Kamis, 03 Januari 2013

Jalur Undangan yang Menyesatkan


Jalur Undangan yang Menyesatkan
Tulus Santoso ; Tenaga Ahli Anggota Dewan di Komisi DPR
KOMPAS,  03 Januari 2013



Niatan pemerintah untuk mereduksi ujian tertulis sebagai instrumen menjaring calon mahasiswa baru mulai diwujudkan. Kepala sekolah pun dibuat sibuk karena harus melakukan pengisian data dan nilai siswa dalam Pangkalan Data Sekolah dan Siswa terhitung 17 Desember 2012-8 Februari 2103.

Terobosan pemerintah yang akan mengedepankan jalur masuk perguruan tinggi melalui jalur undangan ini dipastikan akan mengubah komposisi kuota penerimaan mahasiswa baru tahun depan. Tahun ini, jalur undangan dan tulis mendapat kuota 60 persen dan sisanya untuk ujian mandiri. Namun, pada 2013, jalur undangan (SNMPTN) mendapat kuota 60 persen, ujian tulis (SBMPTN) 30 persen, dan ujian mandiri (UM) 10 persen (Kompas, 14 Desember 2012).

Meskipun begitu, komposisi kuota penerimaan dari tiga jalur tersebut tidak baku, tergantung kebijakan kampus masing-masing. Namun, jalur undangan harus mendapatkan porsi sedikitnya 50 persen, ujian tulis minimal 30 persen, dan ujian mandiri maksimal 20 persen.

Ciptakan Segregasi

Langkah yang diambil pemerintah patut diapresiasi dalam hal kesempatan bagi semua kelas ekonomi untuk bisa mengikuti seleksi masuk perguruan tinggi karena pemerintah membebaskan biaya pendaftaran (gratis). Namun, di sisi lain, apakah mereka memiliki kesempatan yang sama untuk bisa diterima?

Langkah memprioritaskan jalur undangan dalam seleksi masuk perguruan tinggi negeri (PTN) niscaya semakin memarjinalkan kelas ekonomi bawah. Selain itu, mekanisme jalur undangan juga tak memberikan rasa keadilan bagi siswa yang bersekolah di pedalaman atau terdepan, tertinggal, dan terluar.

Pandangan ini nyata lantaran infrastruktur dan kualitas pendidikan di Indonesia masih timpang antara pusat dan daerah. Kondisi ini semakin diperparah dengan makin terkotak-kotaknya pendidikan nasional dengan label sekolah standar nasional (SSN), rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI/SBI), dan sekolah internasional.

Segregasi ini selanjutnya menciptakan persaingan yang tidak sehat antara sekolah yang satu dan lainnya. Kursi perguruan tinggi dibagi tidak berdasarkan kualitas individu siswa, tetapi dengan pertimbangan kinerja sekolah (peringkat atau akreditasi sekolah). Persaingan tak lagi antarsiswa secara nasional, tetapi antarsekolah.

Alhasil, nilai 9 di SMAN 1 Tolitoli akan kalah dengan nilai yang sama di SMAN 8 Jakarta. Jika sudah demikian, dapat dipastikan PTN unggulan hanya milik 10 besar sekolah terbaik nasional. Lebih parah lagi PTN hanya akan jadi milik beberapa sekolah saja yang dianggap memiliki kinerja yang bagus.

Padahal, persaingan perebutan kursi PTN akan menarik bila seluruh siswa bersaing secara personal dalam ujian tertulis berlingkup nasional. Terlalu naif bila persaingan antar-ribuan siswa (jalur ujian tulis) disebut lebih rendah kualitasnya ketimbang persaingan antarsiswa dalam satu sekolah (jalur undangan).

Data yang menunjukkan bahwa mahasiswa jalur undangan lebih konsisten prestasinya tidak bisa dijadikan perbandingan dengan mahasiswa jalur tulis. Sebab, jumlah mahasiswa jalur undangan lebih sedikit dibandingkan dengan jalur tulis dan ujian mandiri. Bila skemanya dibalik, akankah data yang muncul terkait dengan konsistensi prestasi mahasiswanya bisa sama dengan sebelumnya?

Persaingan antarsekolah ini hanya memberikan akses PTN bagi orang berpunya. Sebab, sekolah unggulan didominasi kelas menengah-atas. Kelompok yang berasal dari kelas ekonomi bawah selanjutnya hanya bisa menjadi saksi atas determinasi kelas atas, yang disadari atau tidak difasilitasi oleh negara.

Meskipun begitu, sekolah tentu tidak ingin menyerah begitu saja atas dominasi sekolah lain. Sekolah akan berusaha dengan segala cara agar mampu bersaing dengan sekolah-sekolah lain yang mungkin levelnya lebih tinggi.

Bila yang terjadi kemudian adalah peningkatan kualitas dan prestasi dengan perbaikan pada metode pengajaran, tentu sangat baik. Namun menjadi bahaya bila kemudian langkah instan dan pragmatis yang justru ditempuh oleh sekolah. Ini akan menjadi dampak laten bagi diterapkannya penerimaan mahasiswa baru melalui jalur undangan, yakni lahirnya kecurangan tersistematis oleh sekolah-sekolah.

Bagi sekolah, semakin banyak siswanya diterima di PTN akan makin menaikkan gengsi sekolah. Untuk itu, mengatrol nilai siswa jadi salah satu cara efektif. Hal ini juga bisa dikapitalisasi oleh guru untuk melakukan jual-beli nilai kepada siswa dengan kedok bimbingan belajar atau les.

Rugikan Peserta Didik

Praktik kecurangan ini sudah diantisipasi oleh pemerintah dengan menerapkan sanksi mulai dari mem-black list sekolah bersangkutan hingga pelarangan untuk mengirim siswanya melalui jalur undangan. Namun, sanksi ini tak menyelesaikan masalah karena hanya mengorbankan peserta didik.

Peserta didik yang jadi obyek dari kecurangan pihak sekolah ini hilang kesempatan diikutkan dalam seleksi penerimaan mahasiswa melalui jalur undangan. Mereka hanya bisa mengikuti seleksi melalui ujian tulis yang kuotanya sedikit atau melalui jalur mandiri yang berbiaya sangat besar. Pada intinya, kebijakan sanksi ini lebih merugikan siswa ketimbang sekolah.

Akhirnya, kebijakan seleksi masuk perguruan tinggi yang lebih memprioritaskan jalur undangan ini patut dipertanyakan motivasinya. Sebab, kebijakan ini sama sekali tidak memperlihatkan spirit untuk memberikan akses pendidikan yang merata bagi seluruh lapisan masyarakat. Penggratisan uang pendaftaran masuk PTN yang berkisar Rp 150.000-Rp 170.000 ternyata membawa bahaya laten yang luar biasa buruk. Argumen pemerintah soal kualitas mahasiswa jalur undangan juga masih perlu dikaji lebih lanjut.

Kebijakan ini sendiri selanjutnya mengindikasikan kelemahan pemerintah dalam melakukan riset sebelumnya. Maka, wajar bila antara kebijakan pemerintah dan kebutuhan masyarakat sering tidak sinkron. Pemerintah tak ubahnya seperti dokter yang salah diagnosa. Kebijakannya justru memperburuk kondisi yang ada. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar