Menghapus
Biaya Nikah
Muh Nursalim ; Kepala KUA Kecamatan Gemolong Sragen
|
REPUBLIKA,
04 Januari 2013
Di Solo terdapat
sebuah masjid yang terkenal sebagai masjid pengantin, yaitu Masjid Fatimah di
Jl Dr Rajiman 191. Bangunannya sangat indah, begitu juga ornamennya se hingga
banyak mempelai terobsesi melangsungkan akad nikah di tempat tersebut. Para
pengantin tidak hanya datang dari Solo dan sekitarnya, tetapi juga dari luar
kota, seperti Surabaya, Semarang, Bandung, dan Jakarta.
Pada hari-hari tertentu, jadwal akad nikah di masjid itu sangat padat. Untuk
dapat memakai fasilitas akad nikah, pengelola mengharuskan penyewa membayar
Rp 400 ribu. Bila pesta walimah juga dilaksanakan di aula masjid tersebut
biayanya Rp 4 juta. Harga itu belum termasuk katering, hiburan, foto, dan
video shooting.
Pengantin yang datang
tentu harus memboyong penghulu atau petugas pencatat nikah (PPN) kecamatan
tempat tinggalnya ke masjid tersebut. Sebab, tanpa kehadiran penghulu/PPN
nikahnya tidak akan tercatat. Mungkin sah secara agama, tetapi tak tercatat
resmi di KUA. Memboyong penghulu ke tempat akad nikah di luar kantor KUA
dan di luar jam kerja seperti ini secara sadar dikehendaki pengantin.
Sebagai
rasa terima kasih mereka memberi `angpau' ke petugas Rp 100 ribu atau Rp
200 ribu. Meskipun demikian, berbagai media, baik cetak maupun televisi,
belakangan mengupas tuntas bahwa praktik seperti itu tidak dibenarkan karena
termasuk pungli. Sebab, biaya nikah resmi hanya Rp 30 ribu.
Kilas balik KUA sudah
ada jauh sebelum negara Indonesia ada. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya
register buku nikah di KUA era Hindia Belanda. Untuk KUA yang ada di wilayah
Jawa Tengah dan Jawa Timur, buku induk tersebut ditulis dengan huruf jawa,
sedangkan di wilayah Sumatra ditulis memakai huruf arab melayu. Pada
masa tersebut, pegawai pencatat nikah memperoleh gaji dari masyarakat yang
mencatatkan pernikahannya di KUA. Yang dicatat bukan hanya nikah, melainkan
juga talak dan rujuk (NTR). Semakin banyak yang mencatatkan NTR di KUA,
semakin besar pula pendapatan pegawai pencatat nikah.
Setelah Indonesia
merdeka, peraturan zaman Belanda tersebut diganti oleh pemerintah baru, yaitu
dengan Undang-Undang No 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan
Rujuk. Sejak terbitnya undang-undang ini, gaji pegawai KUA dibayar oleh
negara. Akan tetapi, dengan adanya pergolakan revolusi akibat Belanda
yang ingin kembali menjajah sehingga perubahan tersebut tidak berjalan mulus,
undang-undang ini sepenuhnya baru dapat dilaksanakan di seluruh wilayah RI
pada 1951.
Pada Pasal 1 ayat 4
undang-undang tersebut disebutkan bahwa masyarakat wajib membayar biaya
pencatatan dan masuk kas negara. Ini berbeda dengan peraturan zaman Belanda,
ketika pembayaran pencatatan NTR menjadi milik petugas. Tetapi, peraturan ini
masih menyisakan satu masalah, yaitu pelayanan pencatatan di luar kantor dan
transpor petugas dibebankan kepada masyarakat.
Ketentuan ini tidak berubah tatkala UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
menggantikan, bahkan berlangsung hingga tahun 2006. Peraturan Menteri Agama
mengatur masalah ini sedangkan besarnya biaya transpor ditetapkan gubernur.
Masyarakat menyebut transpor petugas untuk pencatatan nikah di luar kantor
ini dengan istilah biaya bedolan.
Pada era reformasi
terbit UU No 20 tahun 2011 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Biaya
bedolan ini menjadi masalah sebab hanya berdasarkan SK gubernur dan peraturan
menteri. Dalam kaca mata undang-undang tersebut, uang seperti itu termasuk
kategori gratifikasi. Karena terancam undang-undang antikorupsi,
sejumlah pimpinan Kementerian Agama memberi instruksi agar ketentuan biaya
bedolan ditiadakan. KUA hanya boleh menerima biaya nikah sesuai dengan
peraturan yang berlaku, yaitu Rp 30 ribu. Pada praktiknya, ins- truksi tersebut
sulit dilaksanakan di lapangan.
Fenomena ini terjadi
disebabkan adanya missing link
antarperaturan. Di satu sisi, penghulu tidak diperkenankan menerima transpor
bila melakukan pencatatan nikah di luar KUA, tetapi pada saat yang sama
praktik pencatatan pernikahan di luar KUA masih ditoleransi. Bahkan, 90
persen lebih akad nikah dilakukan di luar KUA.
Jalan Keluar
Landasan hukum
bolehnya pencatatan nikah di luar KUA adalah Pasal 21 Peraturan Menteri Agama
No 11/2007. Ayat satu mengatakan, akad nikah dilakukan di KUA, ayat dua, atas
permintaan kedua mempelai dan persetujuan petugas akad nikah boleh dilakukan
di luar KUA. Inilah pasal karet yang menjebak semua pegawai KUA untuk
menerima uang transpor. Tradisi masyarakat memang menghendaki akad nikah
dilakukan di tempat istimewa dan penghulu diminta datang ke acara
perhelatannya. Seperti yang juga dilakukan Presiden SBY tatkala menikahkan
Ibas dengan Alya di Istana Cipanas beberapa waktu lalu.
Banyak kasus, petugas
KUA itu diatur masyarakat, baik jam pelaksanaan maupun tempat akad nikah.
Padahal, tidak ada anggaran negara untuk mem- biayai penghulu hadir ke tempat
akad nikah di luar kantor. Bila akad nikah dilakukan di hari libur atau malam
hari pun, negara juga tidak memberi anggaran untuk uang lembur penghulu.
Akibatnya, kalimat "persetujuan petugas" pada peraturan menteri
agama di atas dimaknai dengan "setuju bila ada uang transpor".
Agar pegawai KUA tidak
terjebak praktik tersebut, ada dua opsi yang dapat dilakukan. Pertama, akad
nikah hanya boleh dilaksanakan di KUA pada jam kerja. Karena itu, untuk
memperoleh akta nikah masyarakat juga harus hadir ke KUA pada jam kerja.
Rasanya bukan sesuatu yang menyulitkan. Bila opsi ini tidak memungkinkan
disebabkan tradisi masyarakat yang tidak mungkin diubah, pemerintah harus
memberikan fasilitas yang memadai bagi penghulu bila mereka menghadiri akad
nikah di luar KUA. Bentuknya dapat berupa penerbitan peraturan pemerintah
yang menaikkan PNBP biaya nikah atau pemberian anggaran perjalanan untuk
menghadiri akad nikah di luar KUA. Bila ada uang perjalanan, biaya nikah
yang Rp 30 ribu dihapus pun tidak mengapa. Dengan cara ini, semoga pungli
biaya nikah dapat dihentikan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar