Jumat, 04 Januari 2013

Makna Predikat Proper


Makna Predikat Proper
Sudharto P Hadi ;  Dosen Manajemen Lingkungan Universitas Diponegoro
SUARA MERDEKA,  04 Januari 2013

  

PERISTIWA lingkungan yang menarik dicermati pada pengujung 2012 adalah pemberian anugerah lingkungan kepada sejumlah perusahaan peserta Program Peringkat Kinerja Perusahaan (Proper), yang mampu mengelola lingkungan dengan baik. Peringkat paling bergengsi adalah mereka yang telah melakukan beyond compliance, tidak sekadar memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan, dengan label emas dan hijau. 

Predikat hijau berarti perusahaan itu te-lah menerapkan efisiensi energi, prinsip 3R (reduce, reuse, dan recycle), dan penyelamatan keanekaragaman hayati. Peringkat emas telah melampaui apa yang dilakukan peringkat hijau, dengan melaksanakan pemberdayaan masyarakat melalui corporate social responsibility (CSR). 

Adapun yang sekadar memenuhi peraturan perundang-undangan mendapat peringkat biru. Perusahaan yang tidak memenuhi ketentuan regulasi itu mendapat predikat merah dan hitam.  Apa makna di balik penghargaan itu?

Proper merupakan program unggulan Kementerian Lingkungan Hidup yang bertujuan mendorong ketaatan perusahaan terhadap regulasi lingkungan hidup dan mencapai keunggulan lingkungan dengan mengintegrasikan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan me-lalui proses produksi dan jasa, penerapan sistem manajemen lingkungan, efisiensi energi, penerapan prinsip 3 R, konservasi sumber daya alam, dan pelaksanaan etika bisnis. 

Tahun 2012 penerima penghargaan kategori emas meningkat menjadi 12 perusahaan, tahun 2011 baru 5 perusahaan. Tingkat ketaatan juga meningkat, ditunjukkan dengan peningkatan dari 66% pada 2011 menjadi 69% pada 2012. Pemegang peringkat hijau merangkak naik dari 18% tahun 2011 menjadi 30% pada 2012. Sementara kelompok perusahaan berpredikat merah turun, dari 12% pada 2011 menjadi 9% pada 2012.       

Data ini menunjukkan peningkatan kesadaran lingkungan di kalangan dunia usaha sekaligus menepis dikotomi antara lingkungan dan profit. Selama ini masih kuat anggapan jika perusahaan mengelola lingkungan, ia akan kehilangan keunggulan kompetitif mengingat investasi untuk pengelolaan lingkungan cukup besar. 

Tidak bisa dimungkiri masih banyak perusahaan enggan mengelola lingkungan. Tahun 1995 Bank Dunia dalam penelitiannya tentang tingkat ketaatan industri menyimpulkan 61% industri di Kota Semarang do nothing dalam mencegah pencemaran dan kerusakan lingkungan.  

Memang bila tidak semua industri mengelola lingkungan, akan terjadi persaingan yang tak seimbang. Mereka yang mengelola lingkungan akan kalah bersaing karena harga satuan produknya pasti lebih tinggi. Kalau pemerintah melakukan pembiaran kepada para ’’bad boys’’ (sebutan perusahaan yang cuek pada lingkungan) akan terjadi ketidakadilan.

Dengan mengelola lingkungan, kemudian mendapatkan penghargaan dan diberitakan media massa secara luas, citra perusahaan sesungguhnya meningkat. Inilah yang disebut bentuk insentif. Perusahaan yang mengelola lingkungan dengan baik, umumnya lingkungan kerjanya pun baik, yang membuat pekerja merasa nyaman bekerja. Kenyamanan pekerja akan meningkatkan produktivitas yang pada gilirannya mendongkrak profit perusahaan. 

Memboikot Produk

Mengelola lingkungan tak selalu identik dengan pemborosan. Efisiensi penggunaan energi akan menghemat pengeluaran. Demikian juga penerapan prinsip 3R akan mencegah pemborosan. Dari segi eksternal, perusahaan yang bercitra baik, produknya akan disukai konsumen. Hubungan dengan masyarakat sekitar pun mesra karena tidak pernah ada kasus pencemaran. Suasana harmoni, baik ke dalam maupun keluar, akan menjamin keberlanjutan usaha karena tak pernah terganggu oleh unjuk rasa dan demo.

Bagaimana dengan predikat merah dan hitam? Pengumuman predikat tidak taat merupakan bentuk disinsentif.  Perusahaan pasti terpukul dengan predikat tersebut, apalagi diumumkan di media massa. Jenis perusahaan yang masuk  kategori ini bervariasi, dari perusahaan industri sampai perusahaan jasa, seperti hotel dan rumah sakit. Kelemahan mereka pada pengelolaan limbah dan B3. 

Di negara-negara maju, produk dan jasa dari perusahaan yang kinerja lingkungannya buruk akan diboikot, dan produknya dihindari. Fenomena ini menunjukkan bahwa konsumen sesungguhnya memiliki kekuatan untuk menentukan produk dan jasa yang harus dibuat oleh sebuah perusahaan. 
Kriteria dalam menggunakan barang dan jasa bukan sekadar murah, melainkan juga harus memenuhi kualitas lingkungan.

Di samping itu, perusahaan berpredikat hitam akan ditindak dengan sanksi administratif, dari pembinaan sampai penutupan usaha mereka. Tindakan ini guna mencegah dampak yang lebih buruk yang menimpa lingkungan.  Kalau Proper dilakukan dengan baik dan dengan dukungan masyarakat sebagai konsumen dan stakeholder, niscaya membantu mencegah terjadinya pencemaran dan kerusakan lingku
ngan. Atas realitas itu, tidak elok menyebut Proper sebagai program percuma. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar