Senin, 21 Januari 2013

Beban Baru Pemerintahan Obama


Beban Baru Pemerintahan Obama
Chusnan Maghribi ;  Alumnus Hubungan Internasional FISIP
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY)
SUARA MERDEKA, 21 Januari 2013



PEMERINTAHAN periode kedua Barack Hussein Obama (2013-2016) yang secara resmi dimulai setelah Obama kembali dilantik sebagai presiden (21/01/13) memikul sarat beban akibat akumulasi persoalan politik ekonomi: dari sikap Partai Republik yang cenderung selalu menolak atas tiap rencana kebijakan pemerintahan (Obama) hingga masalah riil ekonomi keuangan yang memang tidak ringan.

Hasil pemilihan umum (pemilu) Amerika Serikat pada 6 November 2012 selain dimenangi Partai Demokrat (dalam pilpres dan pemilihan anggota senat), juga sekaligus Republik (pemilihan anggota kongres/DPR). Penguasaan Republik atas kongres menimbulkan implikasi serius dalam proses pengambilan keputusan. 

Bahkan beberapa kali memaksa Obama bernegosiasi ketat terlebih dulu dengan kongres walau hanya sekadar untuk menetapkan menteri. Daftar calon menteri yang sudah dalam genggaman tangan Obama pun tidak otomatis lolos. Susan Rice (Duta Besar AS di PBB) yang digadang-gadang menjabat menteri luar negeri (menlu) menggantikan Hillary Clinton misalnya, terpaksa mengundurkan diri. Dia mendapat tantangan kuat dari kubu republiken di kongres, hingga Obama akhirnya menominasikan John Kerry sebagai menlu.

Selain itu, republiken menentang nominasi Charles Timothy ’’Chuck’’ Hagel sebagai menteri pertahanan (menhan) menggantikan Leon Panetta, karena dianggapnya tidak layak. Kaum republiken baik pada kongres maupun senat berpandangan jika Hagel menjabat menhan, dia akan menjadi menteri paling antagonis dalam sejarah AS lantaran menganjurkan agar Israel mau bernegosiasi dengan Hamas yang dicap sebagai organisasi teroris, serta ingin berdialog dengan Iran. 

Menurut mereka tipikal Hagel tidak pantas menjabat menhan. Penunjukkannya sebagai menhan menjadi pesan buruk bagi Israel ataupun sekutu-sekutu lain AS di Timur Tengah. Tapi hingga saat ini ini Obama teguh masih memilih Hagel sebagai menhan. 

Di luar itu kaum republiken di kongres memaksa Obama bekerja habis-habisan untuk meloloskan kebijakan (undang-undang) penaikan pajak bagi warga kaya. Regulasi itu akhirnya lolos melalui voting di kongres pada 1 Januari 2013 dengan perbandingan 257 suara mendukung dan 167 suara menolak. Kelolosan UU tersebut cukup berarti karena bisa menghindari terjadinya jurang fiskal (fiscal cliff), yakni pemotongan anggaran belanja negara dan kenaikan pajak otomatis bagi hampir semua warga negara.

Dalam UU baru itu disebutkan, pajak bagi individual AS yang berpenghasilan di atas 400.000 dolar AS (Rp 3,85 miliar) per tahun dan pasangan dengan penghasilan lebih dari 450.000 dolar per tahun akan dinaikkan menjadi 39,6 persen. Pajak penghasilan investasi, pendapatan dividen, dan properti warisan juga dinaikkan. Secara keseluruhan, inilah kenaikan pajak besar-besaran setelah era pajak ’’rendah’’ di AS dalam dua dekade terakhir.

Batas Aman

Lebih dari itu, republiken baik dalam kongres maupun senat menekan Obama agar tidak menaikkan pagu utang pemerintah. Sejauh ini Obama menyadari utang pemerintah AS memang sudah menggunung, melampaui batas aman. Berdasarkan informasi dari USDebtClock.org, total utang sudah mencapai 16,43 triliun dolar AS atau 105,59 persen dari produk domestik bruto (PDB) AS yang kini 15,5 triliun dolar. Batas amannya adalah 60 persen dari PDB.

Dari sudut anggaran pun utang AS tersebut juga sudah melanggar batas aman. Sejak pemerintahan George Walker Bush tahun 2000 anggaran belanja AS selalu mengalami defisit, dan jumlah keseluruhannya kini mencapai 7 persen. Batas aman defisit anggaran adalah 3 persen dari PDB.

Karena itu, kalangan pakar ekonomi umumnya menilai besarnya jumlah utang AS saat ini bukan saja melampaui batas aman, melainkan juga membahayakan kelangsungan perekonomian Negeri Paman Sam itu dalam jangka panjang. Itu sebabnya, kaum republiken menentang keinginan Obama menaikkan pagu utang. Lantas mengapa Obama ngotot minta pagu utang dinaikkan?

Ketika menjawab pertanyaan Mitch McConnell (pemimpin Republik di senat) mengapa pagu utang harus dinaikkan, Obama mengatakan bahwa pemerintahannya membutuhkan kenaikan pagu guna mendukung pengeluaran pemerintah. Menurut Obama, pengeluaran pemerintah kini hanya bisa mengandalkan tambahan utang baru lantaran AS tidak memiliki sumber penerimaan yang memadai. Jika tidak dinaikkan, operasional pemerintah bisa terhenti seperti pernah terjadi pada dekade 1990-an (Kompas 05/01/13).

Terlepas dari tarik-menarik antara Obama dan kaum republiken terkait banyak isu tadi, yang pasti Presiden Obama memulai mengendalikan kemudi pemerintahannya periode kedua sekarang ini dengan memikul beban berat. Apakah ia akhirnya akan berhasil mengatasi beban atau segenap persoalan yang dihadapi itu dengan baik ataukah tidak, hal itu tentu akan sangat ditentukan oleh kemampuan manajerialnya dalam memimpin AS empat tahun ke depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar