Sabtu, 12 Januari 2013

Menyoal Pilkada Langsung


Menyoal Pilkada Langsung
Mohammad Hasyim ; Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik
Unas Jakarta, Tenaga Ahli Anggota FPG DPR/MPR RI
SUARA KARYA, 12 Januari 2013



 Pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung oleh rakyat, yang dimulai sejak 1 Juni 2005 dengan dasar UU No 34/2004 tentang Pemerintahan Daerah, nyatanya masih menyisakan banyak masalah. Pilkada langsung tidak hanya gaduh melainkan juga menjadi arena transaksi politik uang dan cenderung melahirkan pemimpin-pemimpin kosmetis.

Pilkada tidak langsung pun, yang sebelumnya dilakukan melalui DPRD sesuai UU No 22/1999 dan UU No 5/1974 tentang Pemerintahan Daerah, memang tidak berarti lebih bagus. Pemilihan melalui DPRD juga acap menjadi ajang transaksi antara calon kepala daerah dan anggota DPRD dan tidak memiliki akar dukungan yang kuat di tengah masyarakat.

Sejatinya, tujuan pilkada langsung itu sangat baik, yakni mendorong partisipasi masyarakat luas dalam menentukan pemimpinnya. Di samping, membangun komunikasi politik yang baik antara masyarakat dan pemimpinnya serta menciptakan pemimpin yang peka terhadap kepentingan dan kebutuhan masyarakat yang dipimpinnya.

Namun, realitasnya, pilkada langsung justru menjadikan ongkos politik yang sangat mahal, baik untuk penyelenggara maupun calon kepala daerah, bahkan cenderung mengembangbiakkan politik uang. Selain itu, pilkada langsung juga lebih banyak melahirkan pemimpin berkualitas rendah, tidak efektif memimpin pemerintahan daerah, menjadikan politisasi birokrasi dan yang paling memilukan sekaligus memalukan adalah banyaknya kepala daerah tersandung persoalan hukum.

Dari data yang dilansir Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri, selama periode 1 Juni 2005 hingga 2012 tidak kurang dari 290 kepala daerah dan wakil kepala daerah dari 877 pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih (16,53 persen) berurusan dengan aparat penegak hukum. Yang memprihatinkan, dari 290 kepala daerah dan wakil kepala daerah yang terkena masalah hukum itu, 250 orang di antaranya terlibat kasus korupsi, 9 orang pemalsuan dokumen, 8 orang suap, 7 orang penipuan dan 6 orang penganiayaan dan 5 orang penyalahgunaan izin tambang atau kehutanan. Rinciannya, kepala daerah dan wakil kepala daerah dari Jatim menempati posisi tertinggi, 33 orang (21,15 persen), disusul Jateng 24 orang (16,6 persen), Jabar 22 orang (20,37 persen), Sumut 17 orang (17,50 persen) dan NTT 13 orang (14,77 persen).

Dari data yang disampaikan oleh Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Prof.Dr Djohermansyah Djohan itu juga dapat disimpulkan bahwa perlu ada koreksi terhadap pelaksanaan pilkada langsung. Koreksi ini penting untuk mereduksi atau bahkan mengeliminasi ekses-ekses yang ditimbulkan oleh pilkada langsung tanpa harus mengebiri hak-hak masyarakat dalam berpolitik.

Inti dari koreksi terhadap pilkada langsung itu adalah membentuk basis regulasi yang komprehensif, membangun sistem pilkada yang efektif dan efisien, menata penyelesaian sengketa pilkada, serta mendorong lahirnya kepala daerah yang berkualitas, terhindar dari korupsi sekaligus penyalahgunaan wewenang.
Untuk mengakomodasi semua itu, maka perlu ada regulasi yang khusus mengatur pelaksanaan pilkada (UU Pilkada), terlepas dari payung hukum UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. UU Pilkada harus mampu merumuskan aturan main yang baik, tegas, jelas, jujur dan adil, serta terpenting mampu mencegah politik uang. Sebetulnya pilkada langsung memiliki banyak keunggulan, seperti pararel dengan ide besar pengejawantahan kedaulatan rakyat karena demokrasi identik dengan pemilihan secara langsung. Selain itu, pilkada langsung juga akan menjadikan akseptabilitas kandidat semakin kuat karena dipilih melalui mekanisme pemilihan secara langsung.

Namun, harus diakui pula, pemilihan secara langsung juga memiliki kelemahan, seperti menimbulkan biaya penyelenggaraan yang sangat mahal. Bahkan, biaya politik yang mahal bagi para kandidat menimbulkan kecenderungan bahwa setelah terpilih mereka akan korupsi untuk mengembalikan modal. Faktor pendidikan dan kesejahteraan masyarakat yang relatif rendah dituding sebagai pemicu pilkada biaya tinggi. Selain itu, pilkada secara langsung juga meningkatkan eskalasi konflik horizontal.

Untuk menutup kelemahan-kelemahan pilkada langsung, maka perlu dibuat aturan yang ketat dalam UU Pilkada terkait pembatasan biaya kampanye, larangan rapat umum dan pengerahan massa, serta memfokuskan tempat kampanye di satu tempat tertentu. Cara ini selain dapat mengefisienkan dana kampanye juga menghindari ekses-ekses yang tidak perlu.

Prasyarat dukungan parpol juga harus ditingkatkan, misalnya, di atas 30 persen kursi di DPRD dan sebanding juga untuk calon independen. Dengan demikian hanya akan ada tiga pasangan calon yang memungkinkan pilkada cukup hanya berlangsung satu putaran, tidak perlu dua putaran yang hanya akan menguras kas APBD.

Dalam konteks menyeleksi kandidat terbaik, maka kriteria calon harus diprasyaratkan lebih ketat lagi. Misalnya, setiap calon harus mempunyai pengalaman menduduki jabatan-jabatan publik, memiliki track record yang baik serta integritas dan kapabilitas yang mumpuni.

Kemudian, dalam rangka mengurangi ketegangan antar-massa pendukung calon, etika kampanye juga perlu diperhatikan. Misalnya, jangan mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang menyudutkan, menimbulkan kebencian dan permusuhan, dan yang terpenting ada jaminan hukum bagi lembaga pengawas untuk menjatuhkan sanksi bagi pelanggar aturan ini. Jika aturan yang ketat dan tegas ini sudah dilahirkan, tentu harapannya pilkada langsung akan berjalan lebih baik efisien dan efektif dalam melahirkan para pemimpin terbaik daerah. Tapi, jika UU yang baik ini tidak kunjung mampu mengikis ekses-ekses pilkada langsung, barangkali perlu bercermin bahwa kita memang belum siap berdemokrasi secara langsung!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar