Memberdayakan
Nelayan
Helmy Akbar ; Anggota Asosiasi Peneliti
dan Pemerhati Sumber Daya Perairan dan Lingkungan IPB |
SUARA
KARYA, 12 Januari 2013
Program sebuah kementerian
beberapa waktu lalu terkait pengadaan kapal perikanan skala besar untuk
mendukung peningkatan hasil tangkapan ikan, ternyata hanya ditujukan bagi
nelayan-nelayan bermodal. Menurut penuturan nelayan kecil,
sejak program ini digulirkan mereka hanya mendapat kabar. Fokus perhatian
pemerintah hanya pada nelayan bermodal. Harapan untuk mendapat bantuan kapal
bagi nelayan kecil pun hingga kini hanya sebatas angan. Karena, bantuan itu
memang tidak ditujukan untuk mereka.
Apalagi, kemampuan mengoperasikan
kapal sebesar itu belum memadai, mereka butuh lebih banyak modal untuk
mengisi BBM kapal, hingga bagaimana prosedur pendinginan ikan di kapal modern
mungkin tidak pernah mereka dapatkan. Pengetahuan mengoperasikan jaring
modern yang sepadan dengan ukuran kapal juga tidak mumpuni karena mereka
sudah terlalu lama asyik dengan jaring belanak dan perangkap kepiting.
Dana Moneter Internasional (IMF)
sudah memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia menjadi tumbuh 3,3 persen
pada tahun lalu, terendah sejak resesi pada 2009. IMF bahkan melihat adanya
risiko perlambatan global yang lebih dalam hingga di bawah 2 persen.
Pertumbuhan ekonomi 17 negara zona
euro turun 0,4 persen tahun 2012, lebih rendah dari proyeksi yang disampaikan
pada Juli silam yakni 0,3 persen, dan naik 0,2 persen pada tahun depan, lebih
rendah dari proyeksi sebelumnya yakni 0,7 persen. Pemangkasan angka prediksi
pertumbuhan ekonomi juga dialami Amerika Serikat (AS), Jepang, Spanyol juga
negara-negara berkembang seperti Brazil serta pusat ekonomi asia saat ini,
India dan China.
Pada level nasional, sedikit
sektor ekonomi yang mampu bertahan ditengah deraan krisis. Sektor
pertambangan (seperti batubara) meredup, untuk sektor real estate, jasa
perusahaan, angkutan dan komunikasi hanya tumbuh di bawah 2,5 persen.
Kondisi perekonomian nasional
belum stabil, pada triwulan I tahun lalu sempat melambat (pertumbuhan sekitar
6,3 persen) dibanding triwulan I tahun 2011 sebesar 6,43 persen. Yang menarik
adalah ketahanan sektor pertanian, peternakan, kehutanan termasuk kelautan-perikanan
yang masih bisa tumbuh di atas 20,9 persen. Melihat fakta seperti ini,
keberadaan nelayan tradisional seharusnya bisa diberdayakan untuk menjadi
aset ekonomi negara.
Mekanisme Subsidi
Kesepakatan Kementerian Kelautan
Perikanan (KKP) dengan Bank Indonesia terkait pemberian agunan bagi pelaku
usaha perikanan tangkap perlu kita apresiasi. Peraturan Bank Indonesia (PBI)
No.7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, dan PBI
No.9/9/PBI/2007 tentang Perubahan atas PBI No.8/21/PBI/2006 tentang Penilaian
Kualitas Aktiva Bank Umum telah mengatur bahwa kapal laut dapat dijadikan
agunan bank sebagaimana diatur dalam.
Di sini, kapal laut dengan ukuran
di atas 20 (dua puluh) meter kubik atau setara dengan 5 (lima) Gross Ton
merupakan ukuran kapal minimal yang bisa diagunkan. Lalu bagaimana dengan
nelayan pencari kepiting dan belanak di Surabaya dengan ukuran kapal kurang
dari 5 (lima) GT atau bahkan tidak menggunakan kapal?
Dari sekitar 2,7 juta jiwa pada
tahun 2011, armada tradisional (perahu tanpa motor, perahu dengan motor
tempel, dan perahu motor kurang dari 5 GT berjumlah 498.020 unit (89,38
persen dari seluruh total nelayan yang ada). Singkatnya, 89,38 persen nelayan
tidak layak mendapat agunan dari bank.
Selanjutnya, dari tiga tipe
kelembagaan usaha nelayan, pola nelayan tradisonal/subsisten adalah yang
paling rentan terhadap krisis. Karena, pola produksi digunakan hanya untuk
pemenuhan kebutuhan sehari-hari, teknologi sederhana dan beroperasi di
wilayah pesisir.
Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa
Departemen Urusan Ekonomi dan Sosial (UN-DESA 2009), populasi dunia
diperkirakan akan tumbuh dari 6,8 miliar orang hadir untuk sekitar 9 miliar
pada tahun 2050, terutama di negara-negara berkembang. Dengan pertumbuhan
penduduk dunia dan masalah berulang dari kelaparan dan gizi buruk yang
melanda masyarakat banyak, misalnya, di Asia Selatan dan Sub-Sahara Afrika,
ketahanan pangan menjadi perhatian masyarakat dan internasional utama.
Menurut Organisasi Pangan dan
Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO 2009, Hal 3), perikanan diproduksi
dekat dengan 144 juta ton ikan (setara berat hidup) pada tahun 2006, di mana
82 juta ton berasal dari perikanan tangkap laut (gambar 2), 10 juta ton dari
pedalaman perikanan tangkap, 32 juta ton dari pedalaman budi daya dan 20 juta
ton dari budi daya laut.
Sumber daya perikanan merupakan
sumber penting protein, vitamin dan mikronutrien yang layak, terutama bagi
banyak penduduk berpenghasilan rendah di daerah pedesaan. Dalam konteks
variabel ekosistem yang terus berubah, tantangan memelihara atau memulihkan
keberlanjutan perikanan, mengurangi dampak lingkungan dan degradasi, serta
peningkatan ketahanan pangan lokal seharusnya menjadi perhatian serius.
Ke depan, pemerintah perlu
memikirkan mekanisme bantuan dan subsidi kepada nelayan kecil, karena peran
mereka dalam menggerakkan sektor riil. Bantuan tidak harus berupa uang,
tetapi juga dapat berupa alat tangkap, modernisasi teknologi perikanan dan
penanganan hasil, membuka akses pasar bagi nelayan dan yang terpenting
merubah pola pikir nelayan agar dapat tampil lebih maju.
Tentunya hal ini butuh kerja keras
berbagai pihak. Program-program pemberdayaan nelayan juga tidak boleh
berhenti pada tahap pelaporan dan penyusunan dokumen tetapi action konkret di
lapangan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar