Sabtu, 05 Januari 2013

Nasib Buruk Madrasah


Nasib Buruk Madrasah

Akh Muzakki ;  Ketua PW LP Maarif NU Jawa Timur,
Dosen Pascasarjana IAIN Sunan Ampel 
REPUBLIKA,  04 Januari 2013

  
Otonomi daerah terasa menyesakkan bagi madrasah. Surat edaran Mendagri Gamawan Fauzi yang melarang pemerintah daerah (pemda) untuk mengurus dan atau memberi bantuan kepada madrasah melalui APBD menjadi salah satu buktinya. Pelarangan itu dilakukan oleh Mendagri dengan alasan bahwa madrasah adalah urusan agama. Karena persoalan agama tidak menjadi bagian dari kewenangan yang didelegasikan ke pemerintah daerah maka APBD dipandang tidak boleh di- berikan kepada madrasah.

Parlemen pun bereaksi keras. Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Jazuli Juwaeni menyatakan, madrasah di dunia pendidikan nasional masih dianaktirikan.
Dampak negatif dari kebijakan yang didasarkan pada dan atas nama otonomi daerah di atas sangat jelas. Pemda yang belakangan dalam jumlah kecil memberikan perhatian khusus kepada pendidikan agama, seperti madrasah dan pesantren, akhirnya ketakutan me nyalurkan APBD untuk membantu madrasah.
Tengok saja kasus program bantuan operasional madrasah diniyah (Bosda Madin) Pemprov Jawa Timur (Jatim). 

Menyusul lahirnya surat edaran mendagri di atas, Pemprov Jatim pun harus "tiarap" atas program itu. Padahal, sejak 2009 kebijakan tersebut menjadi salah satu program unggulan Pemprov Jatim. Per tahun, pemprov mengucurkan bantuan untuk madin Rp 260 miliar. Program Bosda Madin tersebut menyediakan beasiswa bagi para pengajar dan siswa, asistensi akademik, hingga bantuan honorarium. Total, ada 1.327.907 siswa yang mendapatkan bantuan.

Rinciannya, 1.117.144 siswa madin level dasar (ula), 210.763 madin level menengah (wustho). Jumlah guru madin yang menerima bantuan mencapai 37.113 orang. Bantuan tersebut untuk meningkatkan pendidikan madin Dalam skema bantuan untuk madin itu pula, tidak kurang dari 4.390 guru madin telah dikuliahkan S-1 untuk memenuhi syarat sertifi kasi guru. Pada 2013, ditargetkan 10 ribu orang sarjana strata satu (S-1) dari madin akan lahir. Setiap tahun sekitar 1.500 orang ustaz lulusan madin disekolahkan. Hingga saat ini, jumlah tersebut sudah mencapai 4.350 orang. 

Kebijakan Bosda Madin di atas lalu menjadi salah satu teladan unggulan (best practice) dari kebijakan pendidikan Jatim. Buktinya, pemerintah pusat pun memberikan pengakuan dan penghargaan atasnya. 

Saat hari jadi Kementerian Agama (Kemenag) RI, 3 Januari 2011, sebagai misal, Gubernur Jatim Soekarwo menerima Penghargaan Amal Bhakti Bidang Pendidikan Agama dan Keagamaan dari Menteri Agama (Menag) Suryadharma Ali. Pemerintah Jatim dinilai telah memberikan perhatian yang besar terhadap pendidikan Islam dan pemeliharaan ke- rukunan umat beragama. 

Kini, program tersebut harus tergolek oleh surat edaran Mendagri di atas.
Ikhtiar inovatif pemerintah Pemprov Jatim tersebut akhirnya harus kandas oleh surat edaran Mendagri. Akhirnya, ikhtiar pemda untuk meningkatkan pendidikan dan pembangunan masyarakat lokalnya harus terberangus oleh argumen otonomi daerah yang dipertontonkan oleh pemerintah pusat secara telanjang bulat. 

Dilihat dari perspektif politik pendidikan dan pertimbangan akademik, dasar kebijakan seperti di atas merupakan sebuah nalar sesat yang tak perlu dilestarikan. Mengapa begitu? Karena pemerintah sendiri yang membuat regulasi dan pemerintah sendiri pula yang melanggarnya. Kasus keberadaan status madrasah menjadi buktinya. 
Madrasah itu urusan pendidikan, bukan urusan agama. Keberadaan madrasah dilegalisasi UU Nomor 20/2003 tentang Sisdiknas sebagai varian bersama sekolah. Lalu, pada UU Sisdiknas tersebut dan regulasi derivatifnya, selalu kata "sekolah" disebut secara ber dampingan dengan "madrasah". 

Jadi, memang benar urusan agama tidak termasuk paket otonomi daerah.
Tetapi, agama yang dimaksud dalam paket otonomi daerah tersebut adalah persoalan ajaran dan keyakinan serta praktik implementasi atas ajaran dan keyakinannya. Lebih dari itu, ketimpangan anggaran sangat mencolok antara sekolah dan madrasah. Hal ini bisa dilihat dari jumlah anggaran di Kemendikbud yang membawahi sekolah dan Kemenag yang membawahi madrasah.

Anggaran yang diberikan kepada Kemenag di 2013 untuk urusan pendidikan "hanya" sebesar 40 triliun, sementara Kemendikbud mencapai hampir Rp 74 triliun. Padahal, jumlah sekolah lebih kecil daripada madrasah. 

Semangat awal otonomi daerah sangat menjanjikan bagi perkembangan dan pembangunan masing-masing daerah di Indonesia. Dan, itu sangat potensial untuk mengurangi kesenjangan serta ketimpangan antardaerah. Namun, terbitnya surat edaran Mendagri yang melarang pemda untuk memberikan bantuan kepada madrasah atas nama otonomi daerah, justru akan menimbulkan masalah ketimpangan baru. Pasalnya, sejarah kelak akan mencatat timpangnya pertumbuhan sumber daya manusia di negeri ini disebabkan utamanya oleh kebijakan diskriminatif nan ironis yang menimpa dunia pendidikan nasional. Dan, otonomi daerah menjadi pemantik nasib buruk madrasah pada khususnya.

1 komentar:

  1. Lah anggaran Kemenag 40T untuk apa? Kalo tidak mampu ngurus pendidikan ya sudah kasihkan saja ke Kemendiknas.

    BalasHapus