Senin, 21 Januari 2013

Negeri Surga bagi Pemerkosa


Negeri Surga bagi Pemerkosa
Tri Marhaeni P Astuti ;  Guru Besar Antropologi
pada Jurusan Sosiologi dan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial Unnes 
SUARA MERDEKA, 21 Januari 2013



KEGERAMAN masyarakat kembali ’’meledak’’ saat menyimak pernyataan calon hakim agung Daming Sunusi mengenai kasus pemerkosaan. Lelucon melecehkan itu muncul ketika dalam fit and proper test Daming menjawab pertanyaan anggota Komisi III DPR tentang hukuman mati bagi pemerkosa.

Apa jawaban Daming? ’’Yang memerkosa dan yang diperkosa ini sama-sama menikmati. Jadi harus pikir-pikir terhadap hukuman mati Ö’’

Tak percaya rasanya kalimat itu diucapkan oleh seorang calon hakim agung. Lebih ironis lagi, lelucon yang tidak lucu itu ditanggapi dengan tawa terbahak sejumlah anggota DPR. Inikah wakil rakyat kita? Bagaimana mungkin seorang calon hakim agung yang notabene penegak hukum tertinggi justru melecehkan hukum dan berpikiran ’’kotor’’?

Rupanya hegemoni pikiran yang menganggap perempuan adalah warga negara kelas dua, sekadar objek, ’’milik’’ yang bisa diperlakukan apa saja dari subjeknya, dari pemiliknya, masih kuat bercokol pada benak sebagian masyarakat. Alangkah miris ketika hegemoni pikiran itu juga merasuki para punggawa negara dan para punggawa hukum. Lalu ke mana lagi masyarakat --terutama perempuan-- meminta perlindungan?

Pemerkosaan adalah kejahatan luar biasa keji. Andaikata kasus pemerkosaan itu menimpa keluarga Daming Sunusi --dan orang-orang yang menganggap perkosaan adalah lelucon-- apakah Daming masih bisa bicara seperti itu? Apakah anggota DPR yang tertawa-tawa juga masih bisa tertawa? 

Relakah seandainya anak perempuan mereka, adik perempuan mereka, ibu mereka, istri mereka, mengalami kejahatan itu; kemudian dilecehkan orang dengan mengatakan, ’’kan sama-sama menikmati?’’ Saya yakin 1.000 persen mereka tidak akan terima.

Hipotesisnya, selama hegemoni pikiran yang menyesatkan itu masih ’’gentayangan’’ dalam  masyarakat maka kejahatan seksual pemerkosaan juga tidak akan pernah tertangani secara adil. 

Surga Pemerkosa

Setelah putusan hukum kontroversial dalam kasus korupsi Angelina Sondakh yang menegaskan ’’negara kita adalah surga bagi koruptor’’, akankah kegetiran itu bertambah dengan satu label lagi: ’’surga bagi pemerkosa’’?  Para pemimpin selalu mengatakan, ’’marilah, masyarakat jangan reaktif dalam menyikapi kebijakan, tetapi harus proaktif’’. Bagaimana masyarakat akan proaktif jika kebijakan yang muncul justru menyuburkan reaksi mereka? 
Mobilisasi ’’Civil Society’’

Lemahnya penegakan hukum terhadap kasus-kasus korupsi mampu menggerakkan seluruh elemen masyarakat untuk menjadi kekuatan penekan. Elemen-elemen kritis publik dengan ’’sukarela’’ berunjuk rasa manakala merasakan ada ketidakadilan dalam penanganan kasus korupsi dan kasus sosial lain. Tetapi anehnya, ketika terjadi kasus pemerkosaan, bahkan yang sudah diekspose, seolah-olah betapa sepi reaksi masyarakat.

Yang lebih menyakitkan adalah lontaran ejekan, menyalahkan perempuan dengan kata-kata yang tidak senonoh dan memojokkan. Inilah yang sebenarnya harus disadari masyarakat, bahwa kasus pemerkosaan bisa terjadi di mana saja, kapan saja, dan pada siapa saja.

Perempuan korban pemerkosaan selalu mengalami pemerkosaan ’’ganda dan berlapis’’. Begitu kasusnya diekspose, masyarakat justru mencibir dan menyalahkan korban yang dituduh ’’berlaku mengundang’’, karena berpakaian seksi, atau bahkan dituduh ’’menikmati’’. Demikian pula proses hukum yang harus dijalani: aparat hukum menginterogasi korban dengan nada melecehkan seolah-olah pemerkosaan terjadi akibat kesalahan korban. Bukankah ini kekerasan psikologis yang luar biasa?

Peristiwa pemerkosaan mahasiswi kedokteran di India yang akhirnya menewaskan perempuan tersebut setelah dirawat di Singapura, menggerakkan demonstrasi besar-besaran di seluruh pelosok negeri. Begitu besar tekanan masyarakat, semua elemen masyarakat bersatu padu dan satu rasa, yakni marah.

Jika hukum di Indonesia masih memvonis ringan para pemerkosa, penting bagi elemen-elemen masyarakat sebagai kekuatan sosial melakukan gerakan revolusioner untuk ’’menegakkan’’ hukum dan membangun efek jera. Menghukum berat pemerkosa akan lebih menjamin keamanan dan keadilan bagi seluruh masyarakat.  

Kalau kemudian aparat hukum berpikiran melecehkan korban pemerkosaan, dan elemen masyarakat juga tidak peduli, apakah memang negara kita sudah menjadi surga yang nyaman bagi koruptor, gembong narkoba, dan pemerkosa? Saatnya masyarakat merapatkan barisan, menyusun kekuatan sebagai penekan agar hukum bisa ditegakkan tanpa pandang bulu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar