Musim Semi
Manufaktur
Roos Diatmoko ; Anggota
DRN Transportasi 2007-2011
|
KOMPAS,
19 Januari 2013
Kinerja ekonomi Indonesia
tetap cerah sekalipun laju ekonomi Asia melambat. Kini, kinerja ditopang
dengan bangkitnya industri manufaktur yang tumbuh 6,8 persen sejak 2011.
Pemerintah memproyeksikan pertumbuhan industri
manufaktur pada 2013 mencapai 7,1 persen meskipun dihadapkan pada persoalan
kenaikan upah minimum, kenaikan tarif listrik, dan sejumlah tantangan lain.
Kontribusi industri manufaktur tetap terbesar, yakni 24,3 persen dari produk
domestik bruto (PDB).
Industri manufaktur mampu menyerap tenaga kerja dalam
jumlah besar dan produktif.
Sektor industri manufaktur Indonesia mendapat
apresiasi Bank Dunia dan diprediksi berpeluang bangkit lagi. Bagi investor
industri manufaktur, Indonesia berpotensi sebagai pasar domestik yang besar
dan tumbuh sekaligus lokasi produksi berbiaya rendah. Investasi asing di
industri manufaktur semester I/2012 mencapai 1,2 miliar dollar AS, meningkat
62 persen dari 2011. Total investasi 12 sektor industri manufaktur mencapai
Rp 72,57 triliun atau naik 56,94 persen.
Sektor industri manufaktur menjadi pendorong utama
pertumbuhan yang berkualitas, cepat, dan stabil bagi perekonomian secara
keseluruhan. Dibandingkan komoditas primer, produk industri manufaktur lebih
tahan terhadap volatilitas harga pasar internasional. Makin besar peran
manufaktur terhadap PDB, kondisi ekonomi akan stabil.
Stabilitas ekonomi Indonesia 2012 masih baik. Namun,
dengan penurunan ekspor akibat melemahnya harga komoditas primer andalan,
terjadi defisit neraca transaksi berjalan. Dalam World Trade Report 2012
terlihat tren grafik ekspor menurun dan impor meningkat tajam pada akhir
2011. Dalam laporan BI triwulan III/2012, defisit transaksi berjalan
membengkak sampai 2,4 persen dari PDB. Salah satu alasan, meningkatnya impor
barang modal berupa pesawat udara.
Ketika pemerintah kesulitan menyiapkan dana investasi 3
persen dari PDB untuk infrastruktur, defisit transaksi berjalan hampir
menembus angka yang sama. Bila defisit transaksi berjalan melebihi 3 persen
dari PDB, daya tahan ekonomi Indonesia bakal terganggu. Dengan adanya
akselerasi pembangunan infrastruktur melalui Rencana Induk Percepatan dan
Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia, impor barang modal bakal melesat.
Bagaimanapun, investasi harus diimbangi peningkatan produktivitas dan daya
saing ekspor. Pemerintah harus membenahi ketimpangan struktur industri.
Struktur industri manufaktur masih timpang ke dalam untuk konsumsi pasar
domestik.
Menurut proyeksi McKinsey, terdapat tren peningkatan
kelas menengah Indonesia dari 45 juta orang pada 2010 menjadi 135 juta orang
pada 2030. Para investor dan importir akan berkompetisi berebut pasar potensial
kelas menengah Indonesia. Produktivitas dan nilai tambah industri manufaktur
juga dianggap penting.
Berdasar laporan McKinsey November 2012, Indonesia
termasuk 15 besar negara manufaktur dunia ditinjau dari kontribusi nominal
nilai tambah manufaktur. Pada 2010, Indonesia di peringkat ke-13, di atas
Spanyol dan Kanada. Tahun 2000, Indonesia peringkat ke-20. Dalam kurun 10
tahun, meski dikritik mengalami proses ”deindustrialisasi”, Indonesia naik 7
tingkat.
Seperti halnya negara berkembang lain, Indonesia
memiliki potensi industri manufaktur padat karya. Seharusnya, dengan sumber
daya manusia produktif melimpah, Indonesia dapat mengikuti peta jalan
industri China, Korea Selatan, dan Jepang. Selain kontribusi industri
manufaktur di atas 20 persen PDB, peran industri manufaktur untuk ekspor
perlu didongkrak sampai dengan dua pertiganya.
Soal strategi ekspor yang masih lemah, Indonesia harus
berbenah. Menurut laporan perdagangan dunia 2012, Indonesia hanya berada di
urutan 26 eksportir dunia (201 miliar dollar AS) dan urutan 28 importir dunia
(176 miliar dollar AS). Pada 2011 itu, posisi Indonesia yang masuk negara
G-20 dan peringkat ke-15 dalam hal PDB justru berada di bawah Malaysia.
Selain daya saing ekspor lemah, dalam laporan Bank
Dunia disebutkan adanya missing
Tumbuhnya
kelas menengah dituntut menjadi pelopor produktivitas dan nilai tambah bagi
perusahaan menengah (20-100 karyawan) yang berjumlah 5,1 persen saja.
Terdapat lonjakan impor barang modal dan bahan setengah
jadi untuk sektor transportasi. Meningkatnya infrastruktur bagi konektivitas
koridor ekonomi disusul kebutuhan impor sarana transportasi. Biaya
transportasi di Indonesia berkisar Rp 238,6 triliun. Dampaknya, neraca
transaksi untuk produk sarana transportasi berteknologi tinggi rentan
defisit. Terbukti, impor 230 pesawat udara oleh maskapai nasional Lion Air
saja menyedot devisa 22,4 miliar dollar AS.
Demikian pula di sektor angkutan laut, impor kapal
meningkat. Sejak asas cabotage diterapkan 2005, armada kapal nasional tumbuh
92,3 persen dengan tambahan 11.620 kapal sampai 2012. Pelayaran internasional
berpeluang tumbuh karena Indonesia jadi eksportir dan importir terbesar ke-8
dunia menggunakan kontainer menurut World Shipping Council. Sayangnya,
kinerja sebagian galangan kapal nasional tenggelam dalam kerugian.
Di darat, industri otomotif tumbuh luar biasa dinamis
hingga melampaui batas angka 1 juta mobil dan hampir 9 juta sepeda motor.
Untuk otomotif, skala merupakan penentu daya saing sehingga hanya industri
merek global yang berperan. Pasar otomotif skala raksasa dengan mobil di atas
Rp 200 triliun dan sepeda motor sekitar Rp 40 triliun per tahun. Selain
subsidi BBM, sektor transportasi berperan sebagai penyedot devisa paling
boros.
Saatnya membangun infrastruktur yang soft berbentuk
kebijakan dan regulasi. Berbagai hambatan berupa biaya logistik yang mahal,
penerapan insentif pajak yang tidak adil, dan biaya modal yang mahal harus
dikikis. Peraturan impor barang bekas yang diterapkan dalam krisis ekonomi
yang lalu juga layak dicabut. Sebaliknya, diperjuangkan dukungan produk
nasional.
Ketika kelas menengah menikmati budaya konsumtif,
keberpihakan pada produk nasional sulit ditegakkan. Untuk barang modal saja,
para eksekutif kerap berseberangan dengan industri manufaktur. Bukannya
memperketat devisa impor, sebaliknya produk nasional diperketat. Alasannya,
catatan pasokan produk nasional minim, mutu belum terbukti, dan jadwal
terlambat.
Kurva belajar yang diperlukan bagi industri manufaktur
nasional langka. Sayangnya, saat ada akselerasi pembangunan infrastruktur,
justru satu persatu produk nasional terhenti. Produk yang telah mendapat
penghargaan rintisan teknologi seperti sepeda motor Kanzen, bus Komodo, dan
kereta KRDE gugur bertempur di negeri sendiri.
Bagi industri manufaktur nasional sektor transportasi,
musim semi untuk siapa? Semoga Ibu Menteri Mari E Pangestu sebagai kandidat
pimpinan WTO bisa ikut berjuang menyemaikan produk nasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar