Negara dan
Kontrak Privat
A Zen Umar Purba ; Dosen Program Pascasarjana FHUI
|
KOMPAS,
03 Januari 2013
Ini isu tersisa dari tahun 2012 yang belum
terjawab: tergradasikah negara atau pemerintah kalau ia menjadi pihak dalam
kontrak privat? Pertanyaan ini timbul karena pernah dipersoalkan oleh para
pemohon uji yudisial, yang menyebabkan Mahkamah Konstitusi pada November 2012
menyatakan inkonstitusionalnya BP Migas.
Ditandatanganinya kontrak bagi hasil
(production sharing contract/PSC) oleh Pemerintah RI, menurut mereka, telah
menempatkan pemerintah sejajar dengan perusahaan minyak yang menjadi
kontraktor. Mestinya ”tidak G (government) to B (business), tetapi B to B”,
ujar Din Syamsuddin, Ketua Umum PP Muhammadiyah, salah satu pemohon uji
yudisial (uji materi) itu, di luar sidang.
Minyak dan gas bumi (migas) adalah sumber
daya alam tak terbarukan. Pasal 33 UUD 1945 mendeklarasikan status dan
bagaimana pengelolaannya. Dari sejarahnya, pengusahaan migas dilakukan dengan
beberapa model. Namun, yang jelas pengusahaannya penuh risiko, memerlukan
modal raksasa, teknologi tinggi, yang semuanya belum bisa kita penuhi.
PSC ditandatangani oleh pemerintah melalui
BP Migas, badan yang dibentuk khusus dan kepalanya diangkat pemerintah dengan
konsultasi DPR. Pemerintah (bukan BP Migas) adalah pemegang kuasa
pertambangan (KP) berdasarkan UU Migas 2001, yaitu ”wewenang yang diberikan
negara kepada pemerintah untuk menyelenggarakan kegiatan eksplorasi dan
eksploitasi”. Areal pengusahaan migas ini adalah seluruh wilayah RI, baik
darat maupun laut, plus zona ekonomi eksklusif/landas kontinen.
Dalam lintas bisnis, adalah hal biasa kalau
pemerintah menandatangani kontrak. Sekarang saja pemerintah menjadi penanda
tangan bersama-sama dengan perusahaan asing dalam kontrak karya pertambangan
nonmigas. Tentu tidak pula bisa ditafsirkan terjadi degradasi tatkala
negara/pemerintah menghadap notaris, ingin membentuk BUMN yang persero.
Negara sebagai pemegang saham adalah dalam kapasitas privat, dan lembaga
Menteri Negara BUMN adalah rapat umum pemegang saham yang merupakan otoritas
tertinggi PT. Sebab, UU BUMN 2003 menyatakan: Persero sepenuhnya tunduk pada
UU PT, yakni UU PT 2007.
Tetap Berdaulat
Sementara itu, dengan meratifikasi Konvensi
tentang International Centre for the
Settlement of Investment Disputes (ICSID)—salah satu badan arbitrase
untuk menyelesaikan sengketa internasional)— RI mengakui kedudukannya sebagai
subyek privat dalam perselisihan dengan investor asing. RI sudah berapa kali
dibawa ke arbitrase internasional. Sekarang ini Indonesia menjadi pihak dalam
kasus Churchill Mining dan bekas pemegang saham Century, Ravat Ali Rizvi
serta Hesham al-Warraq, menggugat RI di ICSID.
Status privat negara dalam arbitrase ICSID
merupakan penyeimbang atas kesepakatan dunia bahwa semua investor asing harus
membentuk PT PMA. Artinya, ia tunduk pada hukum nasional satu negara, kecuali
dengan undang-undang dinyatakan lain.
Terganggukah posisi negara sebagai
regulator kalau ia menandatangani kontrak? Sama sekali tidak. Negara tetap
berdaulat penuh. Ia dengan leluasa bisa membuat aturan apa saja dalam
yurisdiksinya. Hanya karena ia bertindak dalam kapasitas privat, negara
kehilangan imunitasnya. Mengacu pada kontrak yang ditekennya, negara harus
bisa dimintai pertanggungjawabannya.
Seorang hakim Inggris, Lord Denning, pada
tahun 1979 menyatakan: sekali negara menjadi trader, pedagang, seterusnya (dalam kontrak itu) ia trader. Hal yang masuk akal. Jangan
saat negara selaku pihak privat ditagih kewajibannya, lalu negara menyatakan
ia kebal. Kegiatan negara yang begini oleh para ahli dikatakan sebagai jure gestionis, yakni tindakan
komersial atau tindakan non-pemerintahan.
Pihak yang keberatan menyatakan, kalau
pemerintah yang teken kontrak, semua aset pemerintah akan jadi tanggungan.
Memang benar! Berdasarkan hukum perdata, harta merupakan jaminan atas
kewajiban seseorang. Namun, ini kekhawatiran saja sebab yang akan terganggu
hanya aset yang berkaitan dan dalam jumlah yang relevan.
Sesungguhnya
kontrak-kontrak oleh badan usaha yang khusus dibentuk, semisal Pertamina
1971, PSC tetap diikuti dengan tanda tangan persetujuan dari pemerintah juga.
Kalah di Merdeka Barat
Jadi, bagaimana sistem pengusahaan migas ke
depan? Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik menegaskan,
pemerintah akan merevisi UU Migas 2001. Namun, dia pastikan tidak akan
kembali ke Pertamina model lama. Dengan UU Pertamina 1971, Pertamina
ditetapkan sebagai pemegang KP. Jadi, dia sebagai regulator sekaligus
perusahaan. Dengan UU Migas 2001 kenyataan ini dikoreksi. KP dipegang kembali
oleh pemerintah seperti diungkapkan di atas.
Sebetulnya, dalam perspektif lain, masalah
besar pada era Pertamina 1971, di samping persoalan konsep terkonsentrasinya
fungsi regulator dan perusahaan, adalah lemahnya pengawasan yang memang sudah
menggejala sebagai penyakit nasional. Namun, dalam alam serba terbuka dan
demokratis dewasa ini, orang mungkin boleh optimistis bahwa pengawasan akan
bisa lebih keras.
Hanya saja, mengingat sudah beberapa kali
UU Migas 2001 di-uji-yudisial-kan, padahal ia adalah produk bersama
pemerintah dan wakil rakyat, bagaimana sebetulnya kekuatan satu
undang-undang? Kurang representatifkah kedua lembaga negara tersebut? Bahkan
BP Migas pun dibentuk bersama oleh pemerintah dan DPR. Masak berapa kali
dikalahkan di Merdeka Barat? Atau perlukah diadakan satu rembuk nasional
tentang bagaimana sebaiknya mengelola sumber daya alam strategis itu walaupun
sidang DPR bersifat terbuka? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar