Senin, 14 Januari 2013

Habibie dan Ainun


Habibie & Ainun
Cyrillus Harinowo Hadiwerdoyo ; Pengamat Ekonomi
SINDO, 14 Januari 2013



Minggu lalu saya melakukan sesuatu yang sudah amat jarang saya lakukan, yaitu menonton film di gedung bioskop. Kebetulan film yang sedang populer saat itu adalah Habibie & Ainun. 
Meski sedikit terlambat, saya tetap memutuskan untuk membeli tiket dan menonton film tersebut. Sepanjang pemutaran film, perasaan saya sungguh hanyut dengan jalan cerita yang memang mengharukan. Selain hubungan cinta Pak Habibie dan Ibu Ainun, salah satu potongan cerita yang sungguh mengusik hati saya adalah sewaktu Pak Habibie dan Ibu Ainun mengunjungi hanggar yang berisi pesawat N-250 Krincing Wesi. 

Hanggar tersebut sepi,seakan ditinggalkan para karyawannya. Pak Habibie memutar balingbaling pesawat dan seakan menyesali karena begitu getolnya menciptakan pesawat tersebut, beliau sampai harus banyak meninggalkan keluarga. Air mata Pak Habibie meleleh karena pengorbanannya tampak sia-sia dengan penggambaran hanggar lengang yang seakan sudah ditinggalkan para karyawannya. 

Momen tersebut sungguh kontras dengan saat pesawat N-250 tersebut diluncurkan untuk pertama kalinya dengan disaksikan sendiri oleh Presiden Soeharto. Sebuah kebanggaan akan keberhasilan dari suatu visi yang pada akhirnya melahirkan pesawat N-250 Gatotkaca. Pencapaian dari suatu perjalanan panjang. Bagaikan kurva, momen saat itu seakan merupakan puncak dari kurva tersebut. Keberhasilan itu akhirnya didorong lebih jauh lagi dengan upaya untuk melahirkan pesawat penumpang jet pertama yang kemudian dinamakan dengan N-2130, pesawat bermesin ganda dan berkapasitas 130 penumpang. 

Sayang sekali, mimpi tersebut telanjur sirna di tengah perjalanan pada saat perekonomian Indonesia didera krisis. Kita dewasa ini berpijak pada zaman berbeda meskipun krisis tersebut baru berusia sekitar 14 tahun. Optimisme yang kita miliki demikian tinggi di tengah banyak keberhasilandan perkembangan ekonomi yang sangat membesarkan hati. Namun, pesan yang disampaikan oleh Pak Habibie tersebut belum secara serius kita tanggapi. 

Perjalanan dan pengorbanan yang telah dilakukan Pak Habibie selama sekian tahun akan menjadi kesia-siaan jika kita tidak melanjutkannya secara lebih serius. Proses penciptaan karya yang bisa dikatakan masterpiece tersebut sebetulnya tinggal dilanjutkan lagi, tidak perlu diulangi. We should never reinvent the wheel. Mungkin benar,pada waktu Pak Habibie berkunjung ke IPTN mendapati hanggar kosong selain pesawat N-250 Krincing Wesi yang menjadi saksi bisu keberhasilan karya penciptaan. 

Saya yakin gambaran tersebut sedikit demi sedikit mulai bergeser kembali. PT Dirgantara Indonesia, yang merupakan reinkarnasi dari IPTN, dewasa ini mulai menggeliat kembali dengan mulai banyak menghasilkan pesawat CN 235 MPA, pesawat patroli laut yang bahkan di Korea Selatan mereka sudah memiliki satu skuadron yang seluruhnya diperoleh dari PT Dirgantara Indonesia. Di Indonesia, pesawat yang sama mulai secara bertahap digunakan oleh Angkatan Laut untuk menggantikan pesawat Nomad yang sudah uzur. 

PT Dirgantara Indonesia juga mulai banyak membuat helikopter maupun pesawat CN-295 yang dewasa ini mulai dilimpahkan dari Airbus Military. Bahkan dalam proses “penciptaan” tersebut PT Dirgantara Indonesia mulai mengembangkan pesawat dengan jumlah penumpang 19 orang yang dikenal dengan N-219yang tidak lama lagi juga akan mewarnai dirgantara Indonesia. Di bidang militer PT Dirgantara Indonesia juga mulai bekerja sama dengan Korea Selatan untuk mengembangkan pesawat tempur generasi 4,5, yaitu generasi di atas F-16 maupun Sukhoi yang kita miliki saat ini. 

Saya yakin pengembangan pesawat tempur tersebut akan mampu meng-elevate, meningkatkan kualitas tenaga ahli dari PT Dirgantara Indonesia yang pada akhirnya akan bisa mendorong pengembangan industri kedirgantaraan Indonesia lebih lanjut. Kendati demikian, apa yang telah dilakukan Pak Habibie dengan N-250-nya rasanya sangat sayang kalau ditinggalkan begitu saja. Kalau tidak salah ada 3 pesawat prototipe yang dewasa ini masih dimiliki perusahaan tersebut. Sebagai orang awam dalam industri tersebut, yang memiliki passion untuk makroekonomi, saya cuma berpikir apakah tidak sayang kalau apa yang sudah dikembangkan tersebut tidak dilanjutkan lagi? 

Jika Lion Air, Sriwijaya Air, dan banyak lagi beramai-ramai memesan pesawat ATR-72 dari pembuatnya di Prancis yang memiliki karakter yang tidak berbeda dengan N-250, apakah itu bukan berarti merefleksikan permintaan yang besar bagi pesawat dengan kapasitas tersebut? Mungkin dengan modifikasi yang tidak terlalu besar, seperti halnya CN 235 menjadi CN-295, pengembangan pesawat N-250 akan mampu bersaing ketat dengan ATR 72. 

Demikian juga dengan konsep pengembangan N-2130. Kalau kita lihat dewasa ini Garuda Indonesia bahkan memesan jumlah pesawat Bombardier yang cukup banyak untuk menampung kebutuhan transportasi point to point, terutama di Indonesia timur yang memerlukan jenis pesawat jet tetap yang “sub-100”. Pada waktu proses pengadaan sedang dilakukan, Bombardier bersaing ketat dengan Embraer dari Brasil untuk memperoleh pesanan tersebut. Ternyata, Bombardier dari Kanada yang memenangi persaingan tersebut. 

Dengan perkembangan perekonomian di daerah yang jauh lebih pesat dibandingkan dengan pertumbuhan di Jawa, kebutuhan pesawat semacam ini di masa depan akan menjadi semakin besar. Oleh karena itu selain untuk memenuhi kebutuhan yang baru,pasar di masa depan juga akan banyak dipenuhi dengan pasar untuk menggantikan pesawat yang sudah ada. Replacement market ini akan terus berkembang dengan bertambahnya jumlah populasi pesawat yang ada. 

Ini berarti jika kita mengembangkannya saat ini, dalam jangka waktu 5 tahun mendatang, produk pesawat yang akan dihasilkan tersebut tidaklah menjadi usang karena selalu ada kebutuhan untuk pengembangan daerah baru maupun juga untuk replacement market. Sudah barang tentu perlu ada penyesuaian pada N-250 denganperkembangan permesinan yang baru untuk memperoleh efisiensi yang sebaik mungkin. 

Dengan potensi yang sedemikian besar, kebutuhan dana bagi pengembangan PT Dirgantara Indonesia tersebut rasanya perlu dicarikan jalan keluar agar terjadi akselerasi bagi pengembangan industri kedirgantaraan di Indonesia. Saat ini ada dana penganggur yang dimiliki oleh pemerintah dalam jumlah yang sangat besar. Satu persen saja dari dana tersebut jika ditambahkan pada PT Dirgantara Indonesia akan menghasilkan kebangkitan kembali pada industri yang kita banggakan tersebut. Semoga gema film Habibie & Ainun juga mengusik mereka yang berada di Senayan maupun Lapangan Banteng. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar