Kamis, 03 Januari 2013

Pertaruhan RUU Desa


Pertaruhan RUU Desa
Arie Sujito ; Sosiolog UGM; Koordinator Tim Advokasi RUU Desa IRE Yogyakarta
KOMPAS,  03 Januari 2013



Apa sebenarnya yang diharapkan masyarakat desa atas Rancangan Undang-Undang Desa yang sekarang dalam pembahasan oleh pemerintah dan DPR?
Jawabnya sederhana sekaligus mendasar: diharapkan RUU Desa mencerminkan pengakuan eksistensi desa dan menjadi pintu gerbang perwujudan kesejahteraan bagi masyarakat desa.

Karena itu, jika tiba-tiba elite desa seperti para perangkat desa berbondong-bondong menuntut ke DPR dan pemerintah agar mereka diangkat jadi pegawai negeri sipil, itu sesungguhnya bukan aspirasi otentik warga desa. Tak ada hubungannya dengan tujuan pengaturan desa berbentuk UU. Bahkan, dapat disebut bumerang atau kontraproduktif.

Dari sekian argumen yang diperjuangkan aktivis LSM, akademisi, tokoh lokal, ataupun jurnalis, isu tuntutan para elite desa semacam itu tidak pernah jadi perhatian substansial. Draf alternatif berupa naskah akademik ataupun pasal-pasal dalam RUU Desa sebagai pembanding berorientasi pada penguatan masyarakat, bukan elite desa.

Tiga Hal

Paling tidak, ada tiga hal penting menyangkut substansi RUU Desa. Pertama, soal kejelasan kewenangan desa sebagai wujud pengakuan negara atas desa. Sejak UU No 5/979 tentang Pemerintahan Desa diberlakukan, praktis tak ada pengakuan kewenangan, baik secara politik maupun sosial ekonomi. Pengaturan desa diseragamkan bermodel ”Jawanisasi”, bertujuan agar negara mudah mengontrol desa. Dampaknya, desa termarjinalisasi dalam arus kebijakan.

Sejak reformasi, upaya memperkuat kembali desa mulai tumbuh lewat UU Pemerintahan Daerah (UU No 22/1999). Regulasi itu memberi pesan penguatan desa bertumpu pada hak asal- usul. Gairah kebangkitan desa begitu terasa, terutama membenahi tata pemerintahan, memperkuat kemandirian, dan mempraktikkan demokrasi konteks desa. Beberapa capaian bisa dipetik, seperti meningkatnya partisipasi warga, perbaikan perencanaan dan implementasi pembangunan, serta berfungsi checks and balances kekuasaan desa.

Sayangnya, hal itu tak berlangsung lama. Ketidakpastian politik telah menyebabkan terbitnya UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Alih-alih revisi, justru UU menghadirkan corak resentralisasi. Desa kembali tersubordinasi pemerintah kabupaten, cermin kemunduran paling nyata desa di era reformasi.

Hanya satu hal yang bisa diapresiasi: adanya alokasi dana desa (ADD) sebagai bentuk redistribusi sumber daya dari negara kepada desa. Meski dalam praktiknya tak semua kabupaten taat memenuhinya, ADD sebagai hak desa malah kerap dipersulit.

Atas pertimbangan itu, mestinya RUU Desa kali ini mengembalikan kewenangan desa secara lebih jelas dan konsisten diterapkan. Hal ini seiring dengan tuntutan paradigma pembangunan berorientasi pemberdayaan, yang menempatkan masyarakat desa sebagai subyek. Kewenangan otonom desa itu jadi dasar mengatasi kecenderungan kooptasi pemerintahan di atasnya.

Kedua, penghargaan kemajemukan desa. Bagaimanapun, format, struktur, dan pola desa di Indonesia begitu beragam. Keunikan desa atau nama lainnya mencerminkan sumber daya lokal yang dimaknai sebagai kekayaan khas bangsa. Tidak mungkin variasi itu dimatikan dengan cara penyeragaman sebagaimana pernah terjadi sebelumnya. Di situlah RUU Desa semestinya merawat dan mengembangkan kemajemukan yang dirumuskan pengaturannya menyesuaikan kondisi lokal.

Ketiga, reformasi perencanaan dan penganggaran pembangunan serta redistribusi sumber daya ke desa. Problem kemiskinan, ketimpangan sosial, dan berbagai ketidakadilan sesungguhnya bersumber pada pola pembangunan yang tak bertumpu pada partisipasi desa. Pembangunan hanya menempatkan desa sebagai obyek dari ragam proyek pemerintahan di atasnya. Itulah model ”pembangunan di desa”, di mana desa hanya menjadi lokasi. Yang diperlukan adalah paradigma ”desa membangun” yang substansinya desa sebagai subyek.

Rawan Dibajak

Ke depan, jika desa diberi kesempatan berpartisipasi aktif dalam pembangunan, mandiri mengelola sumber daya dan aset-asetnya, kemungkinan akan berdaya, tidak bergantung pada pemerintah. Pemberian ADD kepada desa yang telah dilakukan selama ini tentu sangat relevan sekalipun harus dibenahi. Perlu peningkatan besaran ADD dan pembenahan kelola melalui konsolidasi program pembangunan dan anggarannya dalam satu pintu. Konsekuensinya, perlu memastikan desa memiliki kapasitas mengelola sumber daya secara partisipatif, transparan, dan akuntabel.

RUU Desa jadi pertaruhan masa depan desa. Tantangannya adalah, di satu sisi, apakah para pemegang otoritas memiliki komitmen melakukan pembaruan dan memperbaiki nasib warga desa mendorong transformasi desa ke arah demokrasi yang menyejahterakan. Di sisi lain, masyarakat sipil yang peduli atas nasib desa dituntut aktif mengawal RUU Desa agar tidak terdistorsi. Jangan sampai RUU Desa dibajak oleh kepentingan segelintir elite politik nasional ataupun lokal, bahkan oleh perangkat desa sekalipun. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar