“De-Growth”
bagi Kesejahteraan Nelayan
Muhamad Karim ; Direktur Pusat Kajian Pembangunan
Kelautan dan Peradaban Maritim
|
SINAR
HARAPAN, 04 Januari 2013
Hingga kini kesejahteraan nelayan kian memilukan, kendati pun
pemerintah kerap mengklaim kesejahteraan mereka meningkat. Paradigma
“pertumbuhan” masih menjadi indikator pengukuran kesejahteraan di hampir
semua negara.
Kendati pun demikian, indikator ini sudah dikritik oleh pemikir ekonom
nobelian; Josepe E Stiglitz, Amartya Sen, dan Jean-Paul Fittousi yang
menulisnya dalam laporan Komisi Pengukuran Kinerja Ekonomi dan Kemajuan
Sosial yang berjudul The Rise and Fall of the GDP yang diterjemahkan menjadi
“Mengukur Kesejahteraan; Mengapa Produk Domestik Bruto (PDB) Bukan Tolok Ukur
yang Tepat untuk Menilai Kemajuan?” Intinya, ekonom kelas wahid pun sudah
tidak yakin dengan indikator pertumbuhan sebagai ukuran kesejahteraan.
Sayangnya, di sektor perikanan “pertumbuhan produksi” perikanan
masih digunakan sebagai indikator pertumbuhan utamanya sebagai penilaian
kemajuan kinerja ekonomi dan pembangunan. Orientasi ini sejatinya tak luput
paradigma mekanisme pasar yang menghegemoni ekonomi dunia.
Bila produksi perikanan meningkat, otomatis pembangunan
perikanan dianggap berhasil. Padahal tak menjamin akan menyejahterakan
nelayan. Ironisnya, produksi perikanan meningkat tapi stok sumber daya ikan
dan ekosistemnya mengalami degradasi.
Ini sudah berlangsung sejak 1970-an tatkala Indonesia menggenjot
kebijakan revolusi biru yang berimbas pada kehancuran basis-basis perikanan
rakyat di Bagansiapiapi dan Muncar. Mengapa demikian? Hal ini dikarenakan
pengurasan sumber daya ikan secara terus-menerus demi mengejar pertumbuhan
yang tak diimbangi daya dukung ekologi/ekosistem yang menjadi habitat ikan.
Imbasnya proses regenerasi ikan dan pemulihan stok berbanding
terbalik dengan kecepatan eksploitasi. Kecepatan eksploitasi itu didukung
penggunaan alat tangkap yang destruktif dan industri penangkapan skala besar.
Fakta empiris, ukuran ikan makin kecil, dan kerusakan ekologis kian parah.
Imbasnya, terjadilah ketidakseimbangan antara orientasi “pertumbuhan” yang
menggenjot produksi dengan “regenerasi dan keberlanjutan stok sumber daya
ikan hingga ekosistem pendukungnya”.
Apakah orientasi mengejar pertumbuhan tinggi mesti
dipertahankan? Lalu mengorbankan nelayan di pesisir Indonesia yang kian
miskin? Saya memberikan sebuah ilustrasi sebagai antitesis dari orientasi
pertumbuhan yang tinggi itu. Hewan dan tumbuhan mulai “tumbuh” dari umur 0-10
tahun, lalu tak mengalami lagi “pertumbuhan” baik berat maupun tinggi,
berhenti, lalu mati.
Lalu kembali ke tanah, terurai, berubah jadi humus guna
menunjang proses siklus biomassa secara alamiah. Ilustrasi ini menunjukkan
“pertumbuhan” itu nantinya berhenti dan posisinya mantap (steady state).
Sampai saat mana pertumbuhan berhenti dan posisinya mantap? Itulah hingga
kini belum terungkap dalam kebijakan pembangunan perikanan.
Tak ada alasan logis yang membenarkan bila stok sumber daya ikan
terus-menerus dikuras tak akan habis. Terbukti, akibat mazhab pertumbuhan era
tahun 1970-an, wilayah perairan Bagansiapiapi dan Muncar mengalami tangkap
lebih (over exploited). Makanya,
orientasi pembangunan perikanan mesti berubah dari mazhab pertumbuhan menjadi
de-growth.
De-growth merujuk pada ilustrasi kehidupan biologis hewan dan
tumbuhan serta menjamin keberlanjutan ekosistem/ekologis secara alamiah alam.
Bagaimana caranya? Kebijakan pembangunan perikanan tak mesti menggenjot
pertumbuhan produksi yang tinggi, melainkan bagaimana pembangunan perikanan
menitikberatkan kebutuhan domestik nasional dan secara ekologis menjamin
proses metabolisme alam dalam sistem jaring-jaring kehidupan di lautan.
Persis sebenarnya dengan proses metabolisme dalam tubuh manusia.
Manusia jika mengonsumsi makanan secara berlebihan tanpa memperhatikan
dampaknya bagi kesehatannya maka proses metabolisme tubuhnya terganggu. Mulai
dari munculnya pelbagai penyakit kronis semacam jantung, darah tinggi, hingga
obesitas.
Akibatnya, ekstremnya, manusia mengalami kematian. Jadi, tubuh
manusia pun tak bisa memaksakan pasokan makanan tanpa terkendali ke dalam
tubuhnya, melainkan mempertimbangkan ekologis tubuhnya sehingga proses
metabolisme tetap berlangsung normal.
Jika mengasumsikan “asupan” makanan berlebihan ke dalam tubuh
manusia berorientasi “pertumbuhan” sama dengan mengejar pertumbuhan produksi
ikan yang tinggi, maka imbas penyakit kronis yang berujung kematian sama
dengan kehancuran sumber daya ikan, baik yang bersifat antroposentris maupun
alamiah.
Yang bersifat antroposentris umpamanya penggunaan trawl, dan
industri perikanan skala besar yang menangkap ikan tanpa kendali demi
memenuhi permintaan pasar ekspor. Belum lagi ada faktor eksternal berupa
pencemaran yang mendegradasi ekosistem terumbu karang dan mangrove. Itulah
filosofis dasar konsep de-growth. Kini muncul juga konsep ekonomi biru (blue
economy).
Sayangnya konsep itu tetap berorientasi “pertumbuhan”.
Umpamanya, untuk menjaga agar langit dan laut tetap biru perlu melakukan
investasi ramah lingkungan melalui daur ulang (re-cycling), tetap berorientasi bisnis dengan basis ekonomi
kreatif. Pertanyaannya siapa pemilik teknologi dan modal (capital) untuk kepentingan investasi
dan bisnis ramah lingkungan yang melahirkan inovasi baru?
Apakah mungkin nelayan tradisional mampu menjangkau orientasi
semacam itu? Saya pikir orang “sinting” pun akan mengatakan tidak. Pastinya,
negara-negara majulah yang memiliki segalanya untuk berinvestasi dan
berbisnis di negara dunia ketiga semacam Indonesia termasuk di sektor
perikanan. Hemat saya ini hanya jadi media baru negara maju mengeksploitasi
sumber daya negara dunia ketiga.
Kesejahteraan Nelayan
Bila produksi perikanan nasional tanpa pertumbuhan, otomatis
akan memengaruhi kesejahteraan nelayan. Pasalnya, stok sumber daya ikan di
wilayah pesisir maupun laut pedalaman akan menjamin keberlanjutan
regenerasinya.
Pun metabolisme alam di lautan tetap berlangsung normal hingga
tak mengganggu jaring-jaring kehidupan. Mengapa? Karena produksi ikan yang
dihasilkan sudah memenuhi kebutuhan konsumsi ikan dalam negeri (baca: UU
Perikanan) dan menjamin metabolisme alam di lautan. Jadi, nelayan tak perlu
khawatir lagi daerah tangkapannya diserbu kapal asing hingga kapal besar.
Kebijakan pembangunan perikanan berbasis de-growth akan
mewujudkan keadilan ekologis (ecological
justice) dan keadilan sosial (social
justice). Tak perlu lagi memaksakan penetrasi kapital secara masif
melalui industrialisasi ekstraktif yang memperlebar jurang kesenjangan
ekonomi dan kerusakan ekologis.
Pun paradigma pertumbuhan tak pernah ada dalam konstitusi UUD
1945 (baca: Pasal 33). Inilah pendekatan ecological
economy yang sejatinya sudah dipraktikkan masyarakat lokal di Indonesia
berbentuk perikanan sasi di Maluku maupun lubuk larangan di Mandailing Natal,
Jambi, dan Sumatera Barat yang tak pernah melibatkan korporasi asing.
Hemat penulis, kebijakan de-growth akan membuat nelayan tetap
menangkap ikan hingga mengolahnya dalam industri rumah tangga. Mereka juga
tetap memenuhi kebutuhan keluarganya dan mendapatkan tambahan pendapatan dari
penjualan hasil tangkapan dan olahan.
Akibatnya, mereka meningkatkan kesejahteraannya secara
berkelanjutan. Inilah kebijakan yang otomatis akan menjamin kesejahteraan
nelayan dan menciptakan keadilan sosial di wilayah pesisir dan pulau kecil. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar