Nasib Buruk
Madrasah
Akh Muzakki ; Ketua PW LP Maarif NU Jawa Timur,
Dosen Pascasarjana IAIN Sunan Ampel
|
REPUBLIKA,
04 Januari 2013
Otonomi daerah terasa
menyesakkan bagi madrasah. Surat edaran Mendagri Gamawan Fauzi yang melarang
pemerintah daerah (pemda) untuk mengurus dan atau memberi bantuan kepada
madrasah melalui APBD menjadi salah satu buktinya. Pelarangan itu dilakukan
oleh Mendagri dengan alasan bahwa madrasah adalah urusan agama. Karena
persoalan agama tidak menjadi bagian dari kewenangan yang didelegasikan ke
pemerintah daerah maka APBD dipandang tidak boleh di- berikan kepada
madrasah.
Parlemen pun bereaksi
keras. Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Jazuli Juwaeni menyatakan, madrasah di
dunia pendidikan nasional masih dianaktirikan.
Dampak negatif dari kebijakan yang didasarkan pada dan atas nama otonomi daerah di atas sangat jelas. Pemda yang belakangan dalam jumlah kecil memberikan perhatian khusus kepada pendidikan agama, seperti madrasah dan pesantren, akhirnya ketakutan me nyalurkan APBD untuk membantu madrasah. Tengok saja kasus program bantuan operasional madrasah diniyah (Bosda Madin) Pemprov Jawa Timur (Jatim).
Menyusul lahirnya
surat edaran mendagri di atas, Pemprov Jatim pun harus "tiarap"
atas program itu. Padahal, sejak 2009 kebijakan tersebut menjadi salah satu
program unggulan Pemprov Jatim. Per tahun, pemprov mengucurkan bantuan
untuk madin Rp 260 miliar. Program Bosda Madin tersebut menyediakan
beasiswa bagi para pengajar dan siswa, asistensi akademik, hingga bantuan
honorarium. Total, ada 1.327.907 siswa yang mendapatkan bantuan.
Rinciannya, 1.117.144 siswa madin level dasar (ula), 210.763 madin level
menengah (wustho). Jumlah guru madin yang menerima bantuan mencapai 37.113
orang. Bantuan tersebut untuk meningkatkan pendidikan madin Dalam skema
bantuan untuk madin itu pula, tidak kurang dari 4.390 guru madin telah
dikuliahkan S-1 untuk memenuhi syarat sertifi kasi guru. Pada 2013,
ditargetkan 10 ribu orang sarjana strata satu (S-1) dari madin akan lahir.
Setiap tahun sekitar 1.500 orang ustaz lulusan madin disekolahkan. Hingga
saat ini, jumlah tersebut sudah mencapai 4.350 orang.
Kebijakan Bosda Madin
di atas lalu menjadi salah satu teladan unggulan (best practice) dari kebijakan pendidikan Jatim. Buktinya,
pemerintah pusat pun memberikan pengakuan dan penghargaan atasnya.
Saat hari jadi
Kementerian Agama (Kemenag) RI, 3 Januari 2011, sebagai misal, Gubernur Jatim
Soekarwo menerima Penghargaan Amal Bhakti Bidang Pendidikan Agama dan
Keagamaan dari Menteri Agama (Menag) Suryadharma Ali. Pemerintah Jatim
dinilai telah memberikan perhatian yang besar terhadap pendidikan Islam dan
pemeliharaan ke- rukunan umat beragama.
Kini, program tersebut
harus tergolek oleh surat edaran Mendagri di atas.
Ikhtiar inovatif pemerintah Pemprov Jatim tersebut akhirnya harus kandas oleh surat edaran Mendagri. Akhirnya, ikhtiar pemda untuk meningkatkan pendidikan dan pembangunan masyarakat lokalnya harus terberangus oleh argumen otonomi daerah yang dipertontonkan oleh pemerintah pusat secara telanjang bulat.
Dilihat dari
perspektif politik pendidikan dan pertimbangan akademik, dasar kebijakan
seperti di atas merupakan sebuah nalar sesat yang tak perlu dilestarikan.
Mengapa begitu? Karena pemerintah sendiri yang membuat regulasi dan pemerintah
sendiri pula yang melanggarnya. Kasus keberadaan status madrasah menjadi
buktinya.
Madrasah itu urusan
pendidikan, bukan urusan agama. Keberadaan madrasah dilegalisasi UU Nomor
20/2003 tentang Sisdiknas sebagai varian bersama sekolah. Lalu, pada UU
Sisdiknas tersebut dan regulasi derivatifnya, selalu kata "sekolah"
disebut secara ber dampingan dengan "madrasah".
Jadi, memang benar
urusan agama tidak termasuk paket otonomi daerah.
Tetapi, agama yang dimaksud dalam paket otonomi daerah tersebut adalah persoalan ajaran dan keyakinan serta praktik implementasi atas ajaran dan keyakinannya. Lebih dari itu, ketimpangan anggaran sangat mencolok antara sekolah dan madrasah. Hal ini bisa dilihat dari jumlah anggaran di Kemendikbud yang membawahi sekolah dan Kemenag yang membawahi madrasah.
Anggaran yang diberikan kepada Kemenag di 2013 untuk urusan pendidikan
"hanya" sebesar 40 triliun, sementara Kemendikbud mencapai hampir
Rp 74 triliun. Padahal, jumlah sekolah lebih kecil daripada madrasah.
Semangat awal otonomi
daerah sangat menjanjikan bagi perkembangan dan pembangunan masing-masing
daerah di Indonesia. Dan, itu sangat potensial untuk mengurangi kesenjangan
serta ketimpangan antardaerah. Namun, terbitnya surat edaran Mendagri yang melarang
pemda untuk memberikan bantuan kepada madrasah atas nama otonomi daerah,
justru akan menimbulkan masalah ketimpangan baru. Pasalnya, sejarah
kelak akan mencatat timpangnya pertumbuhan sumber daya manusia di negeri ini
disebabkan utamanya oleh kebijakan diskriminatif nan ironis yang menimpa
dunia pendidikan nasional. Dan, otonomi daerah menjadi pemantik nasib buruk
madrasah pada khususnya. ●
|
Lah anggaran Kemenag 40T untuk apa? Kalo tidak mampu ngurus pendidikan ya sudah kasihkan saja ke Kemendiknas.
BalasHapus