Senin, 14 Januari 2013

Merayakan Keragaman dan Kebersamaan


Merayakan Keragaman dan Kebersamaan
Ahmad Baedowi ; Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
MEDIA INDONESIA, 14 Januari 2013



MERAYAKAN dan mengenang sebuah peristiwa bisa berarti mengingat. Namun, dalam konteks pendidikan, merayakan (celebration) adalah peristiwa berulang yang senantiasa terjadi dalam proses pembelajaran. Manajemen sekolah, termasuk di dalamnya kepala sekolah, guru, dan orangtua, ialah aktor-aktor yang senantiasa harus kreatif dan hadir dalam setiap perayaan sebuah ajang yang terjadi di sekolah.

Di ruang kelas, seorang guru harus memiliki ide kreatif untuk `merayakan' peristiwa setiap siswa setiap hari selalu memiliki kemajuan baru dan penting di bidang pengetahuan. Jika ada seorang siswa berhasil dan memiliki prestasi tertentu di bidang tertentu, guru harus memberikan apresiasi (reward) kepada muridnya, baik dalam bentuk pujian, mengajak teman-temannya tepuk tangan, hingga memberikan kepercayaan mewakili sekolah.

Sekolah dengan tradisi yang baik selalu memiliki ruang kebersamaan untuk merayakan setiap keberhasilan yang diperoleh siswa dan guru lainnya.
Pemilihan guru dan siswa teladan dan terbaik setiap minggu, bulan, dan semester dalam rangka memberikan apresiasi ialah penanda bahwa ada begitu banyak event untuk selalu dirayakan. Meskipun budaya sekolah dalam kamus-kamus pendidikan memiliki pengertian yang sangat abstrak, efek manfaat dan kegunaannya tidak dapat disangsikan dalam pembentukan watak dan karakter siswa dalam proses belajar-mengajar.

Sebagai bangsa yang memiliki kekayaan budaya, tradisi, dan bahasa yang sangat banyak dan beragam, sudah selayaknya kita bersyukur dan menjaga dengan sepenuh hati keragaman tersebut. Salah satu cara yang paling kuat dan strategis dalam menjaga kemajemukan itu ialah proses pendidikan yang benar. Titik tekan pada kata `proses pendidikan' ialah adanya kesadaran untuk melakukan penyadaran kepada para guru dan siswa secara terus-menerus tentang pentingnya menjaga, melestarikan, dan merayakan secara bersama kemajemukan tersebut.

Giroux (2003: 83), seorang ahli di bidang critical pedagogy, mengatakan pedagogi seharusnya digunakan sebagai rujukan untuk menganalisis bagaimana sebuah pengetahuan, nilai, keinginan, dan relasi sosial itu dibentuk.


Critical pedagogy juga harus memberi kesadaran kepada kita bahwa setiap bentuk relasi sosial yang didasarkan pada nilai, budaya, dan tradisi pasti memiliki implikasi praktis dengan merayakan kebersamaan dalam proses belajar-mengajar ialah bentuk eksemplarnya. Karena itu, proses pendidikan mengharuskan dirinya untuk menggunakan basis kemajemukan tersebut sebagai cara mengomunikasikan perbedaan secara benar dan cerdas dalam kerangka kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dalam buku Politics, Language, and Culture: A Critical Look at School Reform, Joseph Check (2004) memastikan dalam setiap sistem pendidikan sebuah negara melalui muatan kurikulumnya tak akan pernah bisa menghindari isu ras, bahasa, dan budaya karena isu-isu tersebut selalu berkaitan dengan persoalan pemerataan (equity) pendidikan masih tetap tinggi, akses (access), dan kualitas (quality) pendidikan juga masih rendah. Untuk itulah, sekolah dengan budaya sekolah yang baik pasti akan berusaha mengatasi ketimpangan-ketimpangan itu dengan membuat sebanyak mungkin selebrasi tentang fakta keragaman budaya dan etnik dalam desain dan pengembangan kurikulum. Selain kebutuhan instingtif dari guru, siswa, dan masyarakat dalam memandang perbedaan, kebutuhan muatan budaya dan etnisitas dalam kurikulum juga akan meminimalkan pemahaman siswa terhadap monopoli kebenaran dalam beragama.

Geneva Gay dalam Culturally Responsive Teaching (2000) memberikan sedikitnya lima argumen mengapa muatan budaya dan etnik itu sangat strategis dan penting untuk ditubuhkan dalam kurikulum pendidikan. Pertama, muatan budaya dan etnik dalam kurikulum pendidikan sangat krusial sekaligus esensial bagi perbaikan aspek pedagogis guru dalam mengajar. Kedua, karena kebanyakan sumber belajar di ruang kelas ialah text book, memasukkan agenda budaya dan etnik ke dalam text book merupakan keniscayaan karena hal itu akan mengubah gaya mengajar guru.

Ketiga, berdasarkan riset secara simultan di beberapa sekolah, muatan budaya dan etnik dalam kurikulum pendidikan memiliki arti yang banyak bagi para siswa sekaligus meningkatkan apresiasi siswa dalam belajar. Keempat, relevansi muatan budaya dan etnik dalam kurikulum juga menyumbang kelestarian sejarah, budaya, tradisi sebuah etnik tertentu sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan apresiasi kebangsaan yang tinggi, baik di kalangan siswa maupun guru. Yang kelima, biasanya muatan budaya dan etnik diambil dari berbagai sumber yang sangat kaya, bukan hanya dari buku, melainkan juga dari pengalaman orang per orang, baik melalui wawancara maupun yang didokumentasikan dalam bentuk tayangan dan sebagainya.

Mencintai keragaman dapat berarti banyak hal bagi bangsa Indonesia. Apalagi di tengah mencuat dan menguatnya ancaman kekerasan di tengah masyarakat yang jelas sangat tidak mendukung terhadap fakta keragaman. Jelas sekali bahwa kebutuhan memasuk kan muatan budaya dan etnik ke kurikulum pendidikan akan menjadi tonggak penting dalam mereduksi paham-paham keagamaan yang salah. 
Kritik sekaligus pukulan dari para pelaku kekerasan sesungguhnya menguatkan asumsi tentang kebutuhan akan muatan keragaman budaya dan etnik ke dalam kurikulum pendidikan kita.

Hampir seluruh budaya di belahan bumi mana pun mengonfirmasi tiga hal yang membuat manusia berbahagia (happiness). Pertama, seorang manusia pasti akan mengalami kematangan karakter (maturity of character) ketika mereka merasa telah menjadi manusia yang baik. Kedua, semua budaya di dunia mencintai hubungan yang baik (loving relationships) terutama dalam perkawinan dan keluarga. Ketiga, semua orang pasti berpikir bahwa hidupnya harus bermanfaat bagi orang lain, meskipun faktanya setiap orang berbeda. Karena itu, merayakan perbedaan secara positif ialah syarat bagi setiap orang untuk menyumbangkan sesuatu kepada masyarakat sekitarnya (Tony Devine: Cultivating Heart and Character, 2008). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar