Jumat, 04 Januari 2013

Nilai-Nilai Kesetiakawanan Sosial


Nilai-Nilai Kesetiakawanan Sosial
Yuli Apriyandi ;  Mahasiswa Pascasarjana Ekonomi Islam UII Yogyakarta
SUARA KARYA,  04 Januari 2013
  

Saatnya kita kembali merefleksi diri betapa pentingnya menumbuhkan rasa kesetiakawanan sosial pada masyarakat. Pada saat ini bangsa Indonesia tidak lagi menghadapi perjuangan secara fisik seperti perang, akan tetapi dihadapkan pada berbagai masalah sosial. Sehingga, kekuatan atau modal berupa jiwa dan semangat kesetiakawanan sosial yang kita miliki harus dapat diarahkan untuk mengatasi dan menanggulangi berbagai masalah sosial tersebut.
Namun, dalam realitanya, rasa kesetiawakanan sosial mulai redup bahkan nyaris hilang di tengah masyarakat moderen saat ini. Hilangnya rasa empati, rasa peduli terhadap sesama sehingga melahirkan manusia-manusia individualis. Kepentingan pribadi menempati posisi utama daripada kepentingan sosial.
Dampak nyata dari redupnya rasa kesetiakawanan sosial saat ini adalah masih munculnya kesenjangan sosial ekonomi, terkikisnya nilai-nilai keadilan, konflik suku, antar ras dan agama (SARA) serta permasalahan-permasalahan sosial lainnya.
Dalam bidang sosial ekonomi, kesenjangan masih tampak jelas. Meskipun pemerintah menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia kian mengalami peningkatan yang signifikan, akan tetapi pertumbuhan ekonomi tersebut ternyata tidak mampu memberikan pemerataan secara inklusif, sehingga hanya melahirkan segelintir orang super kaya. Adanya ketimpangan dalam distribusi pendapatan antar kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi dan kelompok masyarakat berpenghasilan rendah membuat kesenjangan sosial ekonomi di negara ini semakin besar.
Baru-baru ini Majalah Forbes, salah satu majalah bisnis dan ekonomi terkemuka di dunia merilis 40 orang terkaya di Indonesia. Dari 40 orang terkaya tersebut, 17 di antaranya masuk dalam jajaran top dunia. Jika kita lihat, dari tahun ke tahun peningkatan total kekayaan 40 orang kaya di Indonesia mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Pada tahun 2010 total kekayaan 40 orang terkaya di Indonesia mencapai 71 miliar dolar (Rp 680 triliun), pada 2011 mencapai 85,1 miliar dolar (Rp 765,9 triliun) naik 19 persen dari tahun sebelumnya. Kemudian, pada 2012 dari data yang dikeluarkan per November kekayaan mereka mencapai 88,6 miliar dolar (Rp 806,3 triliun) naik 4 persen dari tahun sebelumnya.
Jika di tahun 2010, kekayaan 40 orang terkaya Indonesia sebesar Rp 680 triliun yaitu setara dengan kekayaan sekitar 15 juta keluarga atau 60 juta jiwa paling miskin, pada 2011 justru lebih lebar, yakni setara dengan 85 juta jiwa penduduk Indonesia. Dari data ini dapat kita lihat, betapa kesenjangan sosial ekonomi masih menganga lebar.
Lain-lagi jika kita berbicara masalah nilai kesetiakawanan dalam penegakkan keadilan, misalnya sebagaimana yang telah dirumuskan di dalam sila kelima Pancasila, yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, apakah sudah benar-benar terwujud keadilan untuk semua kalangan masyarakat?.
Banyak bukti yang berbicara bahwa keadilan hanya untuk kalangan orang berduit. Kasus seperti jual beli hukum, bahkan yang sempat membuat kita miris adalah kasus pertama kalinya pemecatan hakim agung dari Mahkamah Agung karena diduga melakukan pemalsuan vonis pidana narkoba.
Negeri ini sudah banyak tercoreng oleh penistaan terhadap nilai-nilai keadilan. Kesetiakawanan yang sejatinya adalah merupakan semangat kebangsaan atau nasionalisme yang mempunyai kesamaan nasib dan tujuan. Namun, karena hanya kepentingan segelintir orang atau golongan, nilai-nilai keadilan, kebersamaan, toleransi, semua habis di injak-injak oleh keserakahan dan keangkuhan sikap.
Konflik sosial akibat dari redupnya nilai kesetiakawanan sosial, mengalami peningkatan. Dalam catatan Kementrian Dalam Negeri, jumlah konflik sosial pada tahun 2012 meningkat menjadi 89 kasus dari semula 77 kasus di tahun 2011. Dalam sebuah kesempatan, Jusuf Kalla, mantan wakil presiden Republik Indonesia menilai bahwa terjadinya konflik sosial akibat dari keadilan dan kemakmuran yang tidak berjalan baik di daerah konflik tersebut.
Inilah yang patut menjadi bahan refleksi bagi kita di hari-hari ini, saat kita memasuki tahun politik sebagaimana diungkapkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Tahun-tahun yang disinyalir bisa meruntuhkan kesetiakawanan sosial nasional. Padahal, ide atau konsep tentang kesetiakawanan sosial sebagai unsur pokok kekuatan nasionalisme harus selalu di pupuk. Nasionalisme sebagai suatu proses sejarah yang tidak berhenti hanya dengan tercapainya kemerdekaan, tidak akan berhenti hanya karena tercapainya persatuan dan kesatuan bangsa. Nasionalisme akan terus bergerak, tumbuh, dan akan terus berkembang sesuai dengan gerak perkembangan masyarakat.
Dengan spirit nasionalisme tersebut, kebersamaan akan bangkit karena merasa saling memiliki dan senasib sepenanggungan tanpa ada persaingan yang saling menjatuhkan. Dengan demikian, kehidupan demokrasi akan berjalan damai, tidak mudah untuk di adu domba, menjunjungan tinggi nilai-nilai toleransi, serta terwujudnya nilai-nilai keadilan yang menyeluruh.
Selain itu, wujud nyata dari kesetiakawanan sosial tidak hanya dengan mengandalkan peran pemerintah saja, akan tetapi juga melibatkan seluruh elemen masyarakat lainnya seperti pengusaha, praktisi, penegak hukum, pendidik, mahasiswa dan lain sebagainya. Sehingga, jika semua elemen masyarakat dan pemerintah dapat bersinergi, maka cita-cita bangsa sebagaimana yang telah di amanatkan di dalam Undang-Undang Dasar 1945 yakni mewujudkan suatu negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur dapat segera terwujudkan.
Kita butuh tokoh perekat nilai-nilai kesetiakawanan sosial agar negara ini menjadi kuat baik ke dalam maupun ke luar. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar