Jalur Undangan
yang Menyesatkan
Tulus Santoso ; Tenaga Ahli Anggota Dewan di Komisi DPR
|
KOMPAS,
03 Januari 2013
Niatan pemerintah untuk mereduksi ujian
tertulis sebagai instrumen menjaring calon mahasiswa baru mulai diwujudkan.
Kepala sekolah pun dibuat sibuk karena harus melakukan pengisian data dan
nilai siswa dalam Pangkalan Data Sekolah dan Siswa terhitung 17 Desember
2012-8 Februari 2103.
Terobosan pemerintah yang akan mengedepankan
jalur masuk perguruan tinggi melalui jalur undangan ini dipastikan akan
mengubah komposisi kuota penerimaan mahasiswa baru tahun depan. Tahun ini,
jalur undangan dan tulis mendapat kuota 60 persen dan sisanya untuk ujian
mandiri. Namun, pada 2013, jalur undangan (SNMPTN) mendapat kuota 60 persen,
ujian tulis (SBMPTN) 30 persen, dan ujian mandiri (UM) 10 persen (Kompas, 14
Desember 2012).
Meskipun begitu, komposisi kuota penerimaan
dari tiga jalur tersebut tidak baku, tergantung kebijakan kampus masing-masing.
Namun, jalur undangan harus mendapatkan porsi sedikitnya 50 persen, ujian
tulis minimal 30 persen, dan ujian mandiri maksimal 20 persen.
Ciptakan Segregasi
Langkah yang diambil pemerintah patut
diapresiasi dalam hal kesempatan bagi semua kelas ekonomi untuk bisa
mengikuti seleksi masuk perguruan tinggi karena pemerintah membebaskan biaya
pendaftaran (gratis). Namun, di sisi lain, apakah mereka memiliki kesempatan
yang sama untuk bisa diterima?
Langkah memprioritaskan jalur undangan
dalam seleksi masuk perguruan tinggi negeri (PTN) niscaya semakin
memarjinalkan kelas ekonomi bawah. Selain itu, mekanisme jalur undangan juga
tak memberikan rasa keadilan bagi siswa yang bersekolah di pedalaman atau
terdepan, tertinggal, dan terluar.
Pandangan ini nyata lantaran infrastruktur
dan kualitas pendidikan di Indonesia masih timpang antara pusat dan daerah.
Kondisi ini semakin diperparah dengan makin terkotak-kotaknya pendidikan
nasional dengan label sekolah standar nasional (SSN), rintisan sekolah
bertaraf internasional (RSBI/SBI), dan sekolah internasional.
Segregasi ini selanjutnya menciptakan
persaingan yang tidak sehat antara sekolah yang satu dan lainnya. Kursi
perguruan tinggi dibagi tidak berdasarkan kualitas individu siswa, tetapi
dengan pertimbangan kinerja sekolah (peringkat atau akreditasi sekolah).
Persaingan tak lagi antarsiswa secara nasional, tetapi antarsekolah.
Alhasil, nilai 9 di SMAN 1 Tolitoli akan
kalah dengan nilai yang sama di SMAN 8 Jakarta. Jika sudah demikian, dapat
dipastikan PTN unggulan hanya milik 10 besar sekolah terbaik nasional. Lebih
parah lagi PTN hanya akan jadi milik beberapa sekolah saja yang dianggap
memiliki kinerja yang bagus.
Padahal, persaingan perebutan kursi PTN
akan menarik bila seluruh siswa bersaing secara personal dalam ujian tertulis
berlingkup nasional. Terlalu naif bila persaingan antar-ribuan siswa (jalur
ujian tulis) disebut lebih rendah kualitasnya ketimbang persaingan antarsiswa
dalam satu sekolah (jalur undangan).
Data yang menunjukkan bahwa mahasiswa jalur
undangan lebih konsisten prestasinya tidak bisa dijadikan perbandingan dengan
mahasiswa jalur tulis. Sebab, jumlah mahasiswa jalur undangan lebih sedikit
dibandingkan dengan jalur tulis dan ujian mandiri. Bila skemanya dibalik,
akankah data yang muncul terkait dengan konsistensi prestasi mahasiswanya
bisa sama dengan sebelumnya?
Persaingan antarsekolah ini hanya
memberikan akses PTN bagi orang berpunya. Sebab, sekolah unggulan didominasi
kelas menengah-atas. Kelompok yang berasal dari kelas ekonomi bawah selanjutnya
hanya bisa menjadi saksi atas determinasi kelas atas, yang disadari atau
tidak difasilitasi oleh negara.
Meskipun begitu, sekolah tentu tidak ingin
menyerah begitu saja atas dominasi sekolah lain. Sekolah akan berusaha dengan
segala cara agar mampu bersaing dengan sekolah-sekolah lain yang mungkin
levelnya lebih tinggi.
Bila yang terjadi kemudian adalah
peningkatan kualitas dan prestasi dengan perbaikan pada metode pengajaran,
tentu sangat baik. Namun menjadi bahaya bila kemudian langkah instan dan
pragmatis yang justru ditempuh oleh sekolah. Ini akan menjadi dampak laten
bagi diterapkannya penerimaan mahasiswa baru melalui jalur undangan, yakni
lahirnya kecurangan tersistematis oleh sekolah-sekolah.
Bagi sekolah, semakin banyak siswanya
diterima di PTN akan makin menaikkan gengsi sekolah. Untuk itu, mengatrol
nilai siswa jadi salah satu cara efektif. Hal ini juga bisa dikapitalisasi
oleh guru untuk melakukan jual-beli nilai kepada siswa dengan kedok bimbingan
belajar atau les.
Rugikan Peserta Didik
Praktik kecurangan ini sudah diantisipasi
oleh pemerintah dengan menerapkan sanksi mulai dari mem-black list sekolah
bersangkutan hingga pelarangan untuk mengirim siswanya melalui jalur
undangan. Namun, sanksi ini tak menyelesaikan masalah karena hanya mengorbankan
peserta didik.
Peserta didik yang jadi obyek dari
kecurangan pihak sekolah ini hilang kesempatan diikutkan dalam seleksi
penerimaan mahasiswa melalui jalur undangan. Mereka hanya bisa mengikuti
seleksi melalui ujian tulis yang kuotanya sedikit atau melalui jalur mandiri
yang berbiaya sangat besar. Pada intinya, kebijakan sanksi ini lebih
merugikan siswa ketimbang sekolah.
Akhirnya, kebijakan seleksi masuk perguruan
tinggi yang lebih memprioritaskan jalur undangan ini patut dipertanyakan
motivasinya. Sebab, kebijakan ini sama sekali tidak memperlihatkan spirit
untuk memberikan akses pendidikan yang merata bagi seluruh lapisan
masyarakat. Penggratisan uang pendaftaran masuk PTN yang berkisar Rp
150.000-Rp 170.000 ternyata membawa bahaya laten yang luar biasa buruk.
Argumen pemerintah soal kualitas mahasiswa jalur undangan juga masih perlu
dikaji lebih lanjut.
Kebijakan ini sendiri selanjutnya
mengindikasikan kelemahan pemerintah dalam melakukan riset sebelumnya. Maka,
wajar bila antara kebijakan pemerintah dan kebutuhan masyarakat sering tidak
sinkron. Pemerintah tak ubahnya seperti dokter yang salah diagnosa.
Kebijakannya justru memperburuk kondisi yang ada. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar