Menggalakkan
(lagi) Pendidikan Toleransi
Muh Kholid AS ; Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah,
Alumnus Pondok
Pesantren Al-Mukmin Ngruki
|
MEDIA
INDONESIA, 14 Januari 2013
MEMASUKI 20132013, masa depan toleransi di
Indonesia tampaknya masih jauh dari kesempurnaan. Prediksi itu tak lepas dari
meningkatnya aksi pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan dari tahun
ke tahun. Dalam catatan akhir 2012 yang dikeluarkan Setara Institute, selama
kurun waktu 2012 tercatat 264 peristiwa dan 371 tindakan. Angka tersebut
meningkat jika dibandingkan dengan 2011, yang tercatat 244 peristiwa dan 299
tindakan.
Yang lebih mencemaskan, temuan itu hanyalah sampel riset yang ditemukan di 13
provinsi. Data tersebut secara eksplisit menunjukkan
kehidupan toleransi beragama di negeri ini belum terbangun dengan baik. Cita-cita
harmoni hubungan intra ataupun antaragama/iman yang mensyaratkan sikap saling
menghargai masih menemui hambatan rumit. Lingkungan masyarakat belum steril
dari virus konflik yang dilandasi perbedaan pemahaman, termasuk penggunaan
cara-cara kekerasan fisik.
Sikap intoleran itu bisa dilihat dari
persekusi massal yang tiada henti terhadap kelompok-kelompok keagamaan dan
keyakinan yang dianggap `sesat'.
Kasus itu bisa dirujuk dari penyerangan dan perusakan massa terhadap pengikut Syiah di Sampang, Madura, Jawa Timur (26/8/2012). Aksi serupa di tempat yang sama juga terjadi pada akhir Desember 2011, ketika massa menyerang dan membakar rumah pimpinan Syiah, musala, dan madrasah.
Padahal, sebelum kasus tersebut, beragam kekerasan juga telah menimpa jemaat
Ahmadiyah, GKI Yasmin Bogor, Gereja HKBP Filadelfia Bekasi, dan lain-lain.
Fakta itu menandakan identifikasi diri dan
kelompok pada agama masih mendominasi cara beragama, dengan memandang yang
`berbeda' sebagai lawan. Di dalamnya terjadi kekakuan identitas
komunal-parokial yang memercayai keimanannya yang terautentik dan tersuper,
serta memandang lainnya rendah dan tidak murni. Tak pelak, perilaku standar
ganda (double standard) dengan
menganggap diri dan kelompoknya paling benar (truth claim) dan pihak lainnya sesat (dlalalah) mengemuka ke praktik kehidupan.
Keberagamaan yang tidak menjunjung nilai
kemajemukan tentu tidaklah connect dengan
realitas keindonesiaan yang tercipta sebagai tempat `pertemuan' berbagai
agama/aliran.
Pendidikan Toleransi
Kemajemukan ternyata fakta yang eksis sejak
dahulu dan tidak mungkin dapat dihindarkan yang menyusup dan menyangkut dalam
setiap dan seluruh ruang kehidupan, termasuk dalam persoalan agama dan iman.
Adalah sunatullah yang aksiomatis bahwa prakpraktik agama memang beragam dan
umatnya masing-masing berbeda pula.
Dengan melihat potret buram masa depan
toleransi tersebut, tak ayal pendidikan toleransi harus digalakkan sejak
dini. Realitas masyarakat menunjukkan adanya pluralitas etnik, kultur, dan
agama, yang hingga kini harus diakui masih menjadi problem yang cukup pelik.
Karena itu, penanaman nilai-nilai toleransi terhadap perbedaan dalam diri
peserta didik jelas merupakan investasi jangka panjang yang harus digalakkan.
Diharapkan, mereka kelak dapat memiliki kultur untuk dapat hidup secara
harmonis dalam komunitas yang majemuk.
Lebih dari itu, sikap intoleran yang meningkat
dalam era kekinian merupakan `kegagalan' pendidikan dalam menciptakan
masyarakat yang sadar akan nilai-nilai multis kulturalisme. Perbedaan dan kekayaan
seharusnya dapat didayagunakan bagi kemajuan masyarakat, bukan malah menjadi
pemicu maraknya berbagai konflik. Pengetahuan terhadap yang lain harus
dibangun EB bukan berdasar ste reotip karena ia hanya akan berakibat pada
suburnya pemahaman yang cenderung demonologis dengan mencitrakan pihak `lain'
sebagai kelompok yang tidak beradab.
Di sinilah perlunya mengembalikan pendidikan
sebagai media transformasi multikul turalisme, yang di dalamnya mengajarkan
pengapresiasian terhadap keberagaman, perbedaan, dan kemajemukan. Sudah
seharusnya pendidikan yang mengajarkan kesejajaran dan kesederajatan
kebudayaan mulai diimplementasikan di Indonesia. Meski bangsa ini mengakui
keragaman secara formal, dalam realitasnya itu tidak pernah
terimplementasikan secara elegan.
Pemupukan kesadaran keagamaan yang
mengedepankan semangat saling menghargai melalui pendidikan menjadi kata
kunci yang cukup relevan untuk menghindarkan tensi kekerasan. Dengan
pembelajaran sejak dini, setiap pemeluk agama dituntut untuk `belajar'
memahami relung-relung paham keberagamaan lain sehingga terbuka kesempatan
untuk lebih memahami dan menumbuhkan sikap yang toleran. Toleransi bukanlah
sikap yang akan menipiskan keberagamaan seseorang, pindah agama atau hegemoni
kultural, melainkan hanya menumbuhkan sikap saling memahami dan menghargai.
Hargai Perbedaan
Dalam agama Islam, misalnya, penghargaan terhadap
perbedaan merupakan salah satu ajaran terpenting. Terbukti, beberapa
doktrinnya memberi kebebasan manusia untuk memilih agama, bahkan tidak
beriman sama sekali (QS Al Kahfi {18}:
29 dan QS Al Baqarah {2}: 256). Kendati Islam merupakan agama yang diyakini
paling benar (QS Ali Imran {2}: 18 dan
85), eksistensi agama-agama lain juga tidak dinafikan, bahkan
kebenarannya diakui (QS Al Baqarah {2}:
62). Dalam ayat lain juga ditegaskan larangan bagi umat Islam untuk
mencela berhala sembahan orang musyrik (QS
Al An'am {6}: 109), serta perintah untuk menghormati tempat ibadah umat
lain (QS Al Hajj {22}: 40).
Lembaga pendidikan, dengan demikian, menjadi
`ruang strategis' untuk membentuk mental atau menumbuhkan watak keragaman
yang kuat.
Institusi merupakan bagian dari ruang publik yang tentunya harus didorong
menjadi tempat persemaian nilai-nilai yang menghargai keragaman. Pendidikan
ialah usaha sadar dan terencana untuk mewu judkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar siswa mengembangkan potensi dirinya sehingga memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, dan keterampilan yang diperlukan.
Dalam menyikapi perbedaan (paham) agama,
tampaknya cukup ideal jika umat beragama mengimplementasikan a passion for truth sebagai upaya
menegakkan kehidupan yang harmoni (Hans Kung: 1987). Seseorang harus
memandang eksistensi berbagai agama (sekte) dengan menggunakan dua sudut
pandang, dari luar dan dalam agama (sekte) yang dianutnya.
Pandangan dari luar yaitu pengakuan bahwa
semua agama (sekte) mempunyai satu tujuan, yaitu keselamatan (salvation) dengan konsep dan jalan
yang beragam. Dari dalam, meyakini apa yang dipeluknya sebagai jalan paling
benar dan kemutlakan iman. Namun, pendirian itu tidak serta-merta harus
menolak `kebenaran' yang diyakini orang lain, apalagi menghancurkan dan
memeranginya.
Baik secara doktrin maupun fakta sosial, sikap
yang terbaik untuk dikembangkan dalam menyikapi perbedaan ialah saling
menghormati dengan mengusung spirit bersepakat dalam perbedaan (agree in disagreement). Keragaman
sesungguhnya ujian bagi tiap kelompok berlomba-lomba menjadi umat terbaik
dalam memberikan manfaat bagi kehidupan umat. Lebih dari itu, berbeda itu
tidak sama dengan bertentangan. Jadi, kita seharusnya menghindari pola pikir in group-out group, minna-minkum,
kami-kamu, dan benar-salah.
Dengan demikian, lingkungan sekolah harus
mampu menghadirkan model pembelajaran yang mampu menumbuhkan sikap saling
menghargai dan menghormati perbedaan. Pendidikan toleransi di sekolah tentu
saja tidak bisa berdiri sendiri. Ia juga harus mendapatkan dukungan dari
keluarga dan lingkungan peserta didik dalam bersosialisasi. Keluarga harus
mampu mengenalkan fakta keragaman agama, ras, suku, dan golongan, yang
semuanya harus disikapi dengan penghormatan. Tak terkecuali, lingkungan
masyarakat juga mensyaratkan keteladanan para tokohnya yang mengajak dan
terus berupaya menciptakan sistem kehidupan yang rukun dalam perbedaan.
Terlepas dari sikap seseorang
`bersepakat' atau tidak terhadap satu agama, ras, suku, dan golongan
tertentu, gerakan apresiasi terhadap yang `lain' mutlak diimplementasikan. Kurangnya
toleransi dalam ranah sosial akan berdampak serius dalam keharmonisan hidup
antarsesama karena akan menimbulkan sikap tidak menghargai yang lain.
Kemajemukan yang sudah didesain Tuhan seharusnya dibarengi dengan sikap dan
tindakan yang menjunjung tinggi pluralitas atas prinsip persamaan,
kesetaraan, dan keadilan. Allah a'lam
bi al-shawab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar