Sabtu, 05 Januari 2013

Menghapus Biaya Nikah


Menghapus Biaya Nikah
Muh Nursalim ;  Kepala KUA Kecamatan Gemolong Sragen
REPUBLIKA,  04 Januari 2013



Di Solo terdapat sebuah masjid yang terkenal sebagai masjid pengantin, yaitu Masjid Fatimah di Jl Dr Rajiman 191. Bangunannya sangat indah, begitu juga ornamennya se hingga banyak mempelai terobsesi melangsungkan akad nikah di tempat tersebut. Para pengantin tidak hanya datang dari Solo dan sekitarnya, tetapi juga dari luar kota, seperti Surabaya, Semarang, Bandung, dan Jakarta.

Pada hari-hari tertentu, jadwal akad nikah di masjid itu sangat padat. Untuk dapat memakai fasilitas akad nikah, pengelola mengharuskan penyewa membayar Rp 400 ribu. Bila pesta walimah juga dilaksanakan di aula masjid tersebut biayanya Rp 4 juta. Harga itu belum termasuk katering, hiburan, foto, dan video shooting.

Pengantin yang datang tentu harus memboyong penghulu atau petugas pencatat nikah (PPN) kecamatan tempat tinggalnya ke masjid tersebut. Sebab, tanpa kehadiran penghulu/PPN nikahnya tidak akan tercatat. Mungkin sah secara agama, tetapi tak tercatat resmi di KUA. Memboyong penghulu ke tempat akad nikah di luar kantor KUA dan di luar jam kerja seperti ini secara sadar dikehendaki pengantin. 

Sebagai rasa terima kasih mereka memberi `angpau' ke petugas Rp 100 ribu atau Rp 200 ribu. Meskipun demikian, berbagai media, baik cetak maupun televisi, belakangan mengupas tuntas bahwa praktik seperti itu tidak dibenarkan karena termasuk pungli. Sebab, biaya nikah resmi hanya Rp 30 ribu. 

Kilas balik KUA sudah ada jauh sebelum negara Indonesia ada. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya register buku nikah di KUA era Hindia Belanda. Untuk KUA yang ada di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur, buku induk tersebut ditulis dengan huruf jawa, sedangkan di wilayah Sumatra ditulis memakai huruf arab melayu. Pada masa tersebut, pegawai pencatat nikah memperoleh gaji dari masyarakat yang mencatatkan pernikahannya di KUA. Yang dicatat bukan hanya nikah, melainkan juga talak dan rujuk (NTR). Semakin banyak yang mencatatkan NTR di KUA, semakin besar pula pendapatan pegawai pencatat nikah. 

Setelah Indonesia merdeka, peraturan zaman Belanda tersebut diganti oleh pemerintah baru, yaitu dengan Undang-Undang No 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk. Sejak terbitnya undang-undang ini, gaji pegawai KUA dibayar oleh negara. Akan tetapi, dengan adanya pergolakan revolusi akibat Belanda yang ingin kembali menjajah sehingga perubahan tersebut tidak berjalan mulus, undang-undang ini sepenuhnya baru dapat dilaksanakan di seluruh wilayah RI pada 1951. 

Pada Pasal 1 ayat 4 undang-undang tersebut disebutkan bahwa masyarakat wajib membayar biaya pencatatan dan masuk kas negara. Ini berbeda dengan peraturan zaman Belanda, ketika pembayaran pencatatan NTR menjadi milik petugas. Tetapi, peraturan ini masih menyisakan satu masalah, yaitu pelayanan pencatatan di luar kantor dan transpor petugas dibebankan kepada masyarakat.

Ketentuan ini tidak berubah tatkala UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan menggantikan, bahkan berlangsung hingga tahun 2006. Peraturan Menteri Agama mengatur masalah ini sedangkan besarnya biaya transpor ditetapkan gubernur. Masyarakat menyebut transpor petugas untuk pencatatan nikah di luar kantor ini dengan istilah biaya bedolan.

Pada era reformasi terbit UU No 20 tahun 2011 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Biaya bedolan ini menjadi masalah sebab hanya berdasarkan SK gubernur dan peraturan menteri. Dalam kaca mata undang-undang tersebut, uang seperti itu termasuk kategori gratifikasi. Karena terancam undang-undang antikorupsi, sejumlah pimpinan Kementerian Agama memberi instruksi agar ketentuan biaya bedolan ditiadakan. KUA hanya boleh menerima biaya nikah sesuai dengan peraturan yang berlaku, yaitu Rp 30 ribu. Pada praktiknya, ins- truksi tersebut sulit dilaksanakan di lapangan. 

Fenomena ini terjadi disebabkan adanya missing link antarperaturan. Di satu sisi, penghulu tidak diperkenankan menerima transpor bila melakukan pencatatan nikah di luar KUA, tetapi pada saat yang sama praktik pencatatan pernikahan di luar KUA masih ditoleransi. Bahkan, 90 persen lebih akad nikah dilakukan di luar KUA.

Jalan Keluar

Landasan hukum bolehnya pencatatan nikah di luar KUA adalah Pasal 21 Peraturan Menteri Agama No 11/2007. Ayat satu mengatakan, akad nikah dilakukan di KUA, ayat dua, atas permintaan kedua mempelai dan persetujuan petugas akad nikah boleh dilakukan di luar KUA. Inilah pasal karet yang menjebak semua pegawai KUA untuk menerima uang transpor. Tradisi masyarakat memang menghendaki akad nikah dilakukan di tempat istimewa dan penghulu diminta datang ke acara perhelatannya. Seperti yang juga dilakukan Presiden SBY tatkala menikahkan Ibas dengan Alya di Istana Cipanas beberapa waktu lalu. 

Banyak kasus, petugas KUA itu diatur masyarakat, baik jam pelaksanaan maupun tempat akad nikah. Padahal, tidak ada anggaran negara untuk mem- biayai penghulu hadir ke tempat akad nikah di luar kantor. Bila akad nikah dilakukan di hari libur atau malam hari pun, negara juga tidak memberi anggaran untuk uang lembur penghulu. Akibatnya, kalimat "persetujuan petugas" pada peraturan menteri agama di atas dimaknai dengan "setuju bila ada uang transpor". 

Agar pegawai KUA tidak terjebak praktik tersebut, ada dua opsi yang dapat dilakukan. Pertama, akad nikah hanya boleh dilaksanakan di KUA pada jam kerja. Karena itu, untuk memperoleh akta nikah masyarakat juga harus hadir ke KUA pada jam kerja. Rasanya bukan sesuatu yang menyulitkan. Bila opsi ini tidak memungkinkan disebabkan tradisi masyarakat yang tidak mungkin diubah, pemerintah harus memberikan fasilitas yang memadai bagi penghulu bila mereka menghadiri akad nikah di luar KUA. Bentuknya dapat berupa penerbitan peraturan pemerintah yang menaikkan PNBP biaya nikah atau pemberian anggaran perjalanan untuk menghadiri akad nikah di luar KUA. Bila ada uang perjalanan, biaya nikah yang Rp 30 ribu dihapus pun tidak mengapa. Dengan cara ini, semoga pungli biaya nikah dapat dihentikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar