Sabtu, 05 Januari 2013

“De-Growth” bagi Kesejahteraan Nelayan


“De-Growth” bagi Kesejahteraan Nelayan
Muhamad Karim ;  Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim
SINAR HARAPAN,  04 Januari 2013

  
Hingga kini kesejahteraan nelayan kian memilukan, kendati pun pemerintah kerap mengklaim kesejahteraan mereka meningkat. Paradigma “pertumbuhan” masih menjadi indikator pengukuran kesejahteraan di hampir semua negara.

Kendati pun demikian, indikator ini sudah dikritik oleh pemikir ekonom nobelian; Josepe E Stiglitz, Amartya Sen, dan Jean-Paul Fittousi yang menulisnya dalam laporan Komisi Pengukuran Kinerja Ekonomi dan Kemajuan Sosial yang berjudul The Rise and Fall of the GDP yang diterjemahkan menjadi “Mengukur Kesejahteraan; Mengapa Produk Domestik Bruto (PDB) Bukan Tolok Ukur yang Tepat untuk Menilai Kemajuan?” Intinya, ekonom kelas wahid pun sudah tidak yakin dengan indikator pertumbuhan sebagai ukuran kesejahteraan.

Sayangnya, di sektor perikanan “pertumbuhan produksi” perikanan masih digunakan sebagai indikator pertumbuhan utamanya sebagai penilaian kemajuan kinerja ekonomi dan pembangunan. Orientasi ini sejatinya tak luput paradigma mekanisme pasar yang menghegemoni ekonomi dunia.

Bila produksi perikanan meningkat, otomatis pembangunan perikanan dianggap berhasil. Padahal tak menjamin akan menyejahterakan nelayan. Ironisnya, produksi perikanan meningkat tapi stok sumber daya ikan dan ekosistemnya mengalami degradasi.

Ini sudah berlangsung sejak 1970-an tatkala Indonesia menggenjot kebijakan revolusi biru yang berimbas pada kehancuran basis-basis perikanan rakyat di Bagansiapiapi dan Muncar. Mengapa demikian? Hal ini dikarenakan pengurasan sumber daya ikan secara terus-menerus demi mengejar pertumbuhan yang tak diimbangi daya dukung ekologi/ekosistem yang menjadi habitat ikan.

Imbasnya proses regenerasi ikan dan pemulihan stok berbanding terbalik dengan kecepatan eksploitasi. Kecepatan eksploitasi itu didukung penggunaan alat tangkap yang destruktif dan industri penangkapan skala besar. Fakta empiris, ukuran ikan makin kecil, dan kerusakan ekologis kian parah. Imbasnya, terjadilah ketidakseimbangan antara orientasi “pertumbuhan” yang menggenjot produksi dengan “regenerasi dan keberlanjutan stok sumber daya ikan hingga ekosistem pendukungnya”.

Apakah orientasi mengejar pertumbuhan tinggi mesti dipertahankan? Lalu mengorbankan nelayan di pesisir Indonesia yang kian miskin? Saya memberikan sebuah ilustrasi sebagai antitesis dari orientasi pertumbuhan yang tinggi itu. Hewan dan tumbuhan mulai “tumbuh” dari umur 0-10 tahun, lalu tak mengalami lagi “pertumbuhan” baik berat maupun tinggi, berhenti, lalu mati.

Lalu kembali ke tanah, terurai, berubah jadi humus guna menunjang proses siklus biomassa secara alamiah. Ilustrasi ini menunjukkan “pertumbuhan” itu nantinya berhenti dan posisinya mantap (steady state). Sampai saat mana pertumbuhan berhenti dan posisinya mantap? Itulah hingga kini belum terungkap dalam kebijakan pembangunan perikanan.

Tak ada alasan logis yang membenarkan bila stok sumber daya ikan terus-menerus dikuras tak akan habis. Terbukti, akibat mazhab pertumbuhan era tahun 1970-an, wilayah perairan Bagansiapiapi dan Muncar mengalami tangkap lebih (over exploited). Makanya, orientasi pembangunan perikanan mesti berubah dari mazhab pertumbuhan menjadi de-growth.

De-growth merujuk pada ilustrasi kehidupan biologis hewan dan tumbuhan serta menjamin keberlanjutan ekosistem/ekologis secara alamiah alam. Bagaimana caranya? Kebijakan pembangunan perikanan tak mesti menggenjot pertumbuhan produksi yang tinggi, melainkan bagaimana pembangunan perikanan menitikberatkan kebutuhan domestik nasional dan secara ekologis menjamin proses metabolisme alam dalam sistem jaring-jaring kehidupan di lautan.

Persis sebenarnya dengan proses metabolisme dalam tubuh manusia. Manusia jika mengonsumsi makanan secara berlebihan tanpa memperhatikan dampaknya bagi kesehatannya maka proses metabolisme tubuhnya terganggu. Mulai dari munculnya pelbagai penyakit kronis semacam jantung, darah tinggi, hingga obesitas.

Akibatnya, ekstremnya, manusia mengalami kematian. Jadi, tubuh manusia pun tak bisa memaksakan pasokan makanan tanpa terkendali ke dalam tubuhnya, melainkan mempertimbangkan ekologis tubuhnya sehingga proses metabolisme tetap berlangsung normal.

Jika mengasumsikan “asupan” makanan berlebihan ke dalam tubuh manusia berorientasi “pertumbuhan” sama dengan mengejar pertumbuhan produksi ikan yang tinggi, maka imbas penyakit kronis yang berujung kematian sama dengan kehancuran sumber daya ikan, baik yang bersifat antroposentris maupun alamiah.

Yang bersifat antroposentris umpamanya penggunaan trawl, dan industri perikanan skala besar yang menangkap ikan tanpa kendali demi memenuhi permintaan pasar ekspor. Belum lagi ada faktor eksternal berupa pencemaran yang mendegradasi ekosistem terumbu karang dan mangrove. Itulah filosofis dasar konsep de-growth. Kini muncul juga konsep ekonomi biru (blue economy).

Sayangnya konsep itu tetap berorientasi “pertumbuhan”. Umpamanya, untuk menjaga agar langit dan laut tetap biru perlu melakukan investasi ramah lingkungan melalui daur ulang (re-cycling), tetap berorientasi bisnis dengan basis ekonomi kreatif. Pertanyaannya siapa pemilik teknologi dan modal (capital) untuk kepentingan investasi dan bisnis ramah lingkungan yang melahirkan inovasi baru?

Apakah mungkin nelayan tradisional mampu menjangkau orientasi semacam itu? Saya pikir orang “sinting” pun akan mengatakan tidak. Pastinya, negara-negara majulah yang memiliki segalanya untuk berinvestasi dan berbisnis di negara dunia ketiga semacam Indonesia termasuk di sektor perikanan. Hemat saya ini hanya jadi media baru negara maju mengeksploitasi sumber daya negara dunia ketiga.

Kesejahteraan Nelayan

Bila produksi perikanan nasional tanpa pertumbuhan, otomatis akan memengaruhi kesejahteraan nelayan. Pasalnya, stok sumber daya ikan di wilayah pesisir maupun laut pedalaman akan menjamin keberlanjutan regenerasinya.

Pun metabolisme alam di lautan tetap berlangsung normal hingga tak mengganggu jaring-jaring kehidupan. Mengapa? Karena produksi ikan yang dihasilkan sudah memenuhi kebutuhan konsumsi ikan dalam negeri (baca: UU Perikanan) dan menjamin metabolisme alam di lautan. Jadi, nelayan tak perlu khawatir lagi daerah tangkapannya diserbu kapal asing hingga kapal besar.

Kebijakan pembangunan perikanan berbasis de-growth akan mewujudkan keadilan ekologis (ecological justice) dan keadilan sosial (social justice). Tak perlu lagi memaksakan penetrasi kapital secara masif melalui industrialisasi ekstraktif yang memperlebar jurang kesenjangan ekonomi dan kerusakan ekologis.

Pun paradigma pertumbuhan tak pernah ada dalam konstitusi UUD 1945 (baca: Pasal 33). Inilah pendekatan ecological economy yang sejatinya sudah dipraktikkan masyarakat lokal di Indonesia berbentuk perikanan sasi di Maluku maupun lubuk larangan di Mandailing Natal, Jambi, dan Sumatera Barat yang tak pernah melibatkan korporasi asing.

Hemat penulis, kebijakan de-growth akan membuat nelayan tetap menangkap ikan hingga mengolahnya dalam industri rumah tangga. Mereka juga tetap memenuhi kebutuhan keluarganya dan mendapatkan tambahan pendapatan dari penjualan hasil tangkapan dan olahan.

Akibatnya, mereka meningkatkan kesejahteraannya secara berkelanjutan. Inilah kebijakan yang otomatis akan menjamin kesejahteraan nelayan dan menciptakan keadilan sosial di wilayah pesisir dan pulau kecil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar