Kualitas
Pertumbuhan
Pande Radja Silalahi ; Pengamat
Ekonomi CSIS
|
SUARA
KARYA, 21 Januari 2013
Keraguan atas
kemampuan Indonesia menciptakan pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi makin
lama makin besar. Bahkan sering dikemukakan bahwa angka pertumbuhan yang
diungkapkan oleh pemerintah atau Badan Pusat Statistik (BPS) adalah angka di
atas kertas dan bukan angka riil. Muncul dan berkembangnya keraguan itu
sangat menyedihkan, terutama karena secara tidak langsung hal itu menyatakan
bahwa pemerintah berbohong. Padahal, keadaannya tidaklah demikian.
Dalam beberapa tahun
terakhir ini, raihan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebenarnya relatif tinggi.
Tetapi, seiring dengan pertumbuhan itu, kepincangan dalam perolehan
"kue" yang makin besar tersebut makin dalam. Tingkat kepincangan
itu dewasa ini adalah yang terparah, yang pernah terjadi di Indonesia.
Bersamaan dengan makin
parahnya kepincangan penghasilan masyarakat, ternyata daya serap ekonomi pada
penciptaan lapangan kerja makin kecil. Sektor-sektor yang mengalami
pertumbuhan yang lebih cepat adalah sektor yang padat modal dan teknologi
seperti komunikasi. Dalam keadaan seperti ini, dengan mudah dapat dipahami
muncul dan berkembangnya keraguan sebagian masyarakat atas raihan ekonomi
yang diciptakan oleh Pemerintah Indonesia.
Sungguh, sangat
memprihatinkan bahwa pemerintah yang menyatakan dirinya pro-poor, pro-growth dan pro-job
masih terus menerapkan kebijakan yang terbukti tidak pro-poor, yaitu lewat pemberian subsidi energi atau subsidi bahan
bakar minyak (BBM). Pada tahun anggaran 2013 ini ternyata subsidi energi
masih lebih besar dari belanja pegawai, lebih besar dari belanja barang, dan
lebih besar dari belanja modal, serta lebih besar dari belanja pendidikan.
Dipandang dari sudut
ekonomi mana pun, pemberian subsidi yang sangat besar itu tidak efisien dan
tidak efektif serta tidak memihak kepada si miskin. Dan, kalau ditelaah lebih
jauh, mempertahankan kebijakan itu tahun ini dapat menjadi "bom
waktu" yang akibatnya akan luas. Menyimak serta mengkaji hal itu, mulai
muncul pertanyaan apakah memang bom waktu itu sengaja dipasang untuk
tujuan-tujuan tertentu?
Dengan berakhirnya
tahun 2013, berarti Indonesia akan memasuki pusaran tahun politik, di mana
pertimbangan politik lebih menonjol dari pertimbangan ekonomi. Sudah dapat
diperkirakan bahwa kebijakan menciptakan efisiensi yang rasanya pahit sangat
mungkin diterapkan pada tahun 2013 dan bukan pada tahun 2014.
Oleh karena itu, agar
tahun 2014 dapat dilalui dengan baik, maka sangat tepat apabila tindakan atau
kebijakan efisensi, terutama yang tidak dapat menyenangkan semua golongan,
dilaksanakan pada tahun 2013 ini. Berbagai kebijakan efisiensi yang menunjang
pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi serta berkualitas adalah tepat
dilakukan pada tahun 2013.
Tahun ini, meski sudah
dicanangkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai tahun
politik, kegiatan ekonomi masih lebih kuat. Upaya-upaya memperbaiki kualitas
ekonomi masih terbuka ketimbang tahun depan yang memang sudah nyata-nyata
dekat sekali dengan pemiliham umum. Suasananya pun sangat mungkin akan
membahana ke suasana pemilu karena partai politik sudah menabuh genderang
kampanye.
Semoga tahun ini
pemerintah bisa mengambil langkah yang tepat untuk memperbaiki kualitas
pertumbuhan ekonomi, yang diharapkan dapat mencapai target 6,8-7,2 persen
yang ditetapkan, dan kemudian ternyata direvisi menjadi 6,6-6,8 persen dengan
pertimbangan krisis global. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar