebudayaan kepada 43 seniman
dan budayawan serta 45 maestro seni Indonesia.
Hadiah pin emas dan uang Rp 25
juta sampai Rp 50 juta baru diserahkan minggu kedua Januari 2013. Niat baik
kementerian itu menjadi sekadar pencitraan. Seniman serta budayawan jadi
alatnya.
Sampai di sini, mustahil
Indonesia bisa membubungkan senimannya jadi ikon dunia. Akhirnya Kakek benar
belaka, bahwa seniman kreatif di Indonesia hanya kere yang aktif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar